Beranda » Etika Berpolitik dalam-Islam

Etika Berpolitik dalam-Islam

Abstraksi

Politik erat kaitannya dengan kepemimpinan dan kekuasaan, yang berarti mengemban suatu amanah. Dimana amanah yang diberikan merupakan deklarasi universal oleh manusia dan akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Politik juga berhubungan dengan pengelolaan masyarakat dan menyangkut hubungan antar manusia, sehingga perlu adanya penerapan etika di dalamnya. Saling menghormati dan menghargai, tidak memaksakan pendapat kepada orang lain adalah etika yang harus diketahui dalam berpolitik dan berdemokrasi. Dalam Islam, politik dipandang sebagai bagian dari ibadah. Untuk itu, sudah seharusnya politik dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah dalam beribadah. Kajian ini menggunakan metode penelitian Pustaka yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber, khususnya jurnal dan buku, untuk mendeskripsikan etika berpolitik dalam Islam.

Kata Kunci : Etika, Politik, Politik Islam,

Pendahuluan

Hukum islam atau yang sering kita sebut dengan hukum fiqih merupakan hukum yang berjalan secara Teratur. Karena ilmu fiqih bergerak dengan sangat cepat, dengan adanya golbalisasi di dunia ini.  Karena sudah tebentuk seperti Al-Qur’an  maupun hadis tersebut sudah tidak dapat diubah dan diganti lagi. Satu satunya kemungkinan yang ada ialah perubahan teks itu dengan mengikuti para ulama maupun fatwa pribadi ahli. Melalui literatur yang beredar, hukum islam kita dapat disebut dengan fiqih siyasah adalah sutau bentuk muamalah itu sendiri yang berkembang sangat cepat. Para sahabat nabi yang menyadari akan pentingnya kemimpinan dan pemerintahan islam, menerapkan sifat sifat tersebut setelah berperginya rasulullah saw. Atas dasar ini, Harun nasution menyatakan bahwa sejarah politik dan ketatanegaraan merupakan studi yang penting dalam Islam. Karena sejarah Islam pada hakikatnya adalah sejarah negara yang corak dan bentuknya berubah menurut perkembangan zaman[1].

Ke berhasilan Jalannya suatu Pemerintahan Dapat dilihat dengan adanya pemimpin pemimpin yang berjiwa Amanah. Pemimpin dipilih melalui pemilu dan dengan harapan bisa memimpin suatu daerah menuju kemakmurannya serta dapat mementingkan kepentingan rakyat terlebih dahulu daripada kepentingan golongannya. Seperti telah disebutkan, menurut EVLDG kepemimpinan yang etis itu merupakan sejumlah asas atau prinsip. EVLDG merumuskan ada empat asas mendasar kepemimpinan yang etis, yaitu:

(1) Kita harns etis untuk bisa memimpin secara etis;

(2) Kita harns bisa dipercaya untuk membina kepercayaan;

(3) Kita harns menentukanjalur untuk dilewati orang lain;

(4) Kita harns yakin bahwa etis itu membawa kemanfaatan.

Penjelasan masing-Ipasing di bawah ini akan mengacu paparan EVLDG sendiri, tetapi dengan berbagai tambahan dari sumber lain, sehingga lebih kaya[2]

Sejarah Politik Islam

            Sejarah islam di dunia dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW, tepatnya berada di Madinah pada 622 M. Di masa itu, Pemerintah Madinah dengan sangat gencar menegakkan bentuk pemerintahan yang adil, serta ber akhlak mulia. Kita dapat melihat bagaimana nabi akhirnya membuat suatu sisitem politik yang akhirnya di anut oleh masyarakat Madinah. Efek yang di timbulkan ini berbuah positif, Masyarakat Madinah akhirnya akhirnya membuat sebuah komunitas yang menampung masyarakat yang sadar akan pentingnya moral dan keadilan bagi seluruh rakyat Madinah. Untuk mengatur kemajemukan komunitas tersebut maka dibuatlah piagam Madinah sebagai undang undang yang sah. Piagam inilah yang akhirnya menjadi awal mula undang-undang dasar pertma bagi negara Madinah dan Nabi Muhmmad SAW. Dan Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kepala pemerintahannya.[3]

Sebagai konstitusi negara, intisari dari Piagam Madinah yang sangat penting untuk diterapkan dalam pembentukan negara Islam yang ideal, yaitu: semua pemeluk Islam yang terdiri dari berbagai suku merupakan satu komunitas dan hubungan antara sesama anggota komunitas Islam didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu, membela yang teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama.[4] Dasar hukum Madinah Berperan penting dalam menyatukan umat Muslim dan non mulim di Madinah, mereka Bersama sama membangun masyarakat yang sadar akan politik, inilah bentuk nyata dari rukunnya masyarakat Madinah dalam hal politik.

