Beranda » Perempuan Pencari Nafkah Utama di Keluarga

Perempuan Pencari Nafkah Utama di Keluarga

Di dalam kehidupan, setiap masyarakat memiliki perannya yang berbeda-beda antara laki-laki dan perempuan berdasarkan gender. Salah satunya di mana identitas yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang di konstruksi secara sosial dan budaya, bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, pekerja keras, dan keras serta lebih cocok untuk ber aktivitas di luar rumah sedangkan perempuan itu lemah lembut, cantik, keibuan yang dianggap tidak cocok untuk ber aktivitas di luar rumah.
 
Atas dasar konstruksi sosial ini kemudian diterapkannya peran sosial antara laki-laki dan perempuan di sebuah keluarga dan di masyarakat. Kaum perempuan pada umumnya banyak yang tersingkir ternyata lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki. Pola relasi gender dalam masyarakat patriarki yang memberikan peran lebih ke laki-laki, di mana perempuan disisihkan dan dibatasi dari berbagai kegiatannya, seperti dilarang memiliki hak milik, terlibat dalam berpolitik, hak bersuara, hak ekonomi dan di dalam dunia kerja. Di dalam dunia kerja, perempuan terkadang memiliki penghasilan yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut secara tidak langsung menimbulkan ketidakadilan bagi kaum perempuan karena menimbulkan ketidaksetaraan.
 
Pada umumnya yang mencari nafkah itu adalah laki-laki sebagai seorang suami yang wajib menafkahi istri dan anaknya. Jika istrinya ikut mencari nafkah itu karena beberapa faktor. Namun dilihat dari perkembangan zaman banyak sekali perempuan sebagai pencari nafkah utama keluarga. Seorang perempuan yang punya peran sebagai pencari nafkah utama keluarga jelas tidak mudah bagi siapa saja. Faktanya seorang perempuan yang mencari nafkah utama di keluarga, adalah hal yang tidak asing bagi kita semua.
 
Ketika seorang perempuan mengambil perannya sebagai pencari nafkah itu karena kebutuhan pokok yang meningkat, inilah yang membuat seorang perempuan pencari nafkah keluarga. Seorang perempuan boleh bekerja karena ingin meringankan beban suaminya. Namun, jika seorang perempuan sebagai pencari nafkah di keluarga hal ini disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan pertama perempuan itu benar-benar sebagai pencari nafkah keluarga karena sudah bercerai. Alasan kedua dia benar-benar pencari nafkah utama di keluarga karena suaminya sudah meninggal. Di dalam kasus perceraian, terdapat dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama meskipun sudah bercerai, meskipun mereka sudah bercerai, mereka tetap mengesampingkan ego nya dengan alasan anak serta suami masih mendukung. Sudut pandang yang kedua ketika mereka berpisah secara otomatis istri harus menggantikan peran seorang ayah dan mencari nafkah di dalam keluarga. Alasan ketiga ketika istri memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari suaminya. Dan alasan keempat karena suaminya yang malas bekerja dan hanya berdiam diri di rumah saja dan sibuk dengan dunianya sendiri tanpa memikirkan kondisi dari keluarganya.
 
Dari beberapa alasan yang ada di atas, menurut saya bahwa seorang perempuan bisa bekerja dan hidup tanpa seorang suami. Kenapa banyak sekali perempuan yang mengalami ketidakadilan yaitu karena di negara kita kuat dengan budaya patriarki yang di mana laki-laki derajatnya lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini yang menyebabkan perempuan masih mendapatkan ketidakadilan. Meskipun sudah ada undang-undangnya tentang perlindungan perempuan dan anak-anak tetapi masih saja mengalami ketidakadilan.
 
Namun jika dilihat dari perspektif sosial, masyarakat beranggapan bahwa laki-laki memiliki banyak peran di dalam keluarga tetapi nyatanya terlihat banyak perempuan yang menanggung beban di keluarga. Pada saat PSBB baru diberlakukan, banyak sekali yang terkena dampaknya terutama di kalangan bawah, dan banyak sekali perusahaan yang melakukan PHK kepada karyawannya.
 
Berdasarkan data yang saya temukan kasus perceraian di Indonesia melonjak tepatnya pada tahun 2021. Contohnya di Riau terdapat 12.722 kasus perceraian pada 2021. Di DKI Jakarta terdapat 16.017 kasus. Dan di Sumatera Utara sebanyak 17.270 kasus. Kemudian di Jawa Tengah sebanyak 75.504 kasus perceraian. Di Jawa Timur sebanyak 88.235 kasus. Dan terakhir di Jawa Barat mengalami kenaikan yang cukup tinggi sebanyak 98.088 kasus perceraian pada tahun 2021.
 
Dari data di atas, dapat disinggung bahwa banyak sekali terdapat kasus perceraian dengan banyak faktor yakni kesulitan ekonomi yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam berumah tangga, kemudian diikuti oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan lainnya. Adapun wawancara saya dengan salah satu narasumber saya yang bernama A.N dia seorang perempuan yang baru saja bercerai dengan suaminya dengan alasan ekonomi yang mengharuskan dia menghidupi 2 anaknya yang masih bersekolah. Sebelumnya dia hanyalah ibu rumah tangga yang di rumah saja, sekarang dia berjualan kue tradisional untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari.
 
Ada juga narasumber kedua saya yang bernama C.M dia seorang perempuan pencari nafkah utama di dalam keluarganya dengan alasan suaminya sudah meninggal. Dia harus bekerja di luar negeri dan harus meninggalkan tiga orang anaknya yang kemudian titipkan dengan keluarga dari ayahnya. Selain dia sebagai pencari nafkah utama di keluarganya dia harus menghidupi ibunya yang sakit. Yang terakhir narasumber saya bernama K.M dia sudah lama bekerja sebagai buruh pabrik, ketika pandemi datang dia di-PHK dari tempat dia bekerja, dan suaminya juga sudah lama tidak bekerja lagi.
Dari hasil wawancara saya dengan ketiga narasumber, saya bisa membuat sebuah opini. Di mana ketika menghadapi sesuatu masalah harus dengan kepala dingin dan diselesaikan secara bersama-sama. Sebagai perempuan pencari nafkah utama tidaklah mudah, yang di mana dia memaksakan dirinya harus mencari nafkah untuk keluarga.
 
Dapat dilihat bahwa seorang perempuan bisa melakukan peran ganda selain bisa menjalani kewajibannya sebagai istri, dia juga bisa menafkahi keluarganya seperti yang dilakukan seorang laki-laki. Menurut saya setuju saja jika seorang perempuan mencari nafkah dengan alasan mengurangi beban dari suami, tetapi juga berusaha untuk menghidupkan ekonomi keluarganya yang terpuruk. Ada juga faktor lain yang mendorong perempuan bekerja, yaitu bercerai, ditinggal suami karena meninggal, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari akibat terkena PHK, dan memaksakan dirinya untuk bekerja di luar rumah.
 
Dari opini di atas menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan itu lebih kuat dari laki-laki. Banyak perempuan yang tidak mengeluh dalam bekerja untuk membantu mencari nafkah bagi keluarga. Perempuan memperjuangkan hak nya bukan semata-mata harus diistimewakan melainkan memang pada kenyataannya banyak perempuan yang tidak mendapatkan keadilan yang layak seharusnya mereka dapatkan. Dalam hal ini seorang perempuan itu bisa melakukan pekerjaan apa saja, sebagai ibu rumah tangga bisa, dan pencari nafkah juga bisa.
Bagikan Artikel Ini