Beranda » Kata Sapaan dalam Budaya Masyarakat Indonesia

Kata Sapaan dalam Budaya Masyarakat Indonesia

Foto Dokumentasi Penulis

Perluasan makna kata sapaan dalam budaya masyarakat Indonesia sangat menarik untuk dibahas. Masyarakat Indonesia dari dulu dikenal dengan sifat ramahnya kepada sesama. Ramah tersebut dilihat dari kesantunan kepada lawan tutur.

Kesantunan ditunjukkan sebagai sikap hormat, baik kepada yang tua atau yang lebih muda, bahkan yang sebaya.
Kesantunan tersebut membuat beberapa bahasa daerah di Indonesia memiliki kasta bahasa. Di Jawa misalnya ada ragam krama inggil, krama madya, dan ngoko. Ketiga berbeda penggunaan tergantung konteks situasi tuturan.

Penutur asli bahasa Jawa tidak kesulitan membedakan penggunaan ragam tersebut. Hal itu karena sudah tertanam sejak kecil. Keluarga sudah membiasakan penggunaan ragam krama kepada anaknya yang masih kecil.

John Locke mengatakan bahwa anak-anak seperti kertas kosong. Teori tersebut lama dipakai para keluarga Jawa untuk menanamkan pekerti kepada anak untuk menciptakan generasi yang berbudi luhur. Apalagi, anak dalam usia emas (golden age) sangat baik untuk diajari hal-hal positif. Terutama pemerolehan bahasa.

Proses migrasi masyarakat Jawa ke seluruh pelosok Indonesia membuat bahasa Jawa mempengaruhi kosa kata bahasa Indonesia. Hal itu karena kosa kata bahasa Jawa menjadi sangat umum dijumpai di berbagai wilayah. Apalagi di mana pun tempat selalu ada orang Jawa dengan jumlah yang tidak sedikit. Orang Jawa membentuk komunitas menjadi masyarakat di wilayah tersebut. Hal itu membuat bahasa Jawa menjadi tersebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Bahasa Jawa menjadi tidak asing lagi. Termasuk di antaranya kata sapaan.

Kata sapaan merupakan salah satu bentuk kata sandang yang digunakan untuk mendampingi nama orang. Fungsi dari kata sapaan ini untuk menghormati orang lain. Maka dari itu dikenal kata sapaan hubungan kekerabatan, contohnya bapak, ibu, tuan, nyonya, adik, kakak, dan sebagainya. Penggunaan kata sapaan menyesuaikan lawan tutur yang disapanya.

Itu sebabnya, sapaan hubungan kekerabatan mengalami perluasan makna. Tidak harus memiliki hubungan darah untuk memanggil bapak pada laki-laki yang lebih tua atau ibu untuk perempuan yang lebih tua.

Penggunaan kata sandang dalam sapaan menjadi ciri budaya masyarakat Indonesia. Di beberapa negara, memanggil orang yang lebih tua, termasuk di dalamnya orang tua, tidak perlu menggunakan kata sapaan. Cukup menyebut nama saja. Dan itu sah dan sopan. Hal itu karena budaya mereka sudah seperti itu. Berbeda dengan di Indonesia. Hal itu justru diangap tidak sopan karena tidak menghormati orang yang lebih tua.
Budaya penggunaan kata sapaan dalam bahasa Indonesia juga dipengaruhi oleh bahasa Jawa.

Orang yang baru pertama bertemu, akan menyapa mas untuk mitra tutur laki-laki dan mbak untuk mitra tutur perempuan. Penutur tidak selalu berlatar bahasa Jawa. Kebiasaan tersebut terjadi pada saat pertemuan awal atau kedua belah pihak belum saling mengenal. Panggilan mas atau mbak menjadi alternatif dari pada kakak. Padahal sapaan kakak merupakan bentuk sapaan umum dalam bahasa Indonesia. Artinya, sapaan mas dan mbak mengalami perluasan makna.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi penyapaan kakak terhadap orang yang belum dikenal. Pertama, pemanggilan mas atau mbak lebih umum mengingat Jawa menjadi suku mayoritas di Indonesia. Ada kemungkinan besar bahwa lawan tutur juga berdarah Jawa.

Kedua, beberapa kata sapaan berbahasa daerah lain kurang dimengerti oleh masyarakat umum, seperti Cak dan Yu bagi orang Madura. Akang dan teteh bagi orang Sunda. Uda dan uni bagi orang minang, dan sebagainya. Cak dan Yu misalnya, sapaan tersebut lebih akrab diterima di Jawa Timur meskipun penutur Madura tidak banyak di sana.

Namun, penyapaan cak sudah akrab sejak lama sehingga penyapaan menggunakan Cak atau Yu tidak membuat mitra tutur tersinggung. Beda halnya jika penyapaan tersebut dilakukam di daerah lain. Di Jakarta misalnya. Penyapaan Cak dan Yu hanya dilakukan apabila penutur tahu bahwa lawan tutur adalah orang Madura atau Jawa Timur lainnya.

Sapaan Mas dan Mbak digunakan untuk menyapa orang secara umum membuat sapaan tersebut mengalami juga penurunan makna. Bagi orang Jawa disapa mas atau mbak merupakan salah satu penghormatan. Namun, beda halnya dengan dalam lingkup pergaulan di Jakarta. Itu sebabnya beberapa orang tersinggung dipanggil mas atau mbak. “Emang gue Jawa”.

Belum semua orang mau disapa dengan sapaan mas atau mbak. Hal itu karena sebagian orang beranggapan bahwa mas atau mbak masih identik dengan Jawa. Hal yang paling parah adalah mengasosiasikan sapaan mas dan mbak sebagai sebutan untuk pembantu. Padahal sapaan mas atau mbak tidak sesempit itu.

Penggunaan abang di Jakarta mengalami perluasan seperti mas di beberapa daerah. Hal itu karena sapaan abang bagi laki-laki Betawi yang menjadi penduduk asli Jakarta. Namun, sapaan abang masih dalam wilayah Jabodetabek saja. Berbeda dengan mas yang menjangkau ke beberapa wilayah di luar Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Yogyakarta.

Hal itu menandakan sapaan mas dan mbak sudah menjadi sapaan umum di Indonesia karena jangkauannya menjadi lebih luas dan dapat diterima oleh sebagian besar orang. Apalagi untuk mereka yang baru dikenal. Lebih akrab menyapa mas atau mbak dibanding menggunakan kakak.

(***)

Bagikan Artikel Ini