Beranda » Seberapa Hebat Demokrasi?

Seberapa Hebat Demokrasi?

Ilustrasi - Sumber Foto : Dokumentasi Penulis

Sebagai seseorang yang baru lulus SMA, dan Alhamdulillah dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sebagai mahasiswa, yang juga  kebetulan mendapat mata kuliah Pengantar Ilmu Politik, saya sempat melintaskan sebuah pertanyaan di dalam pikiran, tentang seberapa hebat demokrasi sehingga Indonesia memutuskan untuk menganut sistem tersebut dengan bangga. Memangnya demokrasi, khususnya di Indonesia telah terbukti mengedepankan kepentingan rakyat, seperti yang diartikan Abraham Lincoln, bahwa demokrasi adalah “pemerintahan dari  rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”

Rasanya wajar-wajar saja pertanyaan itu terlintas dalam pikiran saya, sebab bukankah itu termasuk ke dalam kebebasan berpikir yang dijamin oleh undang-undang? Toh, dalam berpikir, saya selalu menempatkan diri sebagai anak kecil yang masih polos dalam memandang segala sesuatu dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar sehingga selalu memberikan pertanyaan-pertanyaan yang kadang memang kerap mengundang tawa, marah, atau bahkan kebingungan, kepada yang ditanya.

Dan dalam kasus ini, sebagai seorang “anak kecil”, saya juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan membuat beberapa pihak akan menunujukan respon seperti apa yang saya tulis diatas tadi. Namun, percayalah, ini merupakan akibat rasa ingin tahu saya dan kepolosan saya dengan tidak mengedepankan satu pandangan tertentu. Intinya, saya sempat meragukan demokrasi, karena beberapa kenyataan di lapangan yang justru berbanding terbalik dengan  tujuan awal dari demokrasi, membuat saya terpaksa meragukan sistem tersebut.

Jika dibandingkan dengan beberapa pengertian demokrasi, sepertinya masih banyak kejadian-kejadian yang justru bertentangan akan nilai-nilai demokrasi di beberapa negara yang menganut sistem ini, termasuk di Indonesia. Atau jangan-jangan pengertian demokrasi yang seharusnya dapat meguntungkan rakyat hanya sebuah Lip Service belaka yang diumbar oleh para politikus seolah-olah mereka siap menerima kritik.

Dalam laporan tentang indeks demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU)  tahun 2020,  Indonesia yang menduduki peringkat ke-64 dari seluruh dunia, dengan mendapat skor 6.3, turun dari laporan sebelumnya yakni 6.48, angka terendah dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Banyak yang menganggap situasi pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan skor tersebut. Seperti contohnya Amerika Serikat yang meraih skor 7.29.

Beberapa pihak menilai kejadian-kejadian seperti kekerasan penegak hukum terhadap suatu ras, konflik pilpres, dan acuhnya pemerintah dalam mendengar masukan masyarakat dalam menangani pandemi, membuat negeri Abang Sam menduduki peringkat ke-25. Sungguh nilai yang sangat disayangkan untuk negara yang menjadi lambang dari demokrasi itu sendiri.

Padahal menggunakan alasan pandemi sebagai dalih untuk membenarkan penurunan kualitas demokrasi sungguh tidak masuk akal. Justru disaat situasi darurat seperti saat ini, yang menunjukan pentingnya suara-suara masukan dari masyarakat. Jika dilihat dari kacamata demokrasi, pemerintah seharusnya dapat mendengarkan kritik dan saran dari masyarakat, guna terwujudnya kepentingan bersama. Dengan begitu, jalannya sebuah negara tidak akan terkesan hanya dapat ditentukan oleh keputusan pemerintah saja, tanpa melibatkan masyarakat dan kelompok oposisi.

Namun alih-alih bersikap terbuka, pemerintah justru terkesan tidak transparan dalam merumuskan suatu kebijakan. Contohnya ketika adanya revisi RUU KPK tahun 2019 dan pengangkatan jenderal polisi aktif,  Firli Bahuri, sebagai ketua KPK yang sempat dinilai kontroversial oleh beberapa pihak untuk memimpin lembaga anti-rasuah itu . Saat itu keputusan tersebut mendapat banyak penolakan dari kalangan aktivis, mahasiswa, PERS, dan masyarakat. Namun sikap DPR dan pemerintah justru kompak untuk mengabaikan suara-suara tersebut.

Atau pada awal 2020, misalnya, ketika para pejabat publik membuat candaan seolah-olah virus corona seolah tidak akan memasuki Indonesia. Padahal sebelumnya, masyarakat beramai-ramai telah mengingatkan agar pemerintah mewaspadai virus yang berasal dari Cina tersebut.