Sisitem pemerintahan yang di bangun oleh Nabi Muhammad SAW merupakan pemerintahan yang sangat majemuk. Beliau dapat mempersatukan Madinah dari keberagaman penduduk dan pola pikirnya, meskipun demikian beliau berupaya dengan sangat adil dan objektif dalam menegakkan pemerintahannya. Sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah SAW. dapat dikatakan sebagai sistem politik par excellent atau sistem religius, yang seluruh politik negara dan pekerjaan pemerintahannya diliputi oleh semangat akhlak dan jiwa agama.[5]

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Pemerintahan Madinah dipimpin oleh empat Khalifah, Khulafa Ar-Rasyidin. Pemerintahan mereka menganut kepada pemerintahan yang sebelumnya sudah dijalankan oleh rasulullah, dari sini lah pemerintahan Madinah memperlihatkan pemerintahan yang bermoral dan demokratis. Namun setelah pemerintahan Khulafa Ar-Rasyidin berakhir, pemerintahan dalam Islam mengalami pasang-surut (kebangkitan dan keruntuhan)[6].

Etika Politik Islam

            Sebelum kita membahas tentang Etika dalam berpolitik, lebih baik jika kita mengenal terlebih dahulun Mengenai pengertian dan makna dari etika itu sendiri. Etika banyak di kaitkan dengan moral, pada umumnya meskipun dianggap sama, etika mempelajari baik dan buruk. Jadi bisa dibilang, fungsi etika disini menjadi pedoman perbuatan baik dan buruk seseorang. Di dalam agama Islam pemakaian istilah etika disamakan dengan akhlak, adapun persamaannya terletak pada objeknya, yaitu keduanya sama-sama membahas baik buruknya tingkah laku manusia. Segi perbedaannya etika menentukan baik buruknya manusia dengan tolak ukur akal pikiran. Sedangkan akhlak dengan menentukannya dengan tolak ukur ajaran agama[7].

Namun ada juga yang membedakan kedua istilah tersebut (etika dan moral). Moral selalu dikaitkan dengan Sesuatu yang wajib, dihubungkan dengan norma bertindak yang berupa  Keharusan,  baik  bersifat  relatif  maupun  mutlak.  Moral  merupakan  wacana  normatif dan  imperatif  yang  diungkapkan  dalam  kerangka  yang  baik  dan  yang  buruk,  yang  dianggap sebagai  nilai  mutlak  atau  transenden,  yakni  seluruh  kewajiban-kewajiban  kita.  Sehingga  kata moral  mengacu  pada  baik-buruknya  manusia,  yang  berkaitan  dengan  tindakan,  sikap,  cara mengungkapkannya. Jadi, konsep moral mengandung dua makna. Pertama, keseluruhan aturan dan norma yang berlaku, yang diterima oleh masyarakat tertentu sebagai arah atau pegangan dalam bertindak, dan diungkapkan dalam kerangka yang baik dan yang buruk. Kedua, disiplin filsafat yang merefleksikan aturan-aturan tersebut, dalam rangka mencari pendasaran dan tujuan atau finalitasnya. Arti ke dua inilah yang lebih dekat ke dalam konsep etika[8].

Berbicara mengenai istilah politik biasa menunjukkan pada masyarakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan dianggap bersifat politis, apabila keputusan tersebut diambil dengan memperhatikan kepentingan  masyarakat  keseluruhan.  Suatu  tindakan  disebut  politis,  apabila  menyangkut masyarakat  secara  keseluruhan.  Politisi  adalah  seseorang  yang  mempunyai  profesi  mengenai masyarakat sebagai keseluruhan.[9]

Sedangkan dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, kata politik diartikan sebagai berikut ; 1) (ilmu) pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti sistem pemerintah, dasar-dasar pemerintah); 2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; dalam dan luar negeri. Kedua negara itu bekerja sama di bidang ekonomi dan kebudayaan, partai atau organisasi; 3) kebijakan; cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani masalah)[10].

