Beranda » Komunitas Pelestari Budaya Pencak Silat untuk Masyarakat Buta Budaya

Komunitas Pelestari Budaya Pencak Silat untuk Masyarakat Buta Budaya

Masalah yang timbul di masyarakat salah satunya berkaitan dengan maraknya budaya asing yang masuk ke Indonesia, terbilang sangat memengaruhi masa depan bangsa. Ketidaktahuan akan budaya bangsa sendiri, kerap kali menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Mengapa demikian? Karena saat ini ancaman masalah buta budaya telah menyerang masyarakat Indonesia, karena terlalu fokus kepada budaya asing yang masuk silih berganti ke dalam negeri.

Fenomena mencekam ini sangat berpengaruh kepada eksistensi salah satu budaya di Indonesia, salah satunya seni bela diri Pencak Silat. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa pencak silat merupakan warisan budaya Indonesia yang lahir sejak tahun 1948. Kini pencak silat di Indonesia memiliki sebuah organisasi resmi bernama IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) yang sudah tersebar di beberapa titik di daerah Indonesia.

Kedudukan pencak silat di tengah persaingan bela diri dari negara lain yang masuk ke negeri masih pasang surut atau dalam tingkatan seadanya. Jika dibandingkan dengan jenis olahraga lain, pencak silat tentu belum bisa dibandingkan dengan olahraga-olahraga ternama sejenis bulu tangkis atau basket. Sedangkan, jika disandingkan dalam lingkup kesenian, banyak yang menganggap bahwa seni di dalam pencak silat masih kurang menarik minat, tidak seperti seni tari atau seni lainnya.

Melirik upaya pelestarian kebudayaan yang kerap terlaksan di berbagai daerah, hal ini tampaknya juga terjadi di Universitas Djuanda Ciawi-Bogor yang lahir sejak tahun 2017. Bentuk pelestarian kebudayaan terhadap pencak silat itu ditandai dengan lahirnya komunitas pelesatari budaya pencak silat dengan nama besar KBPC—Keluarga Besar Pajajaran Cimande. Komunitas KBPC sendiri telah berdiri pada tanggal 23 Februari 1962, dan kini kota Bogor menjadi pusat dari KPBC di bawah naungan organisasi resmi IPSI. Bapak Tubagus Jamhari merupakan sosok berjasa yang berada di balik pendirian komunitas ini.

Pencak silat bukan lagi budaya yang baru lahir, salah satu dari sekian banyak ragam budaya Indonesia ini telah berkembang cukup lama, sehingga perlu lebih banyak pelestari budaya yang aktif untuk melestarikan budaya lokal. Para anggota KBPC dalam setiap latihannya, selalu menanamkan prinsip untuk melestarikan budaya pencak silat.

Ketika budaya dilestarikan dengan baik, maka negara ini akan tetap bersatu. Jika budaya tidak bisa dilestarikan, maka kondisi negara akan dipertanyakan.’ Prinsip tersebut dianggap sebagai kunci dalam mempertahankan minat dan kecintaan terhadap budaya dalam negeri, terutama budaya pencak silat. Pengenalan budaya kepada masyarakat perlu menjadi makanan sehari-hari.

Keberadaan Keluarga Besar Pajajaran Cimande di tengah masyarakat semata-mata bukan hanya sebagai komunitas biasa, yang berdiri tanpa kiprah apapun di dalamnya. KBPC selalu berusaha memperkenalkan kepada masyarakat tentang pencak silat lewat kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Para pengurus komunitas selalu menekankan bahwa, saat mempelajari gerakan-gerakan di dalam pencak silat, kita perlu menanamkan nilai budaya di dalamnya pada kehidupan sehari-hari.

Kegiatan nyata di dalam komunitas berupa latihan pencak silat dengan gerakan-gerakan untuk pertahanan diri. Kegiatan inti yang rutin dilakukan adalah pengenalan budaya pada anak jalanan, sehingga mereka dapat diberi masukan berupa ilmu yang bermanfaat dalam membentuk mental yang cinta akan kedamaian.

Anak jalanan yang tidak dapat bersekolah, secara tidak langsung menambah jumlah masyarakat buta budaya. Hal ini menjadi salah satu aspek lain yang perlu diperhatikan. Walaupun mereka tidak mendapatkan pelajaran-pelajaran di sekolah, tetapi mereka bisa mengenal budaya lewat para pelestari budaya.

Anak jalanan yang identik dengan keributan atau hal-hal buruk lainnya, menjadi titik fokus pihak komunitas untuk membenahinya lewat nilai-nilai yang terkandung di dalam pencak silat. Gerakan di dalam pencak silat hanya digunakan dalam hal kebaikan, serta dapat melatih mental dalam meredam emosi.

Kegiatan lain yang tidak kalah penting dan bermanfaat adalah bakti sosial. Kegiatan ini dianggap sebagai pelatihan diri sendiri dalam mempertahankan budaya gotong royong dan saling membantu. Hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan, akan terus terbawa kepada kehidupan sehari-hari. Sehingga budaya-budaya inti di Indonesia pun akan tetap terjaga.

Gerakan-gerakan di dalam pencak silat memiliki tujuan untuk pertahanan diri, dan sangat bermanfaat saat ada kejahatan dimana pun. Selain itu, pihak komunitas juga sering menggunakan metode pertunjukkan dalam mengenalkan budayanya. Para anggota komunitas sering kali menunjukkan gerakan-gerakan dasar yang digunakan untuk melindungi diri saat ada kejahatan. “Kita kenalkan gerakan-gerakan penting, agar mereka tahu bahwa pencak silat dibutuhkan untuk perlindungan diri. Kita mengenalkan pencak silat bukan untuk bertarung, melainkan untuk berlindung. Bukan pula untuk memukul, melainkan untuk merangkul.

Selain mengenalkan perihal budaya kepada para anggotanya, orang-orang luar biasa di balik komunitas tersebut juga mengajarkan nilai-nilai agama di dalam pencak silat. Hal ini dikatakan langsung oleh pengurus komunitas KBPC yang menjabat di divisi MSDM—Ibnu Fadillah. “Selain berisikan budaya-budaya di dalamnya, pencak silat sebenarnya dijadikan ajang dakwah agar mengingat ke Shalat. Dengan tujuan agar agama dan budaya tidak terpisahkan.”

Pencak silat bukan hanya sekadar warisan budaya dalam urusan bela diri semata, melainkan di dalamnya mengajarkan tentang etika, keindahan, dan olahraga. Contoh nyata bahwa di dalam gerakan pencak silat menunjukkan keindahan ialah, pada salah satu gerakan yang dinamakan tepak satu dan pararaden yang mirip dengan tarian.

Usaha-usaha besar selalu dilakukan pihak komunitas untuk mencapai tujuannya; menyebarluaskan tentang budaya pencak silat di masyarakat. Kendala demi kendala menjadi tantangan utama bagi para pengurus komunitas tersebut untuk tetap konsisten berjuang mencari pelestari budaya. Pihak komunitas melaporkan bahwa masalah gengsi adalah masalah yang sering mereka jumpai.

Selain itu, stereotip sebagian masyarakat bahwa pencak silat adalah seni bela diri yang kuno, adalah kendala psikologis lain yang sering muncul saat melakukan kegiatan perkenalan pencak silat tersebut. Kemauan dan minat adalah hal yang sulit dikembangkan di dalam hal ini. Ditambah masuknya beragam jenis bela diri lain yang lebih menarik minat mereka.

Pada zaman yang semakin maju, hubungan dengan negara luar semakin berkembang lewat berbagai cara. Akulturasi pun menjadi hal yang lumrah terjadi di Indonesia, terutama pada urusan seni bela diri. Seperti halnya bela diri taekwondo yang berasal dari Korea, dan bela diri karate yang berasal dari Jepang. Walaupun jika dibandingkan, titik fokus gerakan di antara ketiga bela diri tersebut berbeda, dan setiap olahraga bela diri memiliki nilai estetika tersendiri di dalam setiap gerakan. Namun, banyaknya peminat taekwondo dan karate juga dapat memengaruhi merosotnya peminat pencak silat, sehingga tanpa disadari hal ini memengaruhi pengetahuan pemuda-pemudi pada budayanya sendiri.

KBPC menyadari permasalahan buta budaya yang terjadi di Indonesia bukan lagi masalah remeh. Dengan demikian, pihak komunitas melakukan berbagai cara agar seni pencak silat tidak terkubur oleh seni bela diri lainnya. Ibnu Fadillah juga beranggapan bahwa, para remaja di Indonesia sering kali tidak dikenalkan dengan budaya asli negara. “Walaupun banyak budaya asing yang masuk sebenarnya harus dijadikan inovasi dan contoh perkembangan yang baik, tetapi budaya asli tetap tidak boleh dilupakan,” katanya saat diwawancarai pada 28 November 2021.

Masalah gengsi hingga anggapan-anggapan bahwa seni pencak silat adalah kuno adalah racun utama yang harus diobati. Para pengurus komunitas menanggapi hal ini sebagai masalah internal. Sebab, jika tidak ditangani dengan baik, maka masalah buta budaya di tengah masyarakat akan semakin besar. Oleh karena itu, aksi-aksi pencegahan terjadinya cacat moral di tengah masyarakat dilakukan dengan seksama dan bersama-sama. Pengenalan budaya dianggap sebagai tindakan utama untuk membuka pikiran masyarakat.

Menanggapi kendala-kendala dalam usaha melestarikan budaya pencak silat, pihak komunitas mempunyai cara tersendiri.

  1. Membuka Ruang Berbicara

Membicarakan titik permasalahan dengan pikiran yang terbuka. Hal ini dilakukan karena, ketika seseorang menutup pikirannya tentang budaya maka akan sulit menerima segala informasi tentang budaya apapun. Oleh karena itu, dengan ruang berbicara yang disediakan, informasi-informasi yang akurat akan diberikan secara mendalam. Pertemuan secara langsung, tatap muka, dengan mengenal satu sama lain, menjalin pendekatan yang intens, agar nanti bisa terbentuk hubungan kekeluargaan yang baik. Pendekatan secara emosional juga dilakukan sebagai pelengkap dalam memengaruhi psikologis masyarakat tentang budaya.

  1. Mengenalkan Ilmu Pencak Silat

Mengenalkan ilmu bela diri pencak silat lewat bahasa yang halus dan mudah dimengerti, dengan tidak memasukkan unsur paksaan apapun. Hal ini dilakukan agar mereka paham bahwa nilai-nilai yang khas dengan kearifan lokal Indonesia ada di dalam pencak silat. Seperti nilai spiritual, agar cinta kepada Tuhan yang Maha Esa. Nilai-nilai seni budaya, nilai sportifitas, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya yang identik dengan budaya lokal.

Beberapa kendala yang ditemukan dan upaya-upaya penanganan terus dilakukan, terutama pada masalah buta budaya telah memberikan dampak yang besar. Data spesifik yang dibuat setiap bulannya oleh pengurus komunitas Divisi Humas, 70% dari upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak komunitas memperoleh keberhasilan yang memuaskan. Terlebih dengan upaya pendekatan emosional pada remaja yang tidak bersekolah—anak jalanan—membawa dampak yang besar.

Selain ilmu tentang budaya, gerakan-gerakan penting untuk melindungi diri dari kejahatan di jalanan pun berhasil dikantongi oleh mereka. Hal ini dibuktikan oleh data keanggotaan terbaru yang berhasil diungkapkan oleh Ibnu Fadillah, bahwa saat ini KBPC lingkup Universitas Djuanda memiliki 5% anggota inti dari jumlah mahasiswa yang ada dan sekitar 10 asuhan anak jalanan.

KBPC merupakan komunitas sederhana dengan tujuan melestarikan budaya yang besar. Selain untuk bela diri, tidak bosan pihak komunitas menyelipkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan budaya di dalamnya. Ketika seseorang sudah jatuh cinta kepada budaya bangsanya, maka hubungan dengan bangsa sendiri akan semakin dekat. Semakin mengenal maka akan semakin erat hubungannya, begitupun dengan budaya dan bangsa. Tetap mencintai budaya sendiri dan tetap menghargai budaya luar.

Bagikan Artikel Ini