Entah kebetulan atau tidak, kecemasan masyarakat perlahan terbukti. Firli divonis melanggar kode etik oleh Dewan Pengawas KPK dengan kasus penggunaan barang mewah. Saat itu ia menyewa sebuah helikopter untuk perjalanan pribadi. Lalu dampak revisi UU KPK yang mengatur peralihan status pegawai KPK menjadi ASN. Dengan alasan seleksi sebagai ASN, sebanyak 57 pegawai KPK yang kebanyakan kerap menangani kasus-kasus korupsi besar, dipecat karena dianggap tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan(TWK), meski tes tersebut terkesan “dibuat-buat”. Yang paling memalukan, ketika pemerintah yang awalnya meremehkan penularan Covid-19, kalang kabut mendapati hadirnya kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada awal Maret 2020.

Dalam demokrasi, “suara” merupakan hal yang sangat penting demi terjalannya sebuah pemerintahan. Walau kadang suara itu mungkin tak mengenakan untuk didengar. Apalagi jika yang bersuara adalah rakyat, yang seharusnya memiliki kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi. Seharusnya para pejabat yang  berkuasa atas kehendak rakyat, mengedepankan hak dan kepentingan rakyat.  Karena apapun agenda dan strategi para pejabat pubik tentu akan berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat.

Mengambil contoh ketika panasnya tensi Pilplres 2019. Saat itu presiden Joko Widodo mencalonkan kembali sebagai petahana, melawan Prabowo Subianto, dari kelompok oposisi dalam memperebutkan kursi kepresidenan. Akibat persaingan tersebut, masyarakat seakan terbelah menjadi dua kubu. Yaitu kubu pro-Jokowi sebagai pendukung petahana, sedangkan kubu oposisi dengan mengusung Prabowo-Sandiaga Uno. Saat itu media sosial selalu diramaikan cuitan dari masing-masing pendukung paslon untuk menyerang satu sama lain. Bahkan mereka saling menamai kubu lawan masing-masing dengan sebuah istilah. “Cebong” sebutan untuk pendukung Jokowi, dan “kampret” bagi para pendukung Prabowo.

Perselisihan cebong-kampret ini secara tak sadar  berdampak langsung terhadap kehidupan bermasyarakat. Bahkan perselisihan ini berhasil masuk dalam lingkungan terdekat, seperti pertemanan, keluarga, atau mungkin pasangan sendiri.  Untuk saya pribadi, sebisa mungkin untuk menghindari pembahasan politik dengan teman atau saudara yang berbeda pandangan. Karena tak jarang seuah pertemanan rusak akibat saling ngotot tentang suatu pendapat politik, atau bahkan keluarga besar yang terpecah akibat beberbeda pilihan capres tadi. Sehingga untuk orang seperti saya yang males untuk ngotot-ngototan, pembicaraan politik merupakan hal yang sangat saya hindari.

Itu merupakan contoh bahwa demokrasi berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat. Disaat rakyat sibuk membela satu tokoh politik idolanya, mereka kadang lupa suara mereka dianggap penting hanya saat pemilihan saja. Oleh karena itu pejabat publik yang adalah sebuah hasil dari demokrasi, sudah seharusnya mempertimbangkan dampak baik atau buruknya terhadap masyarakat.

Untuk meminimalisir dampak buruk dari kelakuan para pejabat, sebenarnya rakyat bisa saja menyuarakan suaranya lewat perwakilannya atau nama tenarnya adalah, Dewan Perwakilan Rakyat(DPR). Posisi DPR yang setara dengan presiden, melambangkan bahwa kedudukan antara rakyat dan pemimpinnya itu sama. Oleh karena itu, ketika pemerintah ingin membuat suatu kebijakan harus mendapat peresetujuan dahulu dari DPR, yang dianggap sebagai representasi dari rakyat. Tapi, jika memang begitu aturannya, kenapa masih banyak kebijakan yang merugikan rakyat padahal telah ada persetujuan dari DPR. Apakah DPR keliru mendengar kegelisahan dan kecemasan rakyat?

Jadi menurut saya, keputusan Indonesia untuk menerapkan demokrasi merupakan pilihan yang tepat. Karena, demokrasi merupakan buah hasil pemikiran yang sangat cemerlang, jika tujuannya adalah untuk kepentingan seluruh masyarakat. Namun jika disandingkan dengan pengertian demokrasi menurut Abraham Lincoln tadi, tampaknya hampir di semua negara yang menganut sistem ini masih belum ada yang mendekati prinsip “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, termasuk di negeri ini.

Bagikan Artikel Ini