Etika politik dipandang sebagai salah satu hal yang harus dijalankan dalam Islam. Sebab, Islam memandang segala sesuatunya adalah beribadah kepada Allah SWT. Maka sudah sepatutnya dalam berpolitik seorang muslim harus mengindahkan segala bentuk etika poltik yang sudah diatur. Etika politik Islam ralatif berbeda dengan etika politik umum, sebab etika politik Islam memiliki dasar yang sakral dari wahyu tuhan dan Sunnah[11].

Dalam konteks etika politik Islam, Nilai-nilai akhlak yang cakupannya luas harus menjadi dasar dan pertimbangan Tindakan-tindakan serta legitimasi politik. Bahwa etika politik Islam merupakan suatu konsep yang disertakan dengan prinsip etika atau akhlak, yang berlandaskan Dasardasar keIslaman dalam Al-Quran dan As-sunnah, yang diimplementasikan ke dalam ranah politik sehingga akan menghasilkan kemaslahatan masyarakat pada umumnya Selain untuk mencapai kemaslahatan umat, Islam juga menitikberatkan etika politik sebagai alat untuk mencapai politik yang bersih, sehingga pada akhirnya kesuksesan politik tersebut membawa seseorang pada tercapainya kemuliaan di sisi Allah SWT[12].

Menurut Abdul Wahhab Khalaf dalam teori Islam-nya, etika politik lebih berperan pada bagaimana cara mengelola Negara menuju kemaslahatan tanpa dibarengi dengan diskriminasi terhadap Golongan-golongan tertentu agar terhindar dari kemudaratan. Dengan kata lain mengelola Masalah masalah umum demi kemaslahatan umat dengan menggunakan Ramburambu syariat yang telah tertuang di dalam Al- Quran dan hadits dan prinsipprinsip umumnnya baik dilihat dari segi penganturan kehidupan, Perundangan-perundangan, keuangan dan moneter, peradilan, eksekutif, masalah dalam negeri ataupun hubungan internasional[13].

Berlandas pada Hukum Islam, Teori Hukum Islam Al-Mawardi Dianggap sesuai dengan Teladan yang dialaminya. Artinya, pemikiran politiknya berdasarkan pada teori politik yang sesuai dengan prinsip Hukum Islam. Etika politik Al-Mawardi bersandarkan pada Al-Quran dan AlSunnah terlepas dari kondisi masyarakat yang dihadapi. Dalam konsep etikanya, Al-Mawardi selalu menekankan keharusan seorang penguasa untuk selalu patuh dan berpegang teguh pada nilai etika dan moral yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran dan Sunnah. Dengan ini, Al-Mawardi mencoba memberikan solusi terhadap perbaikan kondisi masyarakat sekaligus untuk menjaga stabilitas politik[14],

Beberapa prinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara antara lain meliputi kekuasaan sebagai amanah, musyawarah, keadilan sosial, persamaan, pengakuan dan perlindungan terhadap Hak-hak asasi manusia. Dalam konteks kenegaraan, amanah dapat berupa kekuasaan ataupun kepemimpinan. Kekuasaan adalah amanah, maka Islam secara tegas melarang kepada pemegang kekuasaan agar melakukan obusei atau penyalahgunaan kekuasaan yang diamanahkanya. Karena itu pemegang kekuasaan atau pemimpin wajib berlaku adil dalam arti sesungguhnya[15].

Dari pemikiran pemikiran diatas dapat di lihat secara luas bahwa, Politik dalam islam merupakan Amanah yang haruss dijaga, dan terus diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan beragama di hidup kita. Seperti yang dijelaskan bahwasannya kekuasaan merupakan suatu amanah, dan amanah merupakan salah satu prinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip amanah tercantum dalam Al-Quran surah An- Nisa (4) : 58 “Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang Sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. “.

