Beranda » Cerpen Politik : Mayat-mayat Demokrasi

Cerpen Politik : Mayat-mayat Demokrasi

Ilustrasi - foto Dokumentasi Penulis

Halaman Balai Desa Desa Mekar Makmur nampak sesak diserbu warga yang ingin menyumbangkan hak suara mereka dalam pemilu yang konon bisa mengubah nasib rakyat lebih baik. Semua masyarakat dari berbagai kampung, hadir memenuhi TPS di halaman balai desa tepatnya di Kampung Ketapang. Cuaca cukup terik siang itu. Antrean yang sesak-padat memaksa orang-orang berebut napas di tengah keramaian. Keringat seakan tak pernah kering, orang-orang tak henti mengusap kening dan leher. Bahkan bau apak dan ketiak sudah tak karuan, menyebar ke mana-mana.

Di tengah riuh kerumunan, para panitia penyelenggara tidak kalah sibuk. Setiap dua orang menggotong tubuh-tubuh lemah tak berdaya. Banyak pula yang tergeletak di samping mushola dibantu panitia yang lain. Bau balsam dan minyak angin tak kalah menyengat dari bau ketiak dan apak di kerumunan antrean. Beberapa dari mereka sudah kesulitan bernapas. Kepanikan menjalar siang itu. Adegan gotong-menggotong seakan menjadi tontonan yang menegangkan. Bukan hanya satu, sudah terhitung sembilan belas kali adegan itu berlangsung dihadapan kerumunan masa yang tengah antre di TPS.

Suara bising kemudian menggaung di tengah masa. Mereka bertanya-tanya. Apa gerangan yang terjadi. Petugas TPS satu persatu tumbang. Digotong dan dilarikan ke IGD. Ada yang tengah mengatur antrean kemudian jatuh. Ada pula yang sedang mengangkut barang kebutuhan kegiatan kemudian tersungkur tak sadarkan diri. Bahkan ada yang sedang duduk santai kemudian terkapar jatuh ke tanah.

***
“Bagaimana keadaannya Pak?” tanya salah seorang perawat kepada salah satu pasien yang mulai siuman.
“Kepala saya masih terasa berputar, Sus,” terang Pak Ali, salah satu panitia penyelenggara pemilu yang dilarikan ke IGD
“Bapak jangan banyak bergerak dulu. Bapak kekuragan banyak cairan. Istirahat saja dulu Pak. Biar cairan infusannya masuk ke tubuh Bapak yang dehidrasi,” suster menerangkan.
“Tangan saya sakit, Sus. Pegal. Bisa dicabut tidak jarum infusnya? Saya harus kembali ke TPS. Masih banyak kerjaan saya di sana,” gerutu Pak Ali kepada perawat yang sedang menanganinya.

“Bapak tidak boleh ke mana-mana dulu. Bapak harus dirawat di sini. Lagi pula, kami sedang sibuk untuk mengantar jenazah teman Bapak yang lain ke rumahnya masing-masing,” jelas suster.
Mendengar ucapan perawat tersebut, Pak Ali pun terkejut. Setidaknya ada sedikit ingatan yang tersisa dibenaknya. Sebelum ia dilarikan ke IGD, ia menyaksikan bahkan membantu rekan panitia penyelenggara pemilu di desanya yang tiba-tiba jatuh pingsan satu per satu. Sedikitnya, sebelum Pak Ali, ada Sembilan orang yang secara mendadak terkapar, jatuh dari bangku ke tanah di area TPS. Pak Ali hanya bisa mengingat sebatas itu. Kepalanya masih terasa berat diajak bekerja. Ia hanya bisa menduga-duga tentang yang dikataan perawat soal jenazah-jenazah yang dipulangkan.

Sementara, di balai desa, di tempat pengambilan suara panitia hampir selesai selesai melakukan penghitungan hasil suara. Parta dengan sigap mengambil microphone. Ia telah menerima hasil pengitungan dari bawahannya, bahwa Partai Kerbau Merah mengunguli perolehan suara di desanya. Hanya terpaut beberapa angka dengan perolehan suara dari Partai Beringin Kuning.

“Dari hasil penghitungan suara, Partai Kerbau Merah mendapatkan suara sebanyak tujuh ribu enam ratus tiga puluh dua. Kemudian Partai Beringin Kuning mendapatkan suara sebanyak tujuh ribu empat ratus dua puluh satu. Lalu…”
“Stop! Telah terjadi kecurangan dalam penghitungan suara kali ini! teriakan Ramlan membisukan panitia penghitungan suara.
“Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bahwa Parta berbuat curang! Dia dengan para bawahannya yang sekarang sedang terbaring di IGD, telah mecoblos surat suara lebih awal sebelum waktu pemilihan tiba. Mereka selama tiga hari tiga malam melancarkan niat busuk itu! Saya mempunyai bukti foto dan saksi untuk itu,” serang Ramlan.

Semua panitia kaget dengan ucapan Ramlan terutama Pak Somad, Kepala Desa Mekar Makmur. Dengan saksi dan bukti yang diberikan Ramlan ia hanya bisa mengusap dada. Ia tak percaya bahwa Parta, seorang yang jujur bisa melakukan kecurangan untuk kepentingannya sendiri. Pikir Pak Somad, apalagi partai yang menang adalah usungan Parta.
“Pak Babin, tolong lihat bukti ini. Apakah bukti foto ini kurang kuat? Kesimpulan paling logis adalah banyak bawahan parta yang masuk IGD dan meninggal karena dijadikan sapi perah. Jadi budak kerja rodi untuk kepentingannya sendiri,” serang Ramlan lagi.

Belum sempat Parta mengeluarkan satu dua patah kata, Babinsa Polsek Mekar Makmur dan bawahannya menyeret Parta dari panggung. Suasanan menjadi ricuh. Masa yang tidak terima akan tuduhan Ramlan melawan polisi yang hendak menyeret Parta.

“Tuduhan Ramlan itu tanpa dasar Pak Babin. Pak Parta itu orang baik. Selama tiga hari tiga malam kami bekerja untuk mempesiapkan acara pemilihan saja. Tidak pernah berbuat yang tidak-tidak. Apalagi mengotori tangan kami dengan kecurangan!” protes Sanusi sembari menarik Parta.

“Nanti bisa kita cari tahu kebenarannya di Polsek. Dengan beberapa bukti dan saksi sudah cukup bagi kami untuk menangkan Pak Parta,” jelas Pak Babin.

***
Sudah dua hari Parta tak sadarkan diri di rumah sakit. Selang infus juga alat bantu pernafasan telah menjadi aksesoris kepedihan Parta. Narti istri Parta hanya bisa menangis, sambil membacakan ayat suci bersama Siti anak semata wayang mereka mendoakan kesembuhan Parta. Setelah satu hari penuh interogasi di polsek, Parta tiba-tiba terkapar di dalam sel. Segera ia dilarikan ke rumah sakit oleh pihak kepolisian. Karena proses hukum tidak bisa berjalan jika yang bersangkutan sakit. Tapi kian hari kondisi Parta semakin memburuk. Hari ini Narti dan Siti tengah membacakan doa untuk Parta yang telah menitipkan namanya di tepi papan dan tanah merah.

(***)

Bagikan Artikel Ini