Beranda » Eksistensi Karya Sastra di Tengah Perbedaan “Selera” Masyarakat

Eksistensi Karya Sastra di Tengah Perbedaan “Selera” Masyarakat

Karya sastra merupakan hasil dari kreativitas para seniman yang menuangkan ide, pikiran, dan gambaran-gambaran mengenai kehidupan lewat sebuah tulisan maupun lisan. Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah lahir Sastra di dunia dengan beragam cabang ilmunya, karya sastra juga menjadi salah satu hal menarik yang perlu dibahas di dalam ruang lingkup sastra itu sendiri. Seiring berkembangnya zaman, semakin banyak lahir para penulis yang berkecimpung di dalam dunia sastra untuk menghasilkan karya-karya yang menarik. Bisa dikatakan sebagai hiburan di tengah aktivitas yang padat, para remaja di usia 15-17 tahun cenderung memilih karya sastra novel atau cerpen sebagai bahan bacaan yang menarik.

Awal mula kelahiran karya sastra hanya dapat dinikmati dengan media cetak, koran, majalah, dan lain-lain. Para seniman yang kala itu membuat sebuah karya pun tidak banyak, hanya beberapa yang mampu menghasilkan karya-karya menarik. Namun, seiring berkembangnya teknologi, karya sastra kini bisa dinikmati lewat gadget atau ponsel yang sering dinamakan sebagai sastra siber. Dimana semua masyarakat bebas menikmati hasil karya sastra berupa novel, cerpen atau puisi, lewat Internet. Tercatat bahwa salah satu Aplikasi populer yang menawarkan kebebasan bagi siapapun untuk membaca karya sastra, telah didownload oleh 100 juta orang lebih.

Kemudahan yang didapatkan oleh masyarakat karena perkembangan teknologi yang canggih, tidak serta-merta menaikkan minat baca masyarakat. Hal ini dikarenakan selera masyarakat yang berbeda-beda, serta eksistensi karya sastra dirasa belum cukup untuk memuaskan keinginan membaca di tengah masyarakat. Di luar dari usia remaja yang tercatat gemar membaca karya sastra pun tidak dapat memberi kesimpulan bahwa karya berbentuk novel, cerpen dan puisi tersebut benar-benar diminati masyarakat. Hasil survey yang dilakukan oleh LSI pada tahun 2017 menyatakan bahwa hanya ada 6 persen pembaca sastra, dan di antaranya hanya ada 3 persen yang benar-benar ingat tentang karya sastra yang dibaca beserta penulisnya. Bukankah data ini cukup konkret untuk menyimpulkan bahwa peminat karya sastra masih sangat minim, bahkan di tengah kemajuan teknologi yang memadai.

Minimnya minat baca terhadap karya sastra juga dikuatkan oleh salah satu pendapat penulis muda dengan nama pena, Pie. Pada kesempatan wawancara yang dilaksanakan pada tanggal 10 Juli 2021, penulis novel berjudul “A Little More Diary” ini mengungkapkan bahwa, “Pengaruh karya sastra pada selera baca masyarakat masih sangat minim, selain karena kebanyakan masyarakat tidak tertarik dengan literasi saat ini, mereka juga menganggap buku sejenis novel – dimana notabenenya novel adalah salah satu karya sastra yang paling populer – sebagai satu karya sastra yang tidak begitu bernilai, sedangkan buku populer-pembelajaran terasa sangat kaku. Yang memiliki lebih banyak komentar positif hanya buku motivasi atau pengembangan diri, dan itu pun berlaku hanya untuk sebagian.” Pendapatnya diungkapka berdasarkan fakta yang terlihat dari organisasi literasi di NTB, yaitu FLP yang mana anggotanya masih di bawah 50 orang.

Melihat fenomena yang ada justru semakin mengiris, faktanya perjalanan sastra dengan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Di dalam karya sastra, sering kali menjabarkan perihal kehidupan masyarakat beserta seluk-beluk dan kebiasaannya. Selain hubungan dalam pokok pikiran dalam karya sastra itu sendiri, setiap karya juga tidak bisa terlepas dari peran masyarakat sebagai penikmatnya. Faktanya, tidak semua karya sastra dapat memuaskan “selera” masyarakat. Beberapa seniman memilih untuk mengikuti selera masyarakat atau tren pasar dalam pembuatan karya sastra mereka, tetapi tidak sedikit pula para seniman melangkah menjauhi selera masyarakat dan fokus pada ide serta gagasan milik mereka dalam pembuatan karya. Seperti halnya yang dilakukan oleh Pie, bahwasanya ia tetap memusatkan pada ide pokok dan keinginan yang dimiliki, mungkin bisa jauh dari tren pasar atau mendekati jika memang seleranya sama.

“ Selera adalah masalah personal yang tidak bisa dikendalikan oleh orang lain, termasuk itu penulis. Penulis romansa tidak bisa mengubah selera seorang penyuka cerita horror, kecuali ada keajaiban tertentu atau si penulis mengikuti selera pembaca tersebut dengan menyelipkan kisah horror dalam cerita roman yang dia buat.” Katanya dalam sesi wawancara secara daring itu. Dengan demikian beberapa penulis juga tidak akan ambil pusing mengenai perbedaan “selera” di tengah masyarakat modern ini.

Kemerosotan atau faktor tidak berkembangnya karya sastra di Indonesia mungkin saja berkenaan dengan selera masyarakat yang perlu diubah dan disadarkan mengenai sastra itu sendiri. Ekspektasi pembaca sering kali menjadi alasan masalah “selera” di tengah masyarakat. Ada begitu banyak genre karya sastra yang dapat memuaskan masyarakat, sepertinya bukan hal yang buruk untuk menjajal satu persatu setiap genre karya sastra. Karena di setiap karya sastra selalu terselip nilai-nilai kehidupan, sosial, budaya, yang diberikan para seniman. Alangkah baiknya masyarakat fokus untuk mengambil setiap nilai positif dalam setiap karya sastra, daripada dilema hanya karena “selera” yang tidak sejalan.

Bagikan Artikel Ini