Beranda » Tradisi Nyapun Pengantin dalam Prosesi Pernikahan Adat Sunda

Tradisi Nyapun Pengantin dalam Prosesi Pernikahan Adat Sunda

Nyapun dalam adat sunda dapat diartikan atau disamakan dengan adat Nyawer yang ada pada suku betawi atau jawa. Walaupun dalam tradisi ini berbeda tata cara pelaksanaannya, namun pada hakikatnya tetaplah sama. Yang disebut dengan tradisi nyapun adalah nasihat-nasihat perkawinan, selain itu juga dapat diartikan sebagai permohonan doa-doa yang dicurahkan untuk kedua mempelai agar pernikahannya selalu diliputi keberkahan dan jodohnya langgeng tidak ada perceraian.

Dalam tradisi nyapun diperlukan beberapa syarat, berupa barang-barang yang harus ada pada saat pelaksanaannya. Yaitu : kursi, payung, beras, uang receh, kunyit, bunga-bunga, batok kelapa. Menurut kepercayaan masyarakat sunda, seluruh barang-barang tersebut memiliki makna tersendiri yang dapat diartikan, seperti kursi yang harus terdapat dua kursi, dan dimana pengantin wanita harus berada di sebelah kiri pengantin pria dengan maksud bahwa seorang pria yang tulang rusuknya berkurang satu sudah dilengkapi dengan kembalinya tulang rusuk pria yang hilang.

Selain itu juga terdapat payung yang diharuskan memayungi kedua pengantin yang sedang di sapun, yang mengartikan keberkahan selalu memayungi keluarga yang baru dan sebagai lambang kewaspadaan. Barang yang ketiga adalah beras, yang mengartikan pasangan suami istri ini agar hidupnya berkecukupan, makmur, karena beras melambangkan kemakmuran.

Selain itu juga terdapat uang receh, yang memiliki arti kemakmuran dalam segi ekonomi, agar pengantin yang baru ekonominya selalu bagus dan baik. Kunyit yang berwarna kuning diibaratkan seperti emas, dengan harapan agar kedua mempelai didup tidak kekurangan, melainkan lebih. Bunga-bunga mengartikan kasih sayang, agar pengantin pria dan wanita rasa kasih sayangnya tidak pernah hilang dan selalu terjaga. Barang yang terakhir adalah batok kelapa, berfungsi sebagai tempat penyimpanan semua barang-barang seperti beras, kunyit, uang receh, dan bunga-bungaan, ini mengartikan bahwa semua sumber rezeki yang mereka dapatkan harus hemat dan bisa menabung di satu tempat dengan bekal kebersamaan. Alat-alat tersebut harus dipenuhi seluruhnya sebelum dilaksanakan tradisi nyapun. Apabila terdapat kekurangan dari alat-alat tersebut, maka tradisi nyapun tidak bisa dilaksanakan.

Adat istiadat dan kebudayaan bukan hanya merupakan aset suatu bangsa, melainkan jati diri yang muncul dari khasanah kehidupan melalui proses yang sangat panjang. Terhadap nilai-nilai budaya bangsa tersebut, dipandang perlu adanya berbagai upaya yang harus dilakukan, karena budaya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena kebudayaan merupakan hasil dari pemikiran dan perbuatan manusia. Pernikahan adat sunda saat ini lebih disederhanakan, sebagai akibat percampuran dengan ketentuan syariat islam dan nilai-nilai “keparaktisan” dimana sang pengantin ingin lebih sederhana dan tidak bertele-tele. Namun dibalik itu semua, adat nyapun tetap memiliki sisi positif sebagai harapan dan doa-doa baik bagi kedua pengantin.

Dalam prosesi sapun bukan hanya sekedar melemparkan saweran terhadap kedua pengantin, tetapi terdapat mantra yang merupakan harapan dan doa, selain prosesi sapun juga terdapat beberapa prosesi lain yang dianggap sama pentingnya dalam pernikahan adat sunda diantaranya terdapat siraman, sawer, pabetot bekakak atau dalam bahasa Indonesia disebut rebutan bekakak ayam. Diantara rangkaian prosesi pernikahan adat sunda keseluruhannya memiliki mantra sakral yang serat akan makna serta permohonan doa bagi kedua pengantin dan masih banyak mempengaruhi orang-orang sunda pada umumnya.
Mantra yang digunakan saat prosesi siraman :

“Cai suci cai hurip cai rahmat cai nikmat. Hayu diri urang mandi, Nya mandi jeung para Nabi, Nya siram jeung para Malaikat, kokosok badan rohani, cur mancur cahayaning Allah, cur mancur cahaya ning ingsun, cai suci badan suka, mulih badan sempurna.”

Artinya : Air suci air hidup, hidup dengan segar dan sehat, air rahmat air nikmat, mandi bersama para nabi, mandi bersama para malaikat, menggosok badan rohani, mancur cahaya Allah, mancur cahaya saya, air suci badan suka, badan kembali sempurna”

Mantra tersebut digunakan oleh masyarakat sunda sebagai pengharap berlangsungnya acara pernikahan yang khidmat dan sebagai harapan pembersihan jiwa serta raga bagi pengantin.
Mantra yang digunakan saat prosesi saweran atau biasa disebut dengan kidung sawer:

“Pangapunten kasadaya kanu sami araya, Rehna bade nyawer heula ngedalkeun eusi werdaya, dangukeun ieu piwulang, tawis nu mikamelang teu pisan dek kumalancang, megatan ngahalang-halang, bisini tacan kaharti, tangetkeun masing rastiti, ucap lampah ati-ati. Kudu silih beuli ati. Lampah ulah pasalia singalap haying waluya, upama pakiya-kiya, ahirna matak pasea.”
Artinya : mohon maaf semuanya, untuk yang ada disini, kami akan nyawer dulu. Dengarkan petunjuk ini, tanda yang menghawatirkan, menghentikan yang menghalangi, takutnya belum mengerti, hati-hati lah dalam bertingkah laku, harus saling membeli hati, tingkah laku jangan bertentangan, kalau kita ingin selamat. Kalau bertentangan akhirnya akan bertengkar.”

Mantra atau kidung sawer diciptakan untuk memberikan nasihat bagi kedua pengantin, agar kedua pengantin selalu hidup dalam kerukunan, penuh kasih sayang, dan saling melakukan segalanya bersama, dengan tetap memperhatikan tingkah laku satu sama lain, kedua pengantim akan hidup dalam kedamaian dan dijauhkan dari pertengkaran.

Mantra yang digunakan sebelum melakukan prosesi pabetot bakakak :
“Bul kukus mendung kamanggung, nedapa payung kadewata neda suka, kapohaci neda suci, pun sapun ke sang rumuhun, kaluhur kasunanambu, kabataranaga raja, kula amit ngidung heula, Nyilokakeun nyukcruklaku laku lamun dutrahayu, Ngalaplambah nu baheula, lulurung tujuh ngabandung, beas di awur-awur tumbal panguripan sajati. Ti pohaci sang hyangsari di dang-dayang tresnawat”

Artinya : dengan cara membakar kemenyan, meminta kepada yang maha kuasa, minta perlindungan kepada para dewa minta diberi kasih sayang kepada sang pencipta, minta diberi kemulyaan, terimakasih kepada para leluhur, kepada leluhur para wali, dan juga kepada para dewa, raja kami memohon bersenandung menjelaskan perjalanan hidup, meminta kesempurnaan, mengingat kehidupan di masa lampau, dengan cara 7 macam ditaburkan sebagai persembahan kemulyaan sejati, dari leluhur sang hyangsri dikramatkan tresnawati.

Selain itu, masyarakat sunda juga mempercayai sebuah makna dari pabetot bakakak yakni diantara kedua pengantin, siapa yang mendapatkan potongan bekakak paling besar, maka kelak ialah yang paling banyak mendapatkan harta benda.
Dari kesimpulan diatas, prosesi pernikahan adat sunda memang masih mengandung kebudayaan mistis yang telah lama menjadi warisan nenek moyang, hal tersebut terlihat dari rentetan prosesi pernikahan, khususnya prosesi sapun panganten.

Seiring berjalannya waktu dan terjadinya kemajuan zaman, semakin jarang muda-mudi yang memutuskan melakukan acara pernikahan dengan prosesi adat sunda yang sesungguhnya, selain terkesan bertele-tele dan memakan waktu yang cukup lama, pegiat adat dan budaya sunda murni kini sudah semakin sedikit. Terlepas dari segala hal apapun, adat istiadat serta kebudayaan harus tetap dilestarikan.

***

Bagikan Artikel Ini