Beranda » Cerpen Politik: Realitas Pesta Demokrasi

Cerpen Politik: Realitas Pesta Demokrasi

Foto Dokumentasi Penulis

Suasana jalanan desa yang sejak beberapa bulan yang lalu sudah dipenuhi oleh baliho dan spanduk tiga bakal calon kades. Sudah sangat jelas menandakan bahwa akan digelarnya pesta demokrasi. Obrolan bapak-bapak yang biasa nongkrong dan ngopi di warkop akhir-akhir ini berubah menjadi sedikit serius semenjak pemilihan kepada desa yang sempat ditunda karena pandemi Covid-19. Akhirnya memasuki babak baru, yang rencananya akan digelar bulan depan.

“Akhirnya, ada perkembangan soal pilkades ya Yok, Semoga saja rencana pemungutan suara di desa kita benar dilaksanakan bulan depan”

“Betul Khlis, dagang di situasi pandemi begini juga lagi sepi, kalau ada pesta demokrasi kan setidaknya kita dapet sembako dan amplop dari tiga calon kades”

“Alah, kamu Yok Yok sok-sok an pake bahasa pesta demokrasi segala udah kayak orang sekolah aja”

“Tapi bener khlis, apa kata Doyok barusan, setidaknya kan kalau ada pesta demokrasi kita semua bisa dapet sembako dan calon kades bakal sering-sering ngadain acara silaturahmi” sambung Bi Ijah pemilik Warkop

“Tapi saya denger-denger cakades nomor 1, baru jual mobil buat modal kampanye, padahalkan baru kemarin jual tanah warisan bapaknya”

“Bukan cuma nomor 1 khlis, cakades nomor 2 sama nomor 3 juga gak kalah. Mereka berdua juga pasti nyiapin modal yang gak sedikit buat bersaing dalam pesta demokrasi”

“Bi, Kopi susu nya satu ya!” Mamat seorang mahasiswa yang dikenal pintar didesa nya tiba-tiba datang ke warkop Bi Ijah

“kayaknya seru banget nih Pak Mukhlis sama Pak Doyok ngobrolnya, lagi ngomongin apa nih?” tanya Mamat

“Nah kebetulan nih Mat ada kamu, saya mau nanya sebenernya apa sih pesta demokrasi itu? Soalnya si Doyok nih dari tadi sebut kata itu terus padahal kan kita lagi ngomongin pilkades”

“Tumben nih bahas pesta demokrasi segala, karena pilkades yang sempet ditunda kemarin mau diadain sebentar lagi ya”

“Iya nih Mat, Mukhlis juga malah ngomongin calon nomor 1 yang baru aja jual mobil sama tanah warisan bapaknya”

“Bukan cuma calon nomor 1 sih, nomor 2 sama 3 juga pasti persiapan duit nya gak sedikit” sambung Doyok

“Bener tuh Mat, apa pesta demokrasi makan uang banyak ya” tanya Bi Ijah sambil memberikan kopi yang dipesan Mamat

“Jadi binggung jawabnya, satu belum dijawab udah dikasih pertanyaan lagi”

“Pesta demokrasi itu sebenarnya cuma istilah keren aja dari pemilihan, mau itu pemilihan presiden, pemilihan gubernur, sampe pemilihan kades”

“Tapi Kenapa disebut pesta Mat, kan cuma memilih?” Tanya pak Mukhlis

“Karena dalam demokrasi, sistem pemerintahannya diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dimana kita sebagai warga punya hak dalam mengambil bagian perihal keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan dalam bernegara, salah satunya dalam hal memilih pemimpin, termasuk kepala desa. Jadi pesta disini artinya kita semua punya hak yang sama untuk bisa memilih secara bebas”

“Tapi Mat, saya gak terlalu peduli dengan keputusan yang mempengaruhi kehidupan bernegara, lagian juga warga disini kebayakan gak peduli sama hal yang kamu bicarakan tadi. Yang penting saya dapat sembako dan amplop. Yang namanya pesta demokrasi itu, para cakades yang mengadakan pesta dan kita semua yang menikmati pesta tersebut. Siapa yang paling gede isi amplop nya dan paling banyak isi sembako nya, dia yang akan dipilih oleh warga dan jadi kepala desa” Sanggah Pak Doyok

“Nah bener tuh Mat, dari Pilkades sebelum-sebelumnya juga udah membudaya cakades bagi-bagi sembako dan amplop ke warga” Tambah Bi Ijah

Mamat yang baru saja menjadi mahasiswa kebingungan, pasalnya pemahaman yang selama ini ia dapat di kampus berbeda dengan pemahaman warga di desa nya. Walau hanya beberapa kali mengikuti mata kuliah pengantar Ilmu Politik, tapi Mamat tau ia sebagai mahasiswa punya peranan sebagai agent of change. Dalam hal ini bagaimana caranya merubah pandangan warga desa tentang politik dan demokrasi. Mamat tidak boleh menjawab secara spontan dan sembarangan, ia harus berpikir keras bagaimana menyampaikan cara berdemokrasi yang benar dengan cara sesederhana mungkin.

