Beranda » Colourful In The Dark

Colourful In The Dark

“Lagi-lagi kemampuanmu masih dibawah rata-rata hufttt..” Mama menghembuskan nafas kecewa, sambil melempar buku Sketsa mingguan yang baru dibagikan oleh miss. Rara, guru kelas lukis selepas sekolah. Sementara itu, aku hanya menundukkan kepala dalam-dalam malu untuk menatap seniman kebanggaan negara itu.

“Sebaiknya kamu berlatih lebih giat lagi, Mama enggak tahu apa yang akan dikatakan ayahmu jika melihat ini sepulangnya dari Singapura. Baiklah Mama harus pergi untuk rapat pameran galeri bulan depan” kata Mama datar. Mengambil kunci mobilnya nya di atas meja dan menghilang dalam pintu artistik itu, meninggalkanku yang mematung kaku dengan bulir-bulir air mata yang berjatuhan.

****

Tess.. tess.. tess..

Aku berusaha menghapus air mata yang terus mengalir membasahi pipiku semilir angin membuat dedaunan tertiup dan jatuh. Seperti biasa, jika sedang sedih aku akan ke sini, ke bukit kecil yang ada di dekat rumahku dengan rindangnya pohon apel yang selalu menjadi tempatku melamun dan menenangkan diri.

Namaku Cahaya, gadis yang terlahir dari keluarga seniman. Ayah dan ibuku adalah seorang seniman terkenal di negeri ini. Bahkan lukisan-lukisan mereka dihargai sangat tinggi oleh kolektor kolektor lukisan terkenal. Kakakku, gadis berbakat yang ku pikir dapat melukis tanpa membuka matanya. Dulu, ketika ia masih bersekolah ah di di Art and Music School sekolahku sekarang, Ia selalu membangga-banggakan bakatnya, berbeda denganku yang selalu dicap anak tak berbakat di sekolah. Sekarang, Kak Aurel sedang menjalani kuliahnya di Universitas terkenal yang berada di Paris.

Aku hanyalah cahaya, bukan cahaya yang terang benderang tetapi cahaya yang bahkan aku sendiri tidak dapat membuat diriku bersinar. Cahaya yang lemah tak berbakat dan tak ditakdirkan untuk menjadi pelukis.

****

Srett.. srett.. srett..

Matahari mulai condong ketika aku mendengar pelan suara goresan itu. Suara goresan yang sering kudengar di kelas setiap harinya. Namun goresan ini berbeda, goresan ini bahkan lebih halus daripada goresan Agnes, gadis paling berbakat di kelasku. Goresan ini lebih tenang dan menjiwai. Goresan ini seperti berasal dari jiwanya yang paling dalam.

Aku memutuskan untuk mengikuti arah suara itu, hingga akhirnya aku melihat bayang-bayang Seorang Gadis Berkerudung Putih sedang duduk di atas kursi roda, tangannya memegang sebuah pena, melukis dengan lincah, tapi.. tunggu dulu, ada yang aneh dengan gadis itu. Ia melukis dengan tangan kirinya. dia kidal?

Sementara itu itu aku tak berani untuk menyapa gadis itu, secara tiba-tiba…

“Mendekatlah kawan, Bukankah kau ingin melihat lukisanku ini?” Rupanya Gadis itu menyadari keberadaanku.

“Ehm,, baiklah” aku tergagap mendekat ke arahnya.

Dan kini aku dapat melihatnya dengan jelas. Lukisan seorang gadis yang sedang menari dengan gembira pada sebuah taman yang indah. Lukisan yang indah titik sesuatu yang tak bisa kulakukan.

“Lukisan ini indah.. aku sangat suka dengan lukisanmu ini” pujiku.

Namun pandangannya kosong. Jangan-jangan….

Gadis itu hanya tersenyum kecil.

“sekarang aku akan mulai mewarnainya”

Dengan lincah, jari-jarinya menari diatas kanvas, mencampurkan warna-warna dengan indah. Teknik gradasi nya sungguh hebat dalam beberapa menit saja, Iya telah berhasil menyelesaikan lukisannya.

“Wah lukisanmu sungguh indah. Terlihat begitu nyata. Bagaimana kau bisa melakukan ini semua?

“Kamu harus punya imajinasi yang tinggi untuk melakukan ini tumpahkan semua perasaanmu dalam lukisan ini.” Jelasnya.

“Tapi aku tetap tak bisa, aku tak seperti keluargaku yang sangat berbakat.”

Entah kenapa Gadis itu tiba-tiba menyipitkan matanya, memandangku Walau aku tak yakin dia benar-benar bisa memandangku karena sepertinya gadis itu buta.

“Kamu salah, Tidak mungkin orang yang berjuang terus-terusan akan gagal. Kamu tahu Thomas Alva Edison? Dia mencoba berkali-kali dan percobaannya ditolak berkali-kali pula. Tetapi pada akhirnya dia bisa menciptakan sebuah alat yang sangat berguna bagi seluruh umat di bumi ini.”

“Mungkin itu hanya keberuntungan saja”

“Tidak. Karena hal itu juga terjadi pada diriku. Beberapa tahun yang lalu, kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan. Aku hanya memiliki seorang kakak yang sangat menyayangi aku meskipun dia berkebutuhan khusus. Tapi tak beberapa lama setelah itu, aku terserