Beranda » Refleksi Sosial Politik yang Disuguhkan Teater Koma dalam Lakon Sekadar Imajinasi

Refleksi Sosial Politik yang Disuguhkan Teater Koma dalam Lakon Sekadar Imajinasi

Sekadar Imajinasi merupakan sebuah lakon/drama yang diproduksi oleh Teater Koma. Lakon ini memiliki durasi pementasan yang terhitung singkat, namun kaya akan sarat yang terkandung di dalamnya.

Sekadar Imajinasi dipentaskan di sanggar Teater Koma pada masa pandemi dan disajikan di berbagai media sosial milik Teater Koma dengan hastag #DigitalisasiKoma sebagai salah satu upaya untuk tetap berkarya di masa pandemi.

Lakon Sekadar Imajinasi ditulis dan disutradarai oleh Rangga Riantiarno. Dalam pementasannya, dekorasi panggung yang digunakan yakni panggung prosenium berlatar hitam dengan set property satu meja dan dua kursi. Adapun hand property yang digunakan, yakin gavel (palu yang digunakan oleh hakim). Tata letak lampu diletakkan di langit-langit, bertujuan untuk menerangi panggung, properti, dan pemain.

Pementasan dibuka dengan sebuah pengadilan terhadap seseorang yang dituduh telah mengakibatkan kemalangan terhadap banyak orang.

Tata busana yang digunakan dalam pementasan lakon ini pun sangat menarik, dilihat dari tokoh utama yang menggunakan kostum narapidana dengan gaya western, yakin bergaris hitam dan putih. Kemudian, hakim dengan kostum toga nya dipadukan dengan model rambut ala abad pertengahan. Lalu, Mulyono dan Samil dengan kostum badutnya.

Lakon ini mengandung refleksi politik yang terjadi di masa pandemi, dimana dia mengambil dana bantuan sosial yang seharusnya dibagikan kepada masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan dengan jelas pada dialog antara istri dan teman, sebagai berikut:

“Istri: Di pengadilan, dia mengaku mengambil dana bantuan sosial sebanyak 1 triliun.”

Adapun dialog yang menggambarkan bahwa kondisi psikologis tokoh utama terganggu karena merasa bersalah dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Berikut dialognya:

“Teman: Lantas, mau diapakan suamimu?”

“Istri: Aku sendiri sudah bingung. Entah sudah berapa dokter dan psikiater kami datangi untuk konsultasi. Hasilnya, kamu lihat sendiri kan? Tidak tahu bagaimana cara menyembuhkannya.”

Pementasan ini diakhiri dengan bisikan-bisikan yang bergumam. Secara keseluruhan lakon yang dipentaskan oleh Teater Koma ini sungguh sangat menarik, dan mengandung refleksi sosial dan politik masyarakat di masa pandemi.

Bagikan Artikel Ini