Beranda » Manifestasi Harga Diri Masyarakat Adat Bugis Dalam Tradisi Sigajang Laleng Lipa

Manifestasi Harga Diri Masyarakat Adat Bugis Dalam Tradisi Sigajang Laleng Lipa

Indonesia merupakan bangsa yang memiliki keberagaman suku, ras, maupun adat istiadat. Keberagaman tersebut menciptakan bahasa, sistem mata pencaharian, sistem pengetahuan, sistem tekhnologi, sistem kesenian, sistem kekerabatan dan religi yang kemudian disebut dengan 7 unsur kebudayaan universal. Namun dengan perkembangan globalisasi saat ini, kebudayaan maupun tradisi tertentu mengalami pergesaran seiring dengan termodernisasinya masyarakat adat. Salah satunya adalah Sigajang Laleng Lipa, tradisi dari kebudayaan lokal masyarakat bugis yang sarat akan makna filosofis, memaknai bahwa perasaan “malu” harus dimiliki oleh setiap manusia.

Sigajang Laleng Lipa adalah salah satu ritual penting pada masyarakat bugis yang keberadaannya hampir hilang ditelan zaman. Ritual ini dilakukan dengan menyatukan dua pria di dalam sebuah sarung. Kedua pria nantinya akan saling bertarung dan adu kekuatan hingga keduanya sama-sama mati atau sama-sama hidup, atau salah satunya mati. Jarang dalam ritual ini pihak yang mati atau hidup sendirian. Ritual Sigajang Laleng Lipa mulai dilakukan pada masa Kerajaan Bugis ratusan tahun lalu. Di masa lalu, jika ada dua keluarga yang berseteru, penyelesaian terakhirnya adalah dengan adu kekuatan ini. Kalau ada keluarga yang harga dirinya diinjak, pertarungan ini akan dilangsungkan agar segala permasalahan segera diselesaikan dan perselisihan tidak terus terjadi.

Sigajang Laleng Lipa sendiri dianggap sebagai cara terakhir apabila tidak mencapai kata damai dalam sebuah musyawarah untuk menyelesaikan masalah, agar masalah selesai diselesaikanlah dengan cara sigajang laleng lipa. Konon, tradisi ini berasal dari sifat masyarakat bugis yang menjunjung tinggi rasa malu, atau yang dalam bahasa bugisnya disebut siri.

Siri ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Bugis. Bahkan ada pepatah yang mengatakan, hanya orang yang punya siri yang dianggap sebagai manusia, dan hampir semua orang bugis mempunyai prinsip narekko siri kuh mo’lejja-lejja copponna mih  Kawalie ma’bicara, yang artinya jika malu saya kamu injak-injak maka ujungnya Badik yang bertindak. Sigajang Laleng Lipa sendiri telah ada sejak masa kerajaan bertahun-tahun silam dan ritual ini dilakukan oleh dua orang yang berduel dalam satu sarung, keduanya menggunakan badik. Dalam tradisi tersebut, tak tanggung tanggung, nyawa taruhannya.

Dipentaskan kembali dalam sebuah panggung untuk menjaga kelestarian warisan budaya. Pementasan ini dimulai dengan pementasan tari, dan ritual bakar para penari menggunakan obor. Namun, para penari tetap tersenyum dan tidak tersengat kepanasan, setelah itu barulah kedua pementas beradu dalam sarung untuk melakukan gajang laleng lipa. Menurut kepercayaan, ritual ini memiliki makna tersendiri, dimana sarung diartikan sebagai simbol persatuan dan kebersamaan masyarakat Bugis.

Berada dalam sarung berarti menunjukkan, diri mereka ada dalam satu tempat dan ikatan yang menyatukan, dalam kata lain ikatan kebersamaan antar manusia. Meski terkesan brutal dan mengerikan, ritual ini merupakan tradisi dan ciri khas masyarakat Bugis. Ketika perselisihan tak dapat dihindari karena sebuah perselisihan dan menjunjung harga diri yang harus ditegakkan. Disaat itulah nyawa tak ada artinya, dan konflik berdarah harus dilakukan dalam ritual bernama gajang laleng lipa, ini sangat memerlukan keberanian tersendiri. Hal ini tak lain dan tak bukan adalah untuk menjunjung kemulian dan harga diri manusia.

Beginilah Masyarakat bugis yang menyelesaikan masalahnya dengan cara yang terbilang sangatlah sadis, tetapi masyarakat bugis mempunyai jiwa tali persaudaaran yang sangat baik mereka rela berdarah demi orang yang mereka anggap saudara, masyarakat bugis juga terkenal sangat pemberani seluruh pulau yang ada di Indonesia bahkan sampai di negeri tentangga Pun malaysia dan singapura orang bugis terkenal pemberani dan disegani.

Bagikan Artikel Ini