Etika Politik Dalam Al-   Qur’an

Berkembangnya Politik dalam islam ini menumbuhkan suatu pola pikir dari ulama maupun tokoh agama yang ada, salah satu pemikir politik, Mumtaz ahmad dalam bukunya yang berjudul State, Politics, and Islam, mejelaskan dengan tiga ciri penting sebuah negara dalam perspektif Islam. Pemikirannya yaitu adanya masyarakat Muslim (ummah), hukum Islam (syari’ah), dan kepemimpinan masyarakat Muslim (khilafah)[16].

Adanya perbadaan pola pikir dari pakar fiqih siyasah tentang adanya dasar hukum politik islam. Abdul Qadir Audah dalam bukunya Al-A’mal al-Kamilah: Al-Islam wa Audha’una alQanuniyah (1994: 211-223) mensistematiskan Prinsip-prinsip politik dalam Islam sebagai berikut:

1) Persamaan yang komplit;

2) Keadilan yang merata;

3) Kemerdekaan dalam pengertian yang sangat luas;

4) Persaudaraan;

5) Persatuan;

6) Gotong royong (saling membantu);

7) Membasmi pelanggaran hukum;

8) Menyebarkan sifat-sifat utama;

9) Menerima dan mempergunakan hak milik yang dianugerahkan Tuhan;

10) Meratakan kekayaan kepada seluruh rakyat, tidak boleh menimbunnya;

11) Berbuat kebajikan dan saling menyantuni; dan

12) Memegang teguh prinsip musyawarah[17]

Dari semua asumsi Pemikiran politik islam dari macam sumber yang membahas pandangan mereka, tetapi jika dilihat dari kajian penulis dengan penyelenggaraan hukum terhadap siyasah yang ada dalam Al-Qur’an dapat di olah bahwa dasar politik islam ialah :

Pertama

Prinsip kedaulatan yang ada memberi makna sebagai sesuatu yang Daulat. Bersifat mutlak dan memiliki kekuasaan yang legal adalah milik Allah SW, lalu di berikan sebagai Amanah darinya kepada manusia dan di emban sebagaimana mestinya. Prinsip kedaulatan atau al Hukmiyah dapat ditemukan dalam Al Quran Surat Yusuf:40: “Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang Nama-nama itu. keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Dilihat dari sejarah hukum dan politik, Kita sudah mengenal teori teori tentang ajaran kedaulatan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, yaitu:

1.) kedaulatan Tuhan

2.) kedaulatan Raja

3.) kedaulatan Negara

4.) kedaulatan rakyat

5.) teori kedaulatan hukum[18]

Selama berjalannya waktu, manusia mengidealkan teori teori tersebut, tetapi seiring berjalannya waktu perubahan teori tersbut dianggap masuk akal dilihat dari perubahan zaman yang mengakibatkan pola pikir dan gaya hidupa mereka yang berubah ubah dan kepentingan yang berbeda juga pastinya. Islam yang kemudia datang, memberikan solusi yang dapat diterima dan akhirnya menjadi solusi dari masalah hidup mereka di dunia maupun di akhirat.

Kedua

Prinsip keadilan. Bisa kita lihat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa:58 san 135

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”

Sebagaimana surat diatas menjelaskan, Prinsip ini merupakan sebuah kunci penyelenggaraan suatu negara. Keadilan dalam hukum berarti, keaddilan tersebut mempunyai kedudukan yang sama dan tidak membeda bedakan hak manusia. Ketika Rasulullah memulai membangun negara Madinah, ia memulainya dengan membangun komitmen bersama dengan semua elemen masyarakat yang hidup di Madinah dari berbagai suku dan agama. Prinsip keadilan dan persamaan dapat ditemukan dalam pasal 13, 15, 16, 22, 23, 24, 37, dan 40 dari Piagam Madinah[19].

Ketiga

Prinsip musyawarah dan ijma’. Prinsip ini adalah Prinsip ini dapat kita lihat penerapannya dalam pemilihan umum di Indonesia. Prinsip ini mengartikan bahwa semua keputusan yang diambil dalam berlangsungnya kemasyarakatan harus melalui adanya persetujuan, musyawarah yang dilakukan oleh seluruh pihak yang bersangkutan serta melalui proses yang transparan. Segala sesuatu yang diputuskan secara otoriter merupakan sesuatu yang di larang dan tidak sesuai politik islam. Sebab ketika hati pemimpin keras, tidak mau menerima saran dan bermusyawarah, maka dipastikan rakyat akan lari dari penguasa tersebut. Lari itu dapat berbentuk sikap tidak lagi memilih pemimpin atau partai tersebut dalam pemilu yang akan datang atau bentuk lainnya[20].

Prinsip ini dapat kita temukan dalam surat Al-Imran: 159:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.14 kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Keempat

Kesamaan disini memiliki arti bahwa islam menerima adanya keberagaman dakam hal sosial dan masyarakat, tetapi bukan berarti yang dimaksud adalah pluralitas yang membenarkan seluruh ajaran agama yang ada. Karena allah telah memberikan petujuk ajaran pada surat  Al-Hujarat:13: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa”.  Warga negara yang non-Muslim—memiliki hak-hak sipil yang sama. Karena negara ketika itu adalah negara ideologis, maka tokoh-tokoh pengambilan keputusan yang memiliki posisi kepemimpinan dan otoritas (ulu al-amr), mereka harus sanggup menjunjung tinggi syari’ah. Dalam sejarah politik Islam, prinsip dan kerangka kerja konstitusional pemerintahan seperti ini, termaktub dalam Konstitusi Madinah atau “Piagam Madinah” pada era kepemimpinan Rasulullah di Madinah, yang mengayomi masyarakat yang plural[21].

Adanya tuduhan yang menyangkut namakan Islam, karena tidak menghormati dalam bernegara umat beragama lain. Tetapi hal itu dikarenakan tidak memenuhi syarat dan kualifikasi terhadapt pemimpin oleh sebab itu mereka tidak di perbolehkan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Kelima

Hak dan kewajiban negara dan rakyatnya. Seluruh warga negara di tanggung semua haknya. Menurut Subhi Mahmassani dalam bukunya Arkan Huquq al-Insan, beberapa hak warga negara yang perlu dilindungi adalah: jaminan terhadap keamanan pribadi, harga diri dan harta benda, kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pelayanan hukum secara adil tanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan medis dan kesehatan, serta keamanan untuk melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi[22]. Prinsip hak untuk hidup dapat kita temui di Al-Qur’an, tidak hanya mengandung nilai nilai mulia yang dapat kita ikuti teladannya, tetapi juga mengandung prinsip prinsip hukum politik islam.

Bisa kita lihat bahwa bukti Al-Qur’an berisi moral moral dan etika yang wajib kita teladani. Isinya yang luas dan mejadi penengan dari segala masalah yang dihadapi umat manusia sekaligus kerangka kehidupan keseluruhan dalam sebuah negara. Sebagaimana kita sebagai umat beragama islam wajib dalam menerapkannya dan wajib pula mengamalkannuya dalam kehidupan. Sesungguhnya allah bersabda panah Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat:72: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindungmelindungi dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”[23]

Etika politik yang ada memberikan moral bagi Berlangsungnya pemerintahan dengan mengacu keapda kemanusiaan, bukan untuk kepentingan Lembaga Lembaga terntentu maupun kepentingan pribadi. Islam memberikan syariat yang sudah seharusnya di amalkan dengan tetap terus berpacu pada ajaran ajaran Nabi Muhammad SAW. Politik yang berjalan harus bersini nilai nilai etika yang tujuannya untuk kesejahteraan rakyat dengan tujuan keadilan sosial. Adapun prinsip-prinsip etika politik dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:

  1. Hubungan antara Kepala Negara dengan rakyat meliputi:
  2. Kewajiban kepala negara:

(1) bermusyawarah dengan warga (Q.S. 3: 159); (2) menandatangani keputusan terakhir (Q.S. 3: 159); (3) menegakkan keadilan (Q.S. 4: 58, 38: 26); (4) menjaga ketentraman (Q.S. 3: 110, 5: 33); (5) menjaga harta benda orang banyak (Q.S. 3: 161); (6) mengambil zakat (Q.S. 9: 103); (7) tidak membiarkan harta benda beredar pada orang-orang kaya saja (Q.S. 59: 7); (8) melaksanakan hukum Allah (Q.S. 5: 44, 45, 47-50); (9) golongan minoritas memiliki hak yang sama dari segi undang-undang (Q.S. 2: 256, 5: 42-48; 10: 99, 60: 7-9).

