Beranda » Urgensi Penambahan Porsi Mata Kuliah Etika Profesi Akuntansi

Urgensi Penambahan Porsi Mata Kuliah Etika Profesi Akuntansi

Siti Ratna Sari Dewi

Dalam menyusun suatu kurikulum pembelajaran, suatu perguruan tinggi lazimnya mensinergiskan konsep perenialisme dan esensialisme. Konsep perenialisme mengacu pada transformasi karakteristik budaya, agama, adat, adab, serta nilai-nilai luhur suatu bangsa yang akan diturunkan dari generasi ke generasi. Sementara itu, konsep esensialisme lebih menekankan pada aspek penguasaan ilmu dan kompetensi. Bagi para esensialis, proses pendidikan yang paling penting adalah membangun kemampuan mahasiswa untuk menghasilkan intelektualis yang handal dan kompeten. Esensialis menganggap bahwa nilai-nilai budaya dan karakter ‘kurang’ penting dalam suatu proses pendidikan.

Apabila mengacu pada banyak struktur kurikulum perguruan tinggi, komposisi mata kuliah terlihat lebih memprioritaskan konsep esensialisme. Terbukti, mata kuliah keahlian pasti lebih banyak daripada mata kuliah yang sifatnya membangun karakter dan mentransformasi nilai-nilai agamis-religius kepada para mahasiswa. Kondisi seperti ini cukup dilematis, karena disatu sisi mahasiswa harus dapat mencapai kompetensinya, tetapi di sisi lain kurang didukung oleh pembentukan karakter. Kondisi dilematis seperti ini nyaris dialami oleh seluruh jurusan dalam perkuliahan di kampus, tidak terkecuali jurusan akuntansi.

Mahasiswa jurusan akuntansi lebih banyak ‘dijejali’ mata kuliah-mata kuliah yang bersifat esensialisme. Meskipun mayoritas perguruan tinggi telah memasukan juga mata kuliah pendidikan agama serta kewarganegaraan yang bersifat perenialisme, tetapi komposisinya cenderung kurang seimbang. Misalnya, dari 120 SKS yang akan ditempuh seorang mahasiswa strata 1, mata kuliah-mata kuliah perenialis rata-rata hanya sekitar 10 hingga 15% saja. Padahal, sebagai calon akuntan, mahasiswa jurusan akuntansi benar-benar perlu dibekali oleh nilai-nilai etika, agama, serta nilai-nilai luhur budaya. Mengapa demikian?, karena seorang akuntan yang jujur dan beretika dapat sangat menentukan ekonomi suatu bangsa.

Sebagai contoh saja, jika seorang akuntan berlaku curang, misalnya dengan melakukan manipulasi atas laporan keuangan serta tindakan manipulatif lainnya, maka dampak yang dihasilkan akan sangat berbahaya. Beberapa kasus besar diantaranya yang menimpa PT Kimia Farma, PT Garuda Indonesia, hingga PT Pilar Sejahtera tidak terlepas dari peran akuntan. Ketiga kasus yang dicontohkan tersebut memiliki dampak yang cukup besar bagi stabilitas ekonomi. Bahkan, pada tahun 2000-an, kasus PT Enron di Amerika Serikat yang menggegerkan dunia juga relatif melibatkan akuntan yang curang dan tidak beretika.

Berdasarkan hal itu, penting sekali bagi seorang akuntan untuk menjunjung tinggi etika profesinya. Dalam konteks ini, mata kuliah etika profesi akuntansi di perguruan tinggi sebagai salah satu bagian dari implementasi kurikulum berlandaskan perenialisme nampaknya perlu ditambahkan porsinya. Bisa dengan ditambah SKS nya, atau ditambahkan jumlah mata kuliahnya. Tentunya, mata kuliah etika profesi tersebut juga jangan sampai hanya menekankan pada knowledge saja. Aspek terpentingnya justru terletak pada pembentukan karakternya. Sebagaimana tujuan utama dari kegiatan mempelajari ilmu, yaitu untuk membentuk dan menghasilkan karakter yang mengerti.

Seseorang yang mengerti, pasti akan selalu dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Orang yang mengerti juga cenderung akan bijak, selalu dapat memaafkan, dan peka terhadap beragam persoalan. Oleh karenanya, inti bagi seorang mahasiswa belajar akuntansi adalah agar dapat menjadi akuntan yang mengerti. Mengerti cara menjalankan tugasnya, mengerti bagaimana seharusnya ia dalam menjalani profesinya. Mengerti juga mengenai kewajibannya dalam mengembangkan ilmu.

Tidak dipungkiri, mahasiswa sekarang ini memang perlu diarahkan untuk mencapai kompetensinya. Oleh karenanya, pemberian mata kuliah-mata kuliah yang bersifat esensialisme juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan salah. Terlebih, tidak sedikit mahasiswa akuntansi hari ini yang justru kurang mampu menguasai bidang pekerjaannya sendiri. Dengan demikian, porsi mata kuliah esensialis yang lebih tinggi tentu diperlukan. Tetapi, jangan sampai lupa diimbangi oleh mata kuliah perenialis untuk mendukung tercapainya karakter yang diharapkan. Idealnya, nilai-nilai perenialisme seperti karakter, etika, agama, norma, sosial, dan budaya juga disisipkan dalam mata kuliah-mata kuliah esensialisme. 

Siti Ratna Sari Dewi, S.E., M.M

Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Pamulang

(***)

Bagikan Artikel Ini