Beranda » Kinerja Macet, Dana Lancar

Kinerja Macet, Dana Lancar

Iustrasi - foto istimewa dokumentasi Penulis

Seperti yang kita ketahui pemilu adalah sebagian bentuk dari partisipasi masyarakat dalam demokrasi dan sarana untuk melaksanakan kedaulatan yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pemilu dilakukan agar suatu negara dapat dipimpin oleh pemimpin yang mempunyai kinerja yang baik yang dapat memberikan harapan baru bagi suatu negara untuk mencapai suatu cita-cita hidup berbangsa dan bernegara.

Suatu negara akan mencapai kemajuan pesat apabila dipimpin oleh orang yang tepat, dan orang yang tepat itu adalah orang yang jujur. Sekarang kita hidup di zaman dimana orang jujur itu hampir punah. Semua orang seakan-akan mempertuhankan kekuasaan dan uang, manusia rela melakukan suatu kejahatan hanya demi kedua hal itu.

“Bagaimana suatu negara akan sejahtera apabila dipimpin oleh orang-orang yang tidak jujur?“

“Akan semaju apa Indonesia jika di pimpin oleh orang-orang yang jujur yang amanat terhadap segala tanggung jawabnya?”

Pemilu adalah waktu dimana masyarakat memiliki kesempatan untuk menggunakan hak nya untuk memilih pemimpin bangsa. Berbicara mengenai pemilu, pastinya tidak luput dari persoalan kampanye yang diartikan sebagai serangkaian usaha dan tindakan komunikasi yang terencana untuk mendapatkan dukungan dari sejumlah besar khalayak yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara terorganisir dalam suatu proses pengambilan keputusan dan dilakukan secara berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu.

Dan pemilu pastinya tidak terlepas dari kampanye, dimana kampanye adalah kesempatan bagi para kandidat untuk berlomba-lomba memperkenalkan visi misi dan program-program kerja mereka yang menjanjikan perubahan baik bagi bangsa dan negara, memperkenalkan image baik mereka, serta mendengarkan aspirasi-aspirasi dari para konstituen agar mendapat perhatian dari masyarakat.

Sudah bukan rahasia lagi jika di zaman sekarang pemilihan umum itu tidak seratus persen murni berdasarkan pilihan rakyat dikarenakan para kandidat politik saling berlomba-lomba memberikan suap kepada beberapa pihak untuk tidak memilih ataupun memilih suatu kandidat, dan perilaku tersebut disebut money politics atau politik uang. Money politik ini bukan hanya terfokus kepada masyarakat sebagai konstituen sebagai sasarannya, tetapi juga kepada penyelenggara pemilu seperti KPU.

Indonesia sendiri adalah negara dengan peringkat politik uang ke tiga di dunia. Politik uang sudah menjadi budaya turun temurun, dengan kata lain seperti di normalisasikan dalam penyelenggaraan Pemilu.

Sebenarnya keadaan seperti ini miris sekali, politik uang seakan memberikan rasa percaya diri kepada kandidat-kandidat yang tidak memiliki program yang bagus bahwa mereka akan menang hanya karena mereka memiliki banyak dana, rasanya tidak adil saja apabila kandidat yang kerjanya biasa saja tapi bisa menang.

Selain itu, hukum yang mengatur tentang politik uang juga masih lemah, menyebabkan praktik politik uang masih marak terjadi pada masa sebelum pencoblosan, Pasal 228 UU Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang kepada pemberi atau orang yang menjanjikan, sementara penerima tidak diatur secara tegas. Akan tetapi money politik sendiri bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk suap, maka dengan sendiri nya politik uang dianggap ancaman pidana kepada pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menegaskan bahwa suap itu dapat diancam pidana penjara selama sembilan bulan dan denda lima ratus juta.

Kampanye pada masa kini tidak hanya berbagi rezeki kepada sebagian rakyat saja, tetapi kepada KPUD juga. Tidak heran apabila selama kampanye berlangsung, mereka seperti kedapatan rezeki nomplok. Politik uang itu ada karena para kandidat menggunakan ketidakmampuan rakyat, para politisi ini berpikir bahwasannya manusia ketika berada dalam kesusahan kemudian diberi pertolongan pastinya akan berupaya untuk membalas jasa kepada penolong tersebut. Mereka tahu orang yang sedang kesusahan, misalnya kesulitan dalam perekonomian diberi sembako pun pasti akan sangat berterima kasih. Money politik juga tidak hanya sekedar memberikan suap berupa uang dan sembako, tetapi juga biasanya berupa mengadakan pengajian, wiridan, PKK ibu-ibu di RT/RW di tingkat desa atau acara- acara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon.

