Beranda » Fanatisme Dalam Berpolitik, Berbahayakah?

Fanatisme Dalam Berpolitik, Berbahayakah?

Ilustrasi - foto Dokumentasi Penulis

Politik… oh politik….

76 tahun sudah Indonesia merdeka, perjuangan serta tumpah darah pahlawan telah dikorbankan. Sebagai generasi penerus bangsa sebaiknya kita mempunyai sikap saling menghargai walaupun berbeda pendapat, apalagi Indonesia menganut sistem demokrasi di mana seluruh rakyat turut ikut serta dalam kebijakan-kebijakan di negara ini. Salah satunya dengan berpolitik.

Apasih sebenaranya politik itu?

Berbicara tentang politik pasti tidak jauh dari persoalan mengenai kendali pembuatan keputusan publik, yang mana di dalam politik tersebut menentukan aturan atau tata cara yang bertujuan untuk mencapai kehidupan negara yang lebih teratur.Tetapi kebanyakan orang berlomba-lomba terjun dalam dunia politik bukanlah untuk mengatur ketatanegaraan dengan baik melainkan untuk menduduki kursi jabatan serta memperebutkan kekuasaan dengan tujuan ingin memperkaya diri dengan menghalalkan segala cara.

Pada saat masa menjelang Pemilu misalnya, sebenarnya masyarakat awalnya ingin turut ikut serta saja dalam berpartisipasi di Pemilu ini. Tetapi, kadang para politikus itu melakukan politik uang kepada orang yang sedang membutuhkan biaya maupun orang yang tidak terlalu mengerti dengan adanya permainan politik ini. Tujuan dari adanya politik uang tersebut adalah untuk menarik dukungan dari masyarakat.

Bukan hanya uang saja yang dijadikan tarikan dukungan, melainkan juga masyarakat termakan oleh rayuan janji para politikus tersebut. Janji yang diberikan misalnya jika si kandidat menang, akan diberikan proyek ataupun bantuan. Kemudian para kandidat biasanya mengundang artis-artis serta terjun ke tempat pelosok dengan tujuan mencari simpati masyarakat.

Seperti yang tadi dibicarakan, yang awalnya para masyarakat antusias ingin berpartipasi dalam politik, malah terbawa pengaruh dengan doktrin-doktrin yang dilontarkan si kandidat sehingga menjadikan masyarakat tersebut mendukung sepenuhnya apa yang dilakukan oleh si kandidat. Darisitulah masyarakat mulai mendukung kandidatnya dengan kefanatisan.

Fanatisme yang terjadi di politik ini biasanya bertujuan untuk merebut atau mempertahakan sebuah kekuasaan dalam pemerintahan, orang-orang saling berebutan untuk bertahan serta merebut kekuasaan dengan sifat fanatismenya yang ambisius karena mereka yakin bahwa dengan berkuasa, mereka dapat dengan mudah mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan.

Karena politik ini berhubungan antar warga negara serta pemerintah. Jadi banyak masyarakat yang selalu bebal dengan pilihannya agar bisa sesuai dengan apa yang mereka harapkan sehingga menyebabkan adanya sifat fanatisme. Fanatisme terhadap sesuatu itu sangat membahayakan, entah fanatisme terhadap agama, ideologi, ataupun politik. Sifat fanatisme juga lebih condong ke arah destruktif yang hanya bisa memecah-belah masyarakat.

Apalagi menjelang Pemilu kebanyakan masyarakat menunjukkan euforianya terhadap pesta demokrasi yang terjadi pada lima tahun sekali ini, bahkan saat masa-masa menjelang Pemilu biasanya suasana akan terasa sensitif yang kadang bisa memicu terjadinya perdebatan antar dua kubu yang sedang berlawanan.

Dalam pelaksanaan Pemilu juga biasanya para kandidat melakukan kampanye guna mempromosikan dirinya untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat. Tetapi, tidak selamanya kampanye berjalan dengan lancar biasanya si kandidat ini membuat pandangan-pandangan negatif ke lawannya sehingga reputasi lawannya bisa tercoreng, ditambah lagi dengan adanya para kubu pendukungnya yang fanatis, akan membuat suasana semakin keruh.

Kubu juga dalam artian merupakan kumpulan antar dua tim sukses yang mendukung para kandidatnya untuk turut ikut serta dalam berjalannya sebuah kampanye di masa Pemilu berlangsung. Namun, antar kubu tersebut kadang terlalu memuja-mujakan pilihannya sehingga menyalahkan dan menjelek-jelekan pilihan kubu lawannya.

Gerakan fanatisme ini membuat pendukung menjadi buta hati karena enggan menerima perkataan dari lawan pilihannya serta tidak bisa menerima adanya kritikan. Mereka bersikeras membenarkan apa yang dilakukan oleh pilihannya sekalipun hal itu salah.

Salah satu perlawanan antar dua kubu adalah adanya peperangan di media sosial. Peperangan ini berupa saling tuduh menuduh para kandidatnya, bahkan sampai menimbulkan hate speech. Karena adanya tuduhan ini munculah sebuah isu-isu yang makin disebarluaskan dan bisa dimanfaatkan oleh pihak lain sebagai kartu as lawannya.

Sebagai contoh, saat masa-masa Pemilu di tahun 2019 Jokowi dituduh sebagai seorang komunis yang ingin menjual Indonesia ke Cina dan Prabowo dituduh sebagai pelanggar HAM pada tahun 1998. Tuduhan –tuduhan itulah yang dijadikan oleh antar kubu sebagai senjata untuk saling menyerang.

Contoh tersebut salah satu hal yang bisa menyebabkan terjadinya propaganda politik. jika ada masyarakat yang tak paham betul dengan hal ini, bisa jadi mereka termakan oleh propaganda tersebut yang dapat membuat stigma negatif terhadap salah satu kandidatnya.

Sebenarnya fanatisme ini bisa menjadi sebuah keuntungan serta kerugian bagi para kandidat. Keuntungannya adalah jika kandidat tersebut hanya mendapatkan tuduhan-tuduhan yang biasa dan mendapatkan suatu citra baik yang dibangun oleh pendukungnya, hal itu bisa menjadikan sebuah peluang untuk menambah suara si kandidat dalam Pemilu.

Sedangkan kerugiannya adalah jika kandidat mendapatkan tuduhan kejam serta penggiringan opini yang melenceng dari kubu lawan, ini bisa membuat kandidat tersebut banyak kehilangan suaranya jika masyarakat mendengarkan tuduhan serta opini tersebut.

Jika fanatisme dalam politik ini terus berlanjut akan menyebabkan banyak kerugian, mulai dari tidak bisanya kita untuk berpikir rasional dan dapat menyebabkan perdebatan serta perpecahan hanya karena kita tidak searah dengan apa yang mereka pilih.

Sebaiknya sebagai warga negara yang baik kita harus menentukan baik buruknya dari mengikuti perkubuan ini, jangan sampai terjerumus dalam kefantisan dalam mendukung kandidat.

Seharusnya juga kita memilih kandidat dari visi-misinya bukan karena suruhan ataupun bayaran. Dari hal tersebut dapat dibuktikan bahwa kita ini terlalu mudah percaya dengan ucapan serta rayuan kosong para politikus, jika terus menerus adanya tradisi seperti ini bagimana negara kita ingin maju.

(***)

Bagikan Artikel Ini