Beranda » Cerpen Politik : Politik Lahir dari Tuhan

Cerpen Politik : Politik Lahir dari Tuhan

Ilustrasi - foto Dokumentasi Penulis

Di sebuah tempat yang menjadi impian semua umat, air sungai yang jernih dan bersih mengalir begitu deras, pepohonan yang amat subur dihiasi buah yang sangat menggiur, hewan-hewan berlarian kesana kemari menikmati indahnya alam yang masih sangat asri.

Hiduplah dzat yang menempati ‘arsy memberi kehidupan kepada siapapun yang ia kehendaki, menghiasi segala yang ada di alam semesta ini dengan sepenuh hati, mengatur roda kehidupan makhluk yang bernafas di alam semesta ini.

Hari itu, ia menciptakan makhluk yang sangat taat yang tercipta dari sebuah nur (cahaya) yang tiada bandingannya. Tak lupa ia mengambil sebuah api yang ia kehendaki menjadi sosok yang gagah berani. Hiduplah cahaya dan api ini secara berdampingan, menikmati segala keindahan yang ada seraya memuji dan mengagungkan dzat yang telah menciptakan mereka.

“Beruntunglah kita di ciptakan oleh ia, hidup tenang di alam yang sangat mempesona. Maha suci engkau Dzat yang tiada dua-nya” ucap cahaya yang sangat taat kepada-nya.

“Kamipun merasakan hal yang demikian, hidup tenang dan damai menikmati segala yang ada seraya memuji engkau wahai dzat yang maha sempurna” ucap api yang gagah berani.

Bertahun-tahun mereka hidup di tempat itu, menikmati segala yang ada seraya terus memuji tiada henti kepada dzat yang maha tinggi. Tak pernah ada masalah sedikitpun di tempat itu, hari demi hari berganti menjadi berhari-hari, sehingga sampailah pada titik dimana dzat yang maha mulia itu menghadirkan sosok yang sangat ia dambakan dan ia harapkan menjadi panutan untuk kehidupan di alam semesta ini.

Ia menghendaki segumpal tanah menjadi makhluk yang seharusnya tidak memiliki sifat lemah melainkan sosok yang tangguh dan dapat mengemban sebuah amanah yang tentunya tak mudah.

“Wahai kalian yang ada di tempat ini, berkumpul-lah. Aku akan menghadirkan teman baru untuk kalian, sambutlah dia dengan salam penghormatan dan bersujudlah kepada-nya atas nama-ku” ucap dzat yang maha bijaksana.

Pada saat itu, setelah mendengar pengumuman dari-nya semua berkumpul dengan cepat dan bergegas berbaris rapi di hadapan-nya.

Cahaya yang memiliki sifat taat yang sangat tinggi langsung bersujud di hadapan si tanah yang masih kebingungan melihat alam sekitar di tempat itu. Sementara apa yang dilakukan si api justru berbeda terbalik dengan yang dilakukan si cahaya.

“Wahai dzat yang maha bijaksana, mengapa kami harus hormat dan sujud di hadapan tanah yang jelas-jelas kami jauh lebih kuat dan tangguh daripada dia” ucap si api dengan nada tinggi dan memberontak.

“Bukankah segala yang ada di alam semesta ini aku yang menghendaki, sesungguhnya aku lebih mengetahui apa yang kukehendaki daripada kalian semua. Lantas apa yang membuatmu ragu untuk sekedar memberi penghormatan dan bersujud dihadapan si tanah ini wahai api” jawab dzat yang maha bijaksana.

Mendengar ucapan itu si api semakin marah dan memberontak, mereka seolah-olah merasa dirinya adalah yang paling gagah.

“Jelas kami menolaknya, karena engkau menciptakan kami dari sebongkah api yang menyulut sifat keberanian yang tinggi. Sedangkan engkau memerintahkan kami untuk bersujud dihadapan sebuah tanah yang tidak ada bandingannya dengan kami” ucap si api yang tetap menolak untuk bersujud.

“Angkuh sekali kalian wahai api, aku tak pernah menghendaki hamba-ku untuk bersifat sombong dan tak tau diri. Keluar kalian dari tempat ini” jawab tegas dari dzat yang maha bijaksana yang murka dengan keangkuhan si api.

“Baiklah wahai Dzat yang maha bijaksana, kami akan keluar dari tempat ini daripada kami harus bersujud di hadapan si tanah yang tidak ada bandingannya dengan kami. Tapi kami meminta satu hal, izinkan kami tetap hidup agar kami bisa membalaskan dendam kepada si tanah ini” ucap si api dengan nada menantang dan tak tau diri.

“Baiklah, aku izinkan kalian tetap hidup. Tapi camkan, sesungguhnya kalian adalah termasuk hamba-hambaku yang akan merugi kemudian hari”. jawab tegas dzat yang maha bijaksana seraya mempersilakan si api keluar dari tempat itu.

Tak lama kemudian, si api pergi meninggalkan tempat itu seraya menyimpan dendam yang amat tinggi kepada si tanah. Mereka pun terus memikirkan bagaimana cara untuk membalaskan dendam kepada si tanah, agar si tanah menderita dan membayar semua penderitaan si api.

Akhirnya, roda baru dalam kehidupan di tempat itu berubah. Cahaya mendapatkan teman yang jauh lebih baik daripada si api yang hanya mementingkan ego sendiri. Mereka kemudian hidup dengan tenang dan damai menikmati segala keindahan yang ada seraya terus memuja dzat yang maha esa.

Dzat yang maha esa menciptakan tiga elemen penting untuk kehidupan dan dikumpulkan di satu tempat yang terasa hening. Egoisme menghancurkan itu semua, yang seharusnya bersatu untuk menyelaraskan dan menyeimbangkan roda kehidupan justru malah membawa malapetaka yang tak berkesinambungan.

Inilah hakikat kehidupan yang sebenarnya, tak selamanya hidup yang tenang dan damai akan baik-baik saja, roda kehidupan akan terus berputar. Masalah demi masalah akan muncul, kebijakan yang mungkin tak masuk dalam nalar kita, protes dan mencari solusi yang seharusnya menjadi jalan keluar malah kita campurkan dengan amarah dan emosi sehingga tak menemukan ujung yang pasti.

Dari kisah inilah dapat kita simpulkan bahwa politik lahir dari tuhan yang maha esa. Ketika tuhan mencoba menciptakan sistem yang dapat mengatur dan menyeimbangkan kehidupan makhluknya, tetapi sayang justru makhluknyalah yang membuat semuanya berantakan dan tak terkendalikan.

(***)

Bagikan Artikel Ini