Beranda » Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme dan Revera Institute Selenggarakan Seminar Mengenai HAM dan Penanggulangan Terorisme

Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme dan Revera Institute Selenggarakan Seminar Mengenai HAM dan Penanggulangan Terorisme

Foto Dokumentasi Penulis

Pasca ditetapkannya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai salah satu kelompok teroris di Indonesia, muncul perdebatan pro dan kontra terutama dari para aktivis HAM yang melihat bahwa terdapat subjektivitas dan unsur politik dari pemerintah dalam penetapan OPM sebagai kelompok teroris.

Perdebatan terkait HAM dan Penanggulangan Terorisme juga muncul dari gerakan separatise etnis Uighur di Xinjiang China yang dianggap para aktivis HAM sebagai bentuk perlawanan terhadap kesenjangan ekonomi, politik, dan HAM yang kerap dilanggar negara. Oleh karenanya, kebijakan Pemerintah Indonesia terkait deportasi 4 orang etnis Uighur yang terungkap memiliki afiliasi dengan ISIS juga mendapat kecaman karena dianggap tidak sensitif dan melanggar HAM meskipun sudah dijelaskan bahwa kebijakan tersebut diambil demi menjaga keamanan negara.

Dengan melihat kompleksitas persoalan HAM dalam penanggulangan terorisme, PRIK-KT SKSG UI dan Revera Institute menyelenggarakan sebuah seminar dengan judul: “Antara HAM dan Penanggulangan Terorisme: Studi Organisasi Papua Merdeka dan Gerakan Uighur” di Hotel J.W Marriott, 27 September 2022.

Dihadiri oleh sekitar 50 orang yang berasal dari berbagai profesi dan instansi seperti akademisi, peneliti, pakar, birokrat, praktisi, dan lembaga swadaya masyarakat, narasumber dari acara ini terdiri berjumlah empat orang narasumber dengan satu pembicara kunci, antara lain:

Pembicara kunci/Keynote Speaker:

  1. Pol. Marthinus Hukom, S.Ik., M.Si (Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri)

Narasumber:

  1. Ronny Franky Sompie, S.H., M.H (Plt. Dirjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM)
  2. Ali A. Wibisono, Ph.D (Dosen Prodi Kajian Terorisme dan Dept. HI Universitas Indonesia)
  3. Andhika Chrisnayudhanto, S.I.P., S.H., M.A (Deputi III Kerjasama Internasional BNPT RI)
  4. Pol. (Purn) Dr. Benny J. Mamoto (Ketua Harian Komisi National Kepolisian Indonesia)

Moderator:

  1. Zora A. Sukabdi, Ph.D
  2. Puspitasari

Dalam sesi pertama dengan narasumber Irjen. Pol. Marthinus Hukom, S.Ik., M.Si (Ketua Densus 88 AT Polri), berbicara mengenai alasan mengapa Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) dikategorikan sebagai “terorisme separatis”. Beliau berpendapat bahwa KKB OPM bukan sekadar organisasi separatis yang memiliki kepercayaan/keyakinan untuk memisahkan diri dari negara. KKB OPM dikategorikan sebagai terorisme karena melakukan kekerasan, intimidasi, dan menyebarkan rasa takut yang menyasar masyarakat yang tidak bersalah sebagai upaya mereka memaksakan kehendak terhadap orang lain.

Dalam merespons permasalahan terorisme separatis pendekatan yang ideal adalah pendekatan hukum yang progresif dan berkelanjutan. Di sini, pendekatan militer perlu di-back up oleh hukum agar setiap tindakan baik itu oleh kelompok KKB maupun aparat keamanan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum sehingga aspek HAM tetap menjadi perhatian. Selanjutnya diperlukan program deradikalisasi yang secara khusus diberikan kepada kelompok KKB agar dapat memutus tensi antara pelaku dan aparat keamanan. Terakhir, langkah-langkah politik di level internasional juga perlu terus digalakkan khususnya dalam upaya komunikasi politik agar Indonesia mendapat dukungan dari internasional untuk penyelesaian masalah di Papua yang lebih komprehensif.

Selanjutnya, Dr. Ronny Franky Sompie, S.H., M.H (Plt. Dirjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM) lebih banyak membahas peran Lembaga imigrasi di bawah kementerian hukum dan HAM yang telah melakukan pengawasan keimigrasian terhadap WNI/WNA yang melintas masuk dan membahayakan kedaulatan negara dengan menjagai pintu gerbang (perbatasan secara keseluruhan) NKRI. Perbatasan yang diawasi oleh imigrasi melingkupi: udara (bandar udara), laut (pelabuhan), dan darat (pos lintas batas negara). Menteri Hukum dan HAM juga telah membuat tim pengawasan orang asing yang tugasnya berkoordinasi di lapangan untuk melakukan pengawasan dari mulai level wilayah terkecil (desa). Tugas dari tim ini adalah melakukan pertukaran informasi satu sama lain dan melakukan penyelesaian terkait masalah orang asing melalui berbagai mekanisme.

Dalam konteks penanggulangan terorisme, imigrasi melakukan kerja sama dengan BNPT dan Polri terkait pemberian informasi mengenai daftar pencarian orang (DPO) agar dapat dimasukkan ke dalam sistem imigrasi yang secara online sudah terintegrasi di seluruh Indonesia sehingga jika ada orang asing yang masuk ke dalam DPI, akan ada sistem peringatan yang akan menolak/menangkap DPO tersebut dengan sebelumnya berkoordinasi dengan BNPT/Polri.

