Beranda » Gen Z dan Toxic Relationship

Gen Z dan Toxic Relationship

Toxic relationship atau hubungan yang tidak sehat dapat dialami oleh siapa saja, termasuk gen-Z. Toxic relationship dapat memberikan dampak negatif dan merugikan bagi setiap individu yang terlibat di dalamnya.

Beberapa hal yang memicu toxic relationship dalam hubungan adalah kurangnya empati dan sikap egois suatu individu. Lingkungan sekitar dan ruang lingkup pertemanan dapat membantu korban untuk lepas dari toxic relationship. Oleh karena itu, peran lingkungan yang mendukung korban untuk lepas dari toxic relationship sangat penting.

Sayangnya, gen-Z sering terjebak dalam toxic relationship. Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya knowledge dan experience tentang hubungan yang sehat. ketidakstabilan emosi juga salah satu penyebab yang dapat memicu terjadinya toxic relationship.

Gen-Z juga sering kali mempertahankan hubungan yang toxic. Hal ini karena biasanya disebabkan oleh “glamorisasi” (memperindah, mempercantik, dan memperagungkan) yang dilakukan oleh media sosial terhadap sisi toxic dalam hubungan.

Hampir setiap hari ketika saya melihat media sosial, saya melihat video yang berbeda tentang hal-hal yang terjadi dalam toxic relationship yang semakin diagung-agungkan.

Hal-hal yang seharusnya terjadi dalam sebuah hubungan, seperti membukakan pintu untuk pasangan, bertemu orang tua pasangan untuk izin ketika mengajak pergi keluar, membelikannya bunga, dan lain sebagainya, sudah jarang terlihat lagi. Memiliki hubungan yang tidak toxic di kalangan gen-Z ini sepertinya menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk dicapai.

“Red flags” adalah sifat-sifat yang mungkin dimiliki oleh pasangannya yang buruk dan merupakan tanda peringatan bahwa hubungan Anda akan menuju ke arah yang salah. Meskipun red flags ini seharusnya menjadi tanda untuk keluar dari hubungan yang tidak sehat ini.

Sering kali saya melihat orang-orang di media sosial dan bahkan teman-teman saya mengabaikan red flags ini. Gen-Z lebih mementingkan beberapa aspek seperti fisik, penampilan, uang, seks, dll. Karena hal ini, sang korban kehilangan kesempatan untuk mengetahui seperti apa kepribadian seseorang dengan mengenal mereka dan kemudian memutuskan untuk memulai sebuah hubungan yang sehat.

Saya pribadi punya teman yang pernah terjebak di dalam toxic relationship selama kurang lebih satu setengah tahun lamanya. Dia bercerita kepada saya bagaimana sulitnya untuk terlepas dari hubungan yang toxic, sesulit apa perjuangannya di dalam hubungan itu, dan lain sebagainya.

Pada awalnya teman saya ini tidak menyadari bahwa pasangannya itu sudah baik untuknya, teman saya berfikir bahwa perubahan sikap dan sifat pasangannya itu adalah salah satu hal yang wajar dalam suatu hubungan. Kurangnya pengetahuan dia atas hubungan yang toxic ini membuatnya jadi terjebak dalam hubungan tersebut.

Hal yang sangat saya sayangkan adalah teman saya ini tidak langsung memutuskan hubungannya, tetapi malah masih saja mempertahankan hubungan tersebut dengan pemikiran bahwa dia yakin kalau pasangannya ini bisa berubah menjadi lebih baik dan seperti dulu lagi ketika awal mereka menjalin hubungan.

Karena hal itu lah kenapa saya bisa menyebut bahwa korban yang berada dalam satu hubungan yang toxic akan sangat sulit untuk terlepas dari hubungan tersebut, hal ini seolah-olah seperti lingkaran setan yang menjebak siapapun yang ada di dalamnya.

Ketika seseorang telah berhasil untuk keluar dari toxic relationship, sang korban tidak sepenuhnya terbebas dari pengalamannya yang buruk itu, tetapi dirinya masih harus berjuang melawan trauma yang ada di dalam dirinya yang disebabkan oleh hubungan yang toxic di masa lalunya.

Untuk menghindari terjebak dalam toxic relationship, gen-Z perlu mengakui permasalahan yang ada dalam hubungannya, menghargai diri sendiri, dan tidak denial (mengabaikan atau menyangkal pikiran, keinginan, fakta, dan perasaan) bahwa dirinya berada dalam toxic relationship.

Dalam menghadapi toxic relationship, gen-Z perlu menyadari bahwa mereka tetap berharga meski telah direndahkan atau dikendalikan oleh pasangan. Gen-Z juga perlu menyadari bahwa hubungan yang sehat dan bermakna dapat meningkatkan kualitas hidup.

Bagikan Artikel Ini