“Tapi sebenernya berapa sih gaji kades itu, sampe cakades berani ngeluarin modal gede, sampe nekat jual mobil sama tanah” Tanya Pak Mukhlis

“Yang pasti gaji nya kades, lebih besar dari penghasilan warkop saya sih” celetuk Bi Ijah

“Walaupun kecil Khlis, tapi kades itu punya wewenang dalam banyak hal, terutama soal perizinan dan lain-lain. Penghasilan kades bukan cuma dari gaji dan tunjungan tapi ada dari yang lain-lain juga, Nah disitu kades bisa balik modal” Jawab pak Doyok

Mamat yang masih kebingungan dengan tanggapan pak Doyok sebelumnya dibuat tambah binggung dengan jawaban pak Doyok perihal penghasilan kades. Pasalnya yang ia tau, money politics is a mother of corruption. Politik uang itu akar dari korupsi. Dan pak Doyok secara sadar mengetahui kalau para kades yang akan ia pilih punya kemungkinan untuk korupsi.

“Belajar politik di kuliah aja bikin pusing, ditambah realita ini bikin tambah pusing” Ucap Mamat dalam hatinya

“Setau saya ya pak, bi, dalam demokrasi, rakyatlah yang berhak menuntut pertanggungjawaban pemimpin. Tapi, kalau calon pemimpin beli suara, kita sebagai pemilih yang justru dimintai pertanggungjawabannya, karena kita mau menukar mandat demokratis dengan sembako dan uang yang gak seberapa” Mamat mencoba menjawab pertanyaan

“Jadi kalau kades yang kita pilih korupsi atau melalukakan kesalahan, kita gak bisa minta pertanggungjawaban beliau dong Mat? Karena suara kita sudah dibeli” ujar pak Mukhlis

“Bener tuh pak Mukhlis, rakyat atau warga tidak lagi memiliki kedaulatan penuh atas suara dan partisipasi nya dalam sebuah pagelaran politik karena suaranya sudah dibeli”

“politik uang itu adalah the mother of corruption, artinya politik uang itu akar dari korupsi. Sangat besar potensi nya untuk korupsi. Mau gimana pun juga, kades akan berpikir bagaimana cara balik modal terlebih dahalu dibanding bagaimana mensejahterakan warga. Jadi jangan kaget kalau nanti ada bantuan dari pemerintah disunat sama pihak desa” tambah Mamat

“Alah kamu Mat, omongan kamu terlalu ribet. Kalau kades nya korupsi ya salah kades nya dong. Dosa juga dosa yang melalukan korupsi. Saya sebagai warga, cuma mau ikut memeriahkan pesta demokrasi ini aja ”

“Lagian lumayan juga karena ada pesta demokrasi ini, cakades setiap minggu buat acara silaturahmi dan makan-makan. Kadang dikasih amplop juga. Kan lumayan Mat, bibi gak perlu masak dan ada tambahan buat belanja” Tambah Bi Ijah

“Kamu ada benernya Mat, Tapi malah aneh kalau pesta demokrasi gak ada bagi-bagi sembako dan amplop. Mubajir juga kalau kamu dikasih sembako atau amplop malah nolak. Apalagi diajak silaturahmi dan makan-makan sama warga yang lain. Kan gak enak kalo nolak”

Mamat semakin mengerti apa yang selama ini yang katakan oleh dosennya “demokrasi tidak akan terjadi jika tidak ada transaksi”. Dan Ia semakin yakin apa yang dikatakan oleh seorang satiris, aktifis politik dan juga seorang penulis esai dan novel yaitu George Bernard Shaw yang berbicara soal demokrasi. “Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang dipergilirkan melalui pemilu, di mana orang banyak yang tak kompeten menunjuk sedikit orang yang korup.” Mamat menyaksikan langsung apa yang dikatakan oleh Shaw, dimana orang yang tak kompeten menunjuk sedikit orang yang korup.

Praktik money politics yang terjadi membuat Mamat sadar bahwa sistem demokrasi tidak lagi sesuai dengan definisi ideal yang ia pelajari selama di sekolah dan kuliah. Dimana rakyat tidak lagi memiliki kedaulatan penuh atas suara dan partisipasi nya dalam sebuah pesta demokrasi. Praktek money politics di anggap sebagai suatu kewajaran oleh warga dikampungnya tanpa tau seberapa bahaya dan merusak sistem demokrasi. Money politics juga tidak dianggap sebagai sesuatu yang salah secara normatif. Sehingga warga membiarkan hal itu.

Mamat juga tahu kalau praktek money politics bukan hanya terjadi pada saat pilkades, namun lumrah terjadi juga pada pesta demokrasi yang lebih besar. Demokrasi dan money politics seolah dua kata yang sulit dipisahkan, apalagi ketika membahas soal demokrasi di Indonesia.

Mamat gelisah dengan apa yang terjadi di desa nya. Ia sempat bercita-cita menjadi Kades suatu saat nanti. Tapi Mamat sadar ia hanyalah orang biasa yang tidak punya kemampuan finansial yang mumpuni untuk bisa bersaing dalam kancah pesta demokrasi, walaupun hanya di tingkat desa. Tapi dia tetap optimis akan ada perubahan untuk desa nya dan sistem demokrasi di Indonesia. Pertanyaan Mamat sampai saat ini hanya satu “bisakan saya menjadi kades hanya dengan modal intelektual dan moral?”

(***)

Bagikan Artikel Ini