Beranda » Tutut Ingin Kaya: Terjebak dalam Gaya Hidup Konsumtif

Tutut Ingin Kaya: Terjebak dalam Gaya Hidup Konsumtif

Sumber foto: Medium.com

“Apakah masih ada
Tempat bagi jiwa-jiwa yang tersesat
Sementara dunia semakin jahat
Jiwa semakin jauh tersesat
Hanya cinta yang bisa bersihkan
Hidup yang tersesat dan jahat”

Potongan lirik lagu dalam drama musikal Tutut Ingin Kaya

Dengan menggandeng Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permusiuman, Institut Teater Cinangka sukses mementaskan drama dengan tema cagar budaya yang berjudul Tutut Ingin Kaya, pada hari Selasa, 26 November 2019, di Graha Bakti Budaya.

Meski sudah terlewat dua tahun yang lalu, agaknya pementasan yang megah itu masih menarik untuk dibahas karena memiliki nilai-nilai yang sangat luas di dalamnya. Tentu nilai-nilai tersebut memiliki relevansi dengan kehidupan kita saat ini. Relevansi yang dimaksud adalah keterkaitan antara nilai dan makna yang terkandung dalam pementasan dengan kehidupan nyata yang digambarkan oleh tokoh Tutut. Bagaimana tokoh Tutut di panggung adalah bagaimana cara masyarakat kita dalam menjalani kehidupan.

Tutut, tokoh utama dalam drama ini merupakan seorang perempuan yang berambisi ingin kaya. Dengan itu, dalam drama tersebut, tokoh Tutut menggambarkan seseorang yang terjebak dalam gaya hidup konsumtif, yang selalu memiliki keinginan untuk terus melakukan pembedaan antara dirinya dengan orang lain dan terus mengonsumsi produk-produk yang dianggap akan memberikan atau menaikkan status sosialnya, tanpa memikirkan produk tersebut dibutuhkan atau tidak.

Tokoh Tutut menjadi salah satu contoh dari perilaku orang-orang yang terjebak dalam gaya hidup konsumtif, dengan simbol-simbol yang diperlihatkan, mulai dari pakaian dan perhiasan yang dipakainya, hingga makanan yang dikonsumsinya. Tentunya perilaku tersebut sangat relevan dengan perilaku yang terjadi pada kehidupan masyarakat sekarang ini. Juga, jika dilihat sedikit lebih luas, simbol-simbol yang ada pada tokoh Tutut sebetulnya adalah sentilan-sentilan untuk kita dan atau masyarakat yang terjebak dalam lingkaran konsumtif.

Pertama, seperti dalam hal berpakaian. Kita selalu ingin menggunakan pakaian bermerek. Padahal, pada dasarnya, fungsi yang utama dari pakaian itu sendiri adalah untuk menutupi dan melindungi tubuh. Kemudian yang kedua, dalam hal mengonsumsi makanan. Kita selalu lebih memilih makanan fast food (yang dianggap lebih bergengsi). Padahal apapun bentuk makanan yang kita makan, akan menjadi bentuk tahi yang sama.

Jika hal di atas ditarik dengan aspek yang dinyatakan oleh Jean Baudrillard (dalam Murti, 2005: 38) bahwa semua objek memiliki symbolic value dan sign value. Maksudnya adalah, tindakan konsumsi suatu barang dan jasa tidak lagi berdasarkan pada kegunaannya melainkan lebih mengutamakan pada tanda dan simbol yang melekat pada barang dan jasa itu sendiri. Pada akhirnya masyarakat pun hanya mengonsumsi citra yang melekat pada barang tersebut (bukan lagi pada kegunaannya) sehingga masyarakat sebagai konsumen tidak pernah merasa puas dan akan memicu terjadinya konsumsi secara terus menerus, karena kehidupan sehari-hari setiap individu dapat terlihat dari kegiatan konsumsinya, barang dan jasa yang dibeli dan dipakai oleh setiap individu, yang didasarkan pada citraan-citraan yang diberikan dari produk tersebut.

Selain keinginan dan rasa tidak puas yang ada dalam diri kita dan atau masyarakat, sebetulnya ada faktor-faktor yang memicu dari adanya konsumsi yang terus menerus itu, seperti faktor lingkungan dan teknologi. Dua faktor ini yang paling terlihat jelas namun jarang disadari oleh kita (yang menjadi hal pertama yang memicu keinginan-keinginan), dari melihat apa yang sedang tren, baik itu melalui iklan, modeling dari artis yang diidolakan, atau orang-orang sekitar yang memakai barang-barang yang dianggap “wah”.

Di sini, teknologi menjadi faktor yang tentunya sangat berpengaruh. Apalagi sekarang ini segala gerak-gerik yang kita lakukan dalam menggunakan handphone dapat langsung terekam oleh sistem informatika yang ada. Contohnya, misal, ketika kita membayangkan ingin membeli sepatu, lalu kemudian kita mencari model sepatu di mesin pencarian google, secara tidak langsung apa yang kita cari di mesin pencarian google tersebut telah terekam oleh sistem google dan kemudian menjadi algoritma. Dan setelah itu, ketika semuanya telah terekam, misal ketika tiba-tiba kita membuka instagram, pasti akan muncul sebuah iklan dari akun toko yang menjual sepatu (dengan model yang kita cari di mesin pencarian google) pada halaman instagram kita yang berasal dari algoritma tersebut.

Di sini, agaknya Tutut, kita, dan semua masyarakat tidak bisa mengelak akan hal itu. Konsumerisme akan selalu mengiringi kehidupan dan kita akan selalu bergantung pada produk-produk yang ada, meski kita tidak membutuhkan produk tersebut. Jika kita balik lagi pada pernyataan Jean Baudrillard, bahwa dunia ini telah kehilangan keasliannya dan yang ada hanyalah simulasi. Sehingga simulasi tersebut membuat manusia selalu merasa berada dalam dunia supernatural, ilusi, fantasi, dan khayalan yang menjadi tampak nyata.

Dari pernyataan Jean Baudrillard di atas, tepat rasanya kita menyadari jebakan konsumerisme yang selalu mengiringi kita, sehingga kita dapat menggugah kesadaran bahwa betapa pentingnya mengenal keaslian identitas.

Bagikan Artikel Ini