Pada saat kampanye seharusnya para kandidat itu bisa memilih cara lain yang lebih efektif untuk memikat para konstituen, misalnya dengan cara bersilaturahmi dan memiliki hubungan yang baik dengan para penyelenggara pemilu. Atau juga bisa dengan menyebarkan satgas agar memantau dan mengumpulkan bukti agar tidak terjadi politik uang, karena dengan didukung alat bukti yang secara hukum kuat (saksi, uang/ meteri, pelaku dan terpenuhinya aspek politik uang) maka Pengawas Pemilu dapat melanjutkan ke aspek penuntutan yang lebih tinggi ke kepolisiaan atau kejaksaan.

Akan tetapi, kandidat-kandidat ini malah lebih mengutamakan berapa banyak rupiah yang dikeluarkan. Memikirkan berapa banyak pihak lawan menyuap para konstituen, seolah-olah bertanding atau melelang perhatian konstituen untuk memberikan suaranya demi mendapatkan kekuasaan di bangku pemerintahan. Padahal tidak ada jaminan nya juga orang-orang yang disuap akan memilih kandidat itu. Karena tidak menutup kemungkinan konstituen yang sudah disuap pun ternyata malah lebih memilih kandidat lain.

Setidaknya kalaupun memiliki banyak dana, para kandidat lebih baik memberikan dana itu kepada para tim sukses masing-masing kandidat sebagai pemacu gairah untuk mencapai suatu target.

Seharusnya rakyat juga tidak menyianyiakan hak nya saat waktu penyelenggaraan pemilu. Bisa kita lihat berapa banyak masyarakat yang asal-asalan saat memilih seorang pemimpin, berapa banyak masyarakat yang memilih seorang pemimpin hanya karena suapan, dan berapa banyak masyarakat yang bahkan tidak berpartisipasi ketika pemilihan berlangsung.

Ketika pemimpin yang mereka pilih hanya karena suapan ternyata tidak melakukan kinerjanya dengan baik, mereka akan berkoar-koar mengeluhkan kinerja pemimpin tersebut. Padahal seharusnya mereka sadar akan pentingnya memilih pemimpin yang bekerja keras, kinerja nya baik, bukan pemimpin yang banyak memberi sumbangan.

Maka dari itu masyarakat juga harus diberikan pemahaman mengenai politik uang, agar masyarakat tidak asal memilih hanya karena suapan. Sebenarnya tidak masalah bagi rakyat untuk menerima sumbangan dari kandidat itu, tapi tetap saja ketika pemilihan umum berlangsung nanti semuanya harus dilakukan secara LUBER JURDIL, karena yang merasakan dampak dari kinerja kandidat tersebut adalah rakyat sendiri.

Seandaikan Pemilu dilakukan dengan sejujur-jujurnya sesuai visi-misi, integritas, program kinerja kandidat, tanpa adanya politik uang yang dilakukan para kandidat yang jelas-jelas merusak hasil demokrasi pemilihan umum itu sendiri, mungkin saja cita-cita bangsa kita dapat tercapai, banyak perubahan besar yang terjadi yang dapat kita rasakan sekarang.

Karena pemimpin yang dari awal bekerja keras untuk menyuap sana sini kepada konstituen untuk memberikan suaranya kepada mereka itu tidak akan fokus dalam menjalani tanggung jawabnya, mereka cenderung berusaha keras memikirkan bagaimana modal yang mereka keluarkan saat kampanye kembali pada mereka, sederhananya balik modal. Tak heran jika ada beberapa kandidat yang berhasil terpilih menjadi pemimpin akhirnya terkena kasus penyalahgunaan anggaran dan gagal menjadi penyambung lidah rakyat. Sampai kapan politik uang ini kita biarkan? Sampai kapan kita membiarkan ketidakadilan seperti ini terus berjalan?

(***)

Bagikan Artikel Ini