Terakhir, Ali A. Wibisono, Ph.D lebih banyak menjelaskan bagaimana tujuan dari penanggulanan terorisme adalah untuk memulihkan perdamaian dan keamanan bukan hanya negara, tetapi juga warga negara karena kajian terorisme masa kini telah membahas pada prioritas keamanan insani. Penerapan HAM dalam kontra-terorisme adalah sesuatu yang dikembangkan secara terus menerus.

Membandingkan dengan kebijakan China dalam menyelesaikan permasalahan etnis Uighur, beliau menunjukkan ada perbedaan signifikan antara Indonesia dan China dalam menyelesaikan masalah terorisme separatis, hal tersebut adalah: determinasi kedua negara. China melakukan berbagai pendekatan untuk merangkul etnis Uighur dan menekankan bahwa Uighur adalah bagian dari China dan hal tersebut bukan hal yang dapat dinegosiasikan. Sementar di Indonesia sendiri belum nampak upaya untuk menginklusikan Papua sebesar bagaimana China melakukannya pada Etnis Uighur khususnya dalam tataran internasional karena suara-suara yang mendominasi di dunia justru kampanye kemerdekaan papua yang dilakukan oleh negara-negara melanesia.

Dalam sesi kedua dengan narasumber Andhika Chrisnayudhanto, S.I.P., S.H., M.A (Deputi III Kerjasama Internasional BNPT RI) membahas mengenai perspektif penanggulangan terorisme dan HAM dalam konteks Internasional melalui kerangka Global Counter-terrorism Strategy. Dalam strategi ini bukan hanya HAM tapi juga nilai kemanusiaan (humaniter) menjadi penting dalam upaya kontra-terorisme karena pelanggaran HAM justru menjadi salah satu pendorong kemunculan kelompok ekstremis kekerasan.

Dalam konteks Papua, harus dipahami bahwa semenjak dilabel sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), tingkat kekerasan yang dilakukan Organisasi Papua Merdeka (OPM) semakin meningkat dengan korban sebanyak 70% berasal dari warga sipil. Melihat hal ini KKB OPM dapat dikategorikan sebagai kelompok teroris sesuai dengan definisi terorisme dalam UU No. 5 Tahun 2018. Definisi yang terdapat dalam UU No.5 Tahun 2018 ini dianggap representatif, lengkap, dan sesuai dengan DK PBB. Definisi yang jelas dalam UU adalah langkah pertama untuk mengurangi kemungkinan pelanggaran HAM. Dalam upaya penanggulangan terorisme separatis OPM harus dilihat juga bagaimana negara melakukan pendekatan yang sesuai dengan HAM seperti meningkatkan indeks pembangunan manusia di Papua dari tahun ke tahun, dan berbagai pendekatan serta kebijakan lain yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan masalah di Papua seperti peningkatan dana, pemberian hak politik secara penuh, beasiswa pendidikan, dll.

Terakhir, Irjen. Pol. (Purn) Dr. Benny J. Mamoto (Ketua Harian Komisi National Kepolisian Indonesia) memberikan gambaran bagaimana Kompolnas beserta tupoksi yang dimilikinya berhubungan dengan terorisme khususnya dalam upaya mengawasi kenerja kepolisian dan menampung saran dan keluhan masyarakat mengenai penanganan terorisme. Dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap kinerja kepolisian, Kompolnas memastikan kepolisian memerhatikan berbagai peraturan Kapolri yang berkaitan dengan HAM seperti Perkap No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi prinsip dan standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Polri dan Perkap No. 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.

Perlu dipahami bahwa pelaku kejahatan terorisme berbeda dengan pelaku kejahatan lain. Diperlukan tindakan dan pertimbangan-pertimbangan khusus baik dalam penangkapan, hingga pemeriksaan. Sayangnya masyarakat umum masih belum banyak memahami hal tersebut. Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi terkait UU No.5 Tahun 2018. Dalam praktiknya sejauh mungkin kepolisian menghindari penanganan terorisme dengan cara yang represif. Oleh karenanya pendekatan yang lunak (soft approach) seperti deradikalisasi menjadi unsur penting dalam strategi kontra-terorisme khususnya untuk dapat mendapatkan kepercayaan dan membuat pelaku dapat memikirkan kembali keterlibatan mereka dalam kelompok teror.

Seminar ini menjadi kesempatan penting untuk berdiskusi mengenai masalah terorisme dan kontra radikalisasi di mana ahli dan praktisi yang berkontribusi langsung dalam isu ini berbagi pengalaman, pandangan dan filosofi untuk memberikan pemahaman benar kepada peserta konferensi.

Selain untuk menjaring informasi dan pengetahuan berbagai pihak berkenaan dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi dalam penanggulangan terorisme Uighur dan OPM, seminar ini juga diharapkan dapat memfasilitasi untuk terselenggaranya suatu forum pertukaran informasi dan pengetahuan tentang penanggulangan terorisme Uighur dan OPM dan menjadi rujukan dalam menyusun dan merumuskan strategi penanggulangan terorisme Uighur dan OPM dengan tetap menjunjung HAM.

(***)

Bagikan Artikel Ini