Beranda » Ubrug Sebagai Warisan Budaya Masyarakat

Ubrug Sebagai Warisan Budaya Masyarakat

Indonesia adalah negara yang kaya akan kekhasan seni tradisinya dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia. Di ujung Pulau Jawa tepatnya di Provinsi Banten terdapat kesenian tradisional yang khas dan berkembang di masyarakatnya.

Seni tradisional ini dikenal dengan istilah ubrug oleh masyarakat Banten, secara etimologi ubrug berasal dari kata ‘brug’ yang menurut pelaku seni ubrug, dahulu pementasan ubrug dilakukan secara keliling dengan membawa seluruh alat musik, property, kostum bahkan kebutuhan pementasan lainnya yang seabrug (bahasa sunda) maka seiring berjalannya waktu pementasan tersebut dinamai dengan istilah ubrug.

Dalam buku acara Pekan Teater Tradisional terbitan Pembinaan Kesenian Depdikbud bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta (27 September s.d. 1 Oktober 1977), istilah “ubrug” senada dengan kata-kata saubrug-ubrug, sagebrugan, dan sagebrugna dalam bahasa Sunda, yang berarti bertumpuk-tumpuk dan tidak teratur.

Pengertian ubrug dari aspek deskriptif dapat dirumuskan sebagai berikut, yakni salah satu bentuk folklore yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.  Di Serang, folklore tersebut berkembang dari kampung Prisen, Walantaka dengan pola permainan yang longgar dengan memadukan unsur komedi, gerak/tari, musik, sastra (lakon), dan perupaan yang khas.

Ubrug menurut pelakunya berasal dari kata gabrugan, Abrag, grubug dan ubreg (istilah jawa Serang) adapun pengertian dari masing-masing tersebut diatas sebagai berikut:

  1. Gabrugan yang berarti memanfaatkan pelaku seni peran sesuai dengan keahlian dan kemampuan dalam memainkan suatu peran.
  2. Abrag dalam arti teks adalah  tidak ada rasa atau tidak ada isi.
  3. Grubug arti secara bahasa adalah bohong.
  4. Ubreg, yang memiliki makna secara bahasa adalah rebut, brisik, bercanda, atau ngebanyol.

[1]Pengertian ubrug menurut istilah adalah pertunjukan komedi masyarakat yang memiliki kemampuan acting  secara alamiah untuk keperluan ritual dan hiburan tanpa teks naskah atau pakem. Ubrug termasuk jenis teater tradisional yang konon memiliki keserupaan dengan lenong (betawi), longser (jawa Barat), ketoprak (jawa tengah), dan ludruk (jawa timur. Keserupaan tersebut terletak pada sifatnya yang anonim (tidak diketahui siapa penciptanya), dilakukan di arena terbuka, dan mengandalkan improvisasi pemain. Keserupaan lain antar pertunjukan ubrug dengan longser adalah bahasa yang digunakan serta struktur pertunjukannya. Berdasarkan pada buku bahan ajar muatan lokal kesenian daerah Banten yang disusun oleh MGMP seni budaya, mengatakan bahwa kesenian ubrug di Banten di bagi kedalam bebera fase pertunjukan dilihat dari sumber energi yang digunakan pada saat itu, diantaranya :

  1. Fase Obor

Pertunjukan Ubrug dilakukan di tanah lapang berbentuk melingkar dengan menancapkan penerang berupa obor dititik-titik tertentu, pada fase ini penonton langsung berbaur dengan para pemain dan direspon oleh para aktor mapun para nayaga (pemain musik).

2. Fase Patromak

Pada fase ini pertunjukan masih tetap menggunakan tanah lapang dan belum tampil diatas panggung. Akan tetapi di tempat-tempat tertentu sudah menggunakan media panggung yang sederhana terbuat ala kadarnya.

3. Fase Aki (Acu)

Media penerang dengan aki ini sudah banyak menggunakan panggung sebagai sarana pementasan dan sudah didukung oleh sound system sebagai pengeras suara. Pengeras suaranya pun masih sederhana sekali hanya amplifayer dan corong toa dengan model mic seperti mangkok yang digantung di panggung.

4. Fase Listrik

Fase ini pementasan ubrug sudah melakukan perubahan dalam bidang peralatan di bidang pengeras suara dan panggung. Akan tetapi walaupun media pertunjukan semakin enak dan tidak gelapan-gelapan, sebagaian masyarakat enggan untuk menampilkan pertunjukan ubrug sebagai sarana hiburan rakyat dalam setiap hajatan atau syukuran. Sehingga membuat para kelompok seni tradisi gulung tikar ditambah dengan serbuan media hiburan yang tak ada henti-hentinya seperti layar tancap dan organ tunggal sehingga para pemain kesenian tradisional mengalami kemunduran.

Fase yang terjadi tersebut adalah bagian dari upaya masyarakat Banten beserta pelaku seni itu sendiri untuk melakukan sebuah proses inovasi dalam cara mementaskan ubrug itu sendiri, agar ubrug tidak tergerus oleh zaman. Di tambah ketika menginjak era teknologi serta digital harus memaksa para pelaku seni ubrug melakukan banyak inovasi atau bahkan hingga melakukan rekonstruksi pada seni ubrug itu sendiri agar tetap tidak kalah saing dengan media televisi serta content creator lain yang memberikan hiburan.

Secara umum seni ubrug memiliki struktur pertunjukan, menurut pelaku ubrug sendiri yakni Mahdiduri dan Yadi Ahyadi dalam skripsi Tirta N biasanya struktur tersebut ,diantaranya  adalah :

  1. Tatalu, dalam istilah sunda merupakan musik pembuka, pada setiap pementasan ubrug, hal pertama  yang dilakukan dalam pertunjukan mendendangkan irama lagu-lagu jaipongan, ketuk tilu dan patingtung (kendang pencak). Irama lagu-lagu jaipongan biasa digunakan oleh komunitas yang berada di wilayah Serang Timur, Tangerang, Pandeglang, dan Lebak. Sedangkan yang menggunakan kendang penca meliputi daerah Cilegon dan Bojonegara. Tatalu ini bertujuan untuk mengundang para penonton sebelum cerita dimulai, karena dengan mendengar suara tabuhan gamelan, masyarakat menjadi penasaran dan ingin menyaksikan pertunjukan tersebut.
  2. Lalaguan, merupakan istilah dalam bahasa Sunda mengandung arti daftar lagu yang dibawakan. Pada saat lalaguan, para pemain musik dan pesinden menyanyikan lagu-lagu sunda yang diiringi oleh gamelan. Irama yang dimainkan ialah lagu-lagu jaipong. Adapun lagu yang dinyanyikan sesuai dengan alur cerita pertunjukan. Lalaguan selalu berjalan diantara pergantian adegan ataupun pergantian pemain.
  3. Tatalu singkat, sebagai jembatan menuju bagian nandung sembari persiapan penari nandung untuk mengambil bagian.
  4. Nandong atau Nandung merupakan sebuah lagu/kawih yang berisi sisindiran[2] yang merupakan pengantar kepada lawakan. Nandong ini dibarengi sebuah tarian yang dilakukan penari atau ronggeng, sambil ngibing[3] mengikuti irama jaipong. Secara umum nandong dalam ubrug memiliki lirik/syair seperti berikut.
  5. Bodoran “lawakan”, menampilkan tokoh bodoran (lawakan) yang membuat penonton tertawa dengan lawakan melalui dialog, gesture dan gesture sebagai bridging menuju lakon yang akan dimainkan.
  6. Lakon “isi cerita” , merupakan bagian dimana lakon dipentaskan dihadapan penonton dengan karakter masing-masing pemain. Biasanya para pemain akan melakukan musyawarha terlebih dahulu terkait lakon yang kan dipentaskan dan proses musyawarah terjadi di belakang panggung atau bawah panggung. Lakon yang biasanya diangkat adalah lakon yang berisi isu-isu sosial yang sedang hangat terjadi di masyarakat tersebut.
  7. Soder, dalam pementasan ubrug yang semalam suntuk tentu membuat penonton mengantuk, namun hal ini bisa diminimalisir dengan adanya bagian soder, yaitu beberapa Ronggeng keluar dengan menampilkan goyang pinggulnya. Soder ini bertujuan untuk menghibur penonton agar tidak jenuh pada saat menonton sajian semalam suntuk. Soder ini juga dimanfaatkan untuk menarik saweran dari penonton yang hendak ikut ngibing bersama penari lainnya. Setelah itu cerita dilanjutkan kembali hingga berakhir.
  8. Gending penutup, merupakan musik penutup pertunjukan ubrug yang menandakan pertunjukan tersebut telah berakhir.

Pertunjukan teater tradisional berupa pagelaran lakon yang diramu dengan musik sebagai iringan, nyanyian, dan tarian. Unsur lawak tidak pernah absen dalam setiap pertunjukan (Sumardjo : 1997). Begitupun dengan ubrug, sebuah seni pertunjukan tradisonal khas Banten yang kaya akan disiplin ilmu seni lainnya, berupa musik gamelan bahkan dalam beberapa kelompok ubrug menghadirkan atau menambahkan [4]pongdut di dalam struktur pertunjukannya, terdapat tari-tarian berupa tari jaipongan namun seiring dengan perkembangan zaman terdapat pula kelompok ubrug yang menggunakan tarian rampak bedug dalam struktur pertunjukannya, dan yang paling di tunggu dari setiap pertunjukannya adalah lawakan atau bodoran yang dari segi cerita selalu banyak improvisasi dan dadakan serta dilakukan dengna musyawarah oleh pelaku di saat saat sebelum pementasan dimulai.

Ubrug saat ini memang berbeda dengan ubrug pada masa lalu, kini pementasan ubrug tidak lagi seperti pengertian penyebutannya yang ‘brug’, ‘seabrugan’ dll. Kini hanya sedikit kelompok-kelompok di Pandeglang khususnya yang concern[5] untuk tetap mementaskan ubrug sebagai sebuah warisan budaya Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui Kantor Bahasa Banten adalah mendata ulang serta membuat tulisan serta artikel tentang pagelaran uburg di wilayah Banten, satu diantaranya adalah persitiwa budaya yang terjadi di Halaman Budaya pimpina Yopi Hendrawan.

Halaman Budaya bersama Kantor Bahasa Banten menggelar serta mendokumentasikan sebuah pagelaran ubrug yang dimainkan oleh kelompok ubrug yang bertahan hingga saat ini. Kelompok bah Rancung atau lebih dikenal dengan kelompok Tiga Saderek, tiga bersaudara sedarah yang masih aktif untuk bermain ubrug ini sudah tidak dalam usia yang muda lagi, rata-rata umur ketiga saudara ini sudah diatas 60-an namun masih bertahan untuk tetap ngubrug, karena bagi mereka ubrug bukan hanya sebuah pertunjukan melainkan ada hal lain yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Ini adalah upaya dari kelompok ubrug ini bertarung melawan perkembangan zaman, melawan media televisi bahkan kini melawan maraknya platform digital. Seni tradisional masyarakat mengajarkan banyak hal, tidak hanya sebuah tontonan yang menghibur untuk ditonton dan menyajikan gelak tawa bagi para penontonnya melainkan sebagai cerminan jati diri bangsa yang guyub[6], silih asih silih asah silih asuh[7]. Disamping istilah kebudayaan ada pula istilah peradaban. Istilah tersebut biasa dipakai untuk menyebut bagian dan unsur kebudayaan yang halus, maju dan indah misalnya : kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan dan sebagainya ( koentjaranigrat : 2009 ).

Inilah sebuah warisan budaya nenek moyang masyarakat Banten yang di ciptakan untuk membangun sebuah tatanan masyarakat yang berbudi luhur, berhubungan baik tidak hanya dengan sesama manusia, melainkan menjalin hubungan baik dengan alam serta sang pencipta. Karena pada dasarnya kesenian tradisonal yang lahir selalu berawal dari ritual, pengucapan mantra sebelum pertunjukan menjelaskan adanya hubungan antara pemain, penanggap, penonton dengan keselamatan yang diperoleh dari roh-roh leluhur atau leluhur tertentu (Sumardjo : 1997).

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta.

Pratama, T.N (2015). Rekonstruksi Ubrug Teater Agata SMAN 2 Pandeglang. (Skripsi Strata 1, Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, 2015).

Intani, R. (2020). Mengenal Kesenian Ubrug Melalui Grup Cantel. Diakses pada 28 Agustus 2021, dari http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/mengenal-kesenian-ubrug-melalui-grup-cantel/

Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat. (2015). Ubrug. Diakses pada 28 Agustus 202, dari http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/ubrug

 

 

 

[1] Rahayu, Parwa, diwawancarai oleh penulis, Agustus 2021. Pandeglang, Banten

[2] Pantun Sunda lebih tepatnya disebut sisindiran yang mirip seperti pantun sastra Indonesia Melayu. Karena sisindiran mirip seperti pantun, sisindiran sering disebut pantun Sunda. Tiga jenis sisindiran yaitu paparikan, rarakitan dan wawangsalan.

[3] Ngibing dalam bahasa subda berart joget atau goyang

[4] Pongdut atau jaipong dangdut, perpaduan antara tari jaippong dengan musik dangdut

[5] Concern artinya perhatian

[6] Menurut KBBI guyub berarti rukun

[7] Kata silih dalam masyarakat Sunda digunakan dalam pemikiran tradisional mereka, yakni:

Silih asah: saling menajamkan pikiran; saling mengingatkan. Silih asih: saling mengasihi. Silih asuh: saling mengasuh; saling membimbing.

(***)

Bagikan Artikel Ini