Beranda » Perempuan Mengalami Beban Kerja Ganda

Perempuan Mengalami Beban Kerja Ganda

Konsep dari gender itu dibedakan antara jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Konsep dari gender merupakan sifat yang diproduksi secara sosial dan budaya, di mana laki-laki dipandang sebagai sosok yang tangguh, kuat, logis, jantan. Sedangkan perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah, emosional, atau keibuan. Perbedaan gender sebagai konstruksi sosial gender yang menjadi suatu keyakinan, ideologi dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing gender. Di mana laki-laki harus bersifat kuat dan ambisius yang kemudian terlatih serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat, yaitu secara fisik lebih kuat dan lebih besar.
Namun, dengan menggunakan pedoman bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan selama sifat-sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat dan sama sekali bukanlah kodrat. Konstruksi sosial ini justru dianggap sebagai takdir dan diartikan sebagai ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan, baik laki-laki maupun perempuan.
Ketidakadilan gender (Gender Inequality) mengarah pada perilaku bias gender. Unsur ini dihasilkan dari sistem dan struktur sosial yang merugikan dari berbagai pihak, yaitu laki-laki dan perempuan. Akibat dari adanya sistem dan struktur ketidakadilan gender, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama ikut merasakan ketidakadilan tersebut. Di dalam kondisi masyarakat perempuan sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil saat berada di kondisi sosial. Oleh karena itu, banyak risiko yang dihadapi perempuan akibat dari ketidakadilan yang mereka hadapi sebagai perempuan. Jika kita diharapkan dari perempuan dalam kelompok sosial berstatus rendah, menjadi jelas mengapa perempuan dipandang lebih rendah. Dapat mempertimbangkan banyaknya pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, dan mengurus suami yang menjadi kewajiban seorang istri.
Permasalahan peran gender telah diajarkan kepada kita sejak usia dini. Biasanya tugas perempuan hanya berada di dalam rumah sementara tugas laki-laki berada di luar rumah. Sebagian besar perempuan bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangga, seperti menyapu, mengepel, mencuci, dan menyetrika, dll. Sedangkan peran laki-laki berkonsentrasi pada pekerjaan yang menghasilkan pendapatan atau memberikan mata pencaharian untuk dirinya dan keluarga. Hal tersebut berdampak pada ketidakadilan yang secara tidak langsung meningkatkan kesadaran akan peran dan ketidakadilan yang dihadapi oleh perempuan.
Pekerjaan domestik dianggap bahwa itu pekerjaan dan tanggung jawab perempuan. Pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, mengepel, memasak, menjaga anak, membersihkan rumah, dan lain sebagainya yang dilakukan oleh perempuan dan menganggap bahwa tugas rumah tangga harus perempuan yang mengerjakannya, lelaki tidak mengerjakannya. Oleh karena itu, banyak kaum perempuan yang harus mengerjakannya dalam waktu yang lama untuk menjaga kebersihan rumah tangganya. Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat rajin dan tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga.
Perempuan yang mengalami kemiskinan menjadikan beban yang ditanggung sangat berat untuk ditanggung sendiri. Terlebih jika perempuan tersebut harus bekerja, maka ia akan memikul berat kerja ganda. Perbedaan gender ini seringkali disebabkan karena adanya pandangan atau keyakinan di lingkungan masyarakat bahwa jenis “pekerjaan perempuan” seperti domestik dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis “pekerjaan laki-laki”, serta pekerjaan perempuan dikatakan sebagai tidak produktif. Karena itu anggapan gender ini telah ada sejak dini untuk menekuni peran gender mereka. Di lain sisi pihak laki-laki tidak diwajibkan untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan domestik. Hal itu memperkuat keberlanjutan budaya dan struktural dari beban kerja kaum perempuan.
Seiring dengan perkembangan zaman, kini semakin banyak perempuan yang bekerja di luar rumah, baik untuk membantu suaminya atau bahkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Banyak faktor yang menyebabkan perempuan menjadi tulang punggung keluarga, bisa karena perempuan merupakan anak perempuan pertama di keluarganya, perceraian, atau hal lainnya yang kemudian dituntut untuk mencari nafkah untuk menghidupi kebutuhan keluarganya.

Dapat dilihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 50,70 juta penduduk yang bekerja berusia 15 tahun ke atas pada tahun 2020 adalah perempuan. Jumlah tersebut naik 2,63 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 49,40 juta jiwa. Persentase tersebut terus meningkat dalam perkembangan akhir-akhir ini. Begitu pula dengan statistik ini dapat menunjukkan bahwa perempuan diberikan kesempatan kerja yang setara tanpa memandang jenis kelamin mereka dan juga perempuan mendapatkan haknya dalam bekerja.

Sebagai contoh perempuan yang sudah bercerai dan memiliki anak yang mana perempuan mengharuskan dirinya untuk mengurus segala hal dalam menghidupi anak dan dirinya. Selain itu perempuan juga mengharuskan dirinya sebagai pusat kehidupan anaknya, berperan sebagai ayah bagi anak-anaknya, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri dan anak-anaknya. Misalnya dalam membiayai pendidikan anak, mengurus rumah, dan bekerja di luar rumah, dll. Dengan kondisi seperti ini, perempuan yang menjadi orang tua tunggal berarti peran ibu berubah menjadi kepala keluarga untuk keluarganya. Alhasil ibu tunggal memiliki kewajiban tambahan seperti memberikan dukungan keuangan untuk keluarga mereka, membesarkan anak-anak mereka tanpa bantuan figur ayah, dan melakukan kegiatan lain yang sering dikaitkan dengan menjadi orang tua. Memerankan figur seorang ayah sekaligus panutan positif bagi anak-anak dapat menjadi suatu hal yang harus dihadapi oleh ibu tunggal.
Hal ini menyebabkan seorang istri memainkan peran tertentu dengan laki-laki agar mereka dapat bertindak sebagai tulang punggung. Dengan adanya kondisi tersebut memungkinkan perempuan untuk beradaptasi dengan kondisi baru, yaitu dengan menambahkan beberapa peran dan tugas yang harus dilakukan.
Bagikan Artikel Ini