  1. Kewajiban rakyat meliputi antara lain:
  • disiplin (Q.S. 59: 7); (2) taat yang bersyarat (Q.S. 4: 59); (3) bersatu di sekitar cita-cita tertinggi (Q.S. 3; 103, 30: 31-32); (4) bermusyawarah dalam persoalan orang banyak (Q.S. 42: 38); (5) menjauhi kerusakan (Q.S. 7: 56, 13: 25); (6) menyiapkan diri untuk membela negara (Q.S. 8: 60, 9: 38-41, 61: 1); (7) menjaga mutu moral atau semangat rakyat (Q.S. 4: 83); (8) menjauhi dari membantu musuh (Q.S. 60: 1, 9).
  1. Hubungan Luar Negeri
  2. Hal-hal yang bersangkut paut dengan: (1) hubungan antara Negara Islam dan Negara kafir yang tidak memusuhi Islam (Q.S. 60: 7, 8); (2) cinta damai (Q.S. 8: 61); (3) menyerukan risalah Islam dengan hikmah (Q.S. 16: 125); (4) tanpa paksaan dalam memeluk agama (Q.S. 2: 256); (5) tidak menimbulkan kebencian (Q.S. 6: 108); (6) meninggalkan sifat diktator dan merusak (Q.S. 28: 23).
  1. Dalam keadaan berselisih:

(1) setia pada perjanjian yang telah dibuat (Q.S. 5: 1, 9: 7);

(2) patuh pada syarat-syarat perjanjian yang telah disepakati walaupun membahayakan (Q.S. 16: 91, 92);

(3) menghadapi pengkhianatan dengan tegas (Q.S. 8: 58);

(4) tidak memulai kejahatan (Q.S. 5: 2);

(5) jangan berperang pada bulan haram (Q.S. 9: 36, 2: 217, 5: 2);

(6) jangan berperang di tempat-tempat haram (Q.S. 2: 191);

(7) memerangi bila diperangi (Q.S. 2: 190, 194);

(8) tidak boleh lari ketika bertemu musuh (Q.S. 8: 51);

(9) kecuali untuk mengatur siasat perang atau menggabungkan diri dengan pasukan lain (Q.S. 8: 16);

(10) tidak boleh takut mati (Q.S. 3: 154, 156, 173);

(11) tidak boleh menyerah (Q.S. 47: 35, 2: 192-193);

(12) hati-hati terhadap tipu daya orang-orang kafir dan munafik (Q.S. 4: 77-78, 3: 165-168);

(13) sabar dan mengajak sabar (Q.S. 3: 200);

(14) menghormati hak-hak untuk bersikap netral dalam peperangan (Q.S. 4: 90);

(15) persaudaraan manusia sejagat (Q.S. 4: 1, 49: 13).[24]

Penutup

Etika politik yang berlaku sudah seharusnya tidak menyulitkan poses berlaku. Sistem yang seahrusnya berjalan harus memiliki nilai nilai luhur yang berisi nilai kabajikan, sosialis, keadilan, musyawarah dan mufakat. Tetapi terkadang system politis di masyarakat lebih mementingkan kepentingan pribadi dibanding kepentingan rakyatnya. Padahal jika kita telaah, justru rakyatlah yang berpegang teguh atas kekuasaan yang di amanahkan kepada pemimpin negara. Seseorang pemimpin semestinya mengabdikan pekerjaannya kepada masyarakat, dan harus dapat memustuskan suatu masalah dalam pemerintahan dengan keputusan yang adil, dan tidak mementingkan kepentingan sendiri. Oleh sebab itu, setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin harus didasarkan kepada peraturan- peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam politik yang harus dipatuhi oleh semua pihak[25].

Hubungan yang ada anatar warga negara dengan seorang pemimpin seharusnya berjalan dengan harmonis. Tidak semerta merta harus mendasarkan dengan hubungan kelembagaan, serta agama yang dianut oleh pemimpin tersebut. Harmonisnya hubungan antar pemimpin dan masyarakatnya juga harus tercipta sehungga tercipta rasa kepercayaan diantar keduanya. Sehingga pemimpin yang ideal harus memiliki pengetahuan yang luas, baik berupa tulisan tangan ataupun ketajaman intelektual.[26]

Secara Keseluruhan, etika politik yang sudah dijalankan dan dibangun para tokoh muslim diatas, merupakan contoh ke idealannya politik islam di dunia dan sudah menjadi landasan yang dianggap sangat relevan dengan situasi yang ada. Banyak aspek yang bis akita ambil dalam prisnip prinsip diatas, Yakni ; kapabilitas pribadi pemimpin, keadilan, kejujuran, penyampaian  amanat  pada  haknya,  apresiasi  terhadap  keilmuan  dan  membela  kepentingan rakyat banyak (yang tertindas) di atas kepentingan pribadi dan golongan. Setiap pemerintahan, dimanapun  dan  kapanpun,  yang  tidak  menghiraukan  etika-etika  politik,  niscaya  kehancuran akan selalu menghantuinya[27].

Prinsip Prinsip yang di sebutkan dalam  piagam Madinah, merupakan sumver dari segala bentuk pemikiran yang lahir di masyarakat. Isi piagam ini merupakan gambaran atas kesetaraan yang harus menjadi acuan dari setiap penyelanggaraan pemerintahan. Ke relevanannya juga di akui sebab nilai nilainya yang majemuk dan universal. Karena pada hakikatnya pengaplikasian prinsip prinsipnya menumbuhkan sikap musyawarah dalam berbagai aspek kehidupan. Selain prinsip-prinsip dasar negara yang konstitusinya berdasar syari’ah, ada juga prinsipprinsip tambahan yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam bidang fikih siyasah (hukum ketatanegaraan dalam Islam). Prinsip-prinsip tambahan tersebut adalah mengenai pembagian fungsi-fungsi pemerintahan yaitu hubungan antara Badan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.

[1] Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk, (Jakarta: UI Press), 1995, h. v

[2] KEPEMIMPINAN YANG AMANAH Oleh: Tatang M. Amirin

[3] Ayi Sofyan, Etika Politik Islam, 16

[4] Dahlan Malik, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun,

[5][5] Ibid., 48

[6] Ayi Sofyan, Etika Politik Islam, 17.

[7] Ayi Sofyan, Etika Politik….,, h. 293.

[8] Haryatmoko, 2004,  Etika Politik dan Kekerasan, Kompas, Jakarta, cet. II, hlm. 187

[9] Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik, Gramedia, Jakarta, cet. VII, hlm. 19-20

[11] Achmad Farid‟., “Prinsip Etika Politik Pemimpin Dalam Islam”. Jurnal Dauliyah, vol4, No. 2 (juli 2019), h.68.

[12] Achmad Farid‟., “Prinsip Etika Politik Pemimpin Dalam Islam”. Jurnal Dauliyah, vol4, No. 2 (juli 2019), h.68.

[13] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah dalam Kontekstualisasi Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), cet. Ke-1, jilid 1, h.5.

[14] Ibid, h. 38.

[15] Jan Hendrik Rapar, pengantar filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h.54.

[16] Fahmi, “PRINSIP DASAR HUKUM POLITIK ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN.”

[17] Fahmi.

[18] Fahmi.

[19] Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk, (Jakarta: UI Press), 1995, h. 78 14Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal keduniaan lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya kecuali pada persoalan yang sudah ada nash secara qath’i maka musyawarah tidak dapat dilakukan sesuai kaedah النص مع استشارة

[20] Prof. Dr. Rusjdy Ali Muhammad, Managemen Konflik dalam Kearifan Khazanah Ajaran Islam, Suatu Pengantar dalam buku Mutiara Fahmi Razali, Pergolakan Aceh dalam Perspektif Syariat, (Banda Aceh: Yayasan Pena), Cetakan kedua, 2014, h. x-xi

[21] Fahmi, “PRINSIP DASAR HUKUM POLITIK ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN.”

[22] Fahmi.

[23] Fahmi.

[24] Ayi Sofyan, Etika Politik Islam, 75-76.

[25] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 102.

[26] Zaid Ahmad, The Epistemology of Ibn Khaldun, 161.

[27] “In’Amuzzahidin – ETIKA POLITIK DALAM ISLAM”

Bagikan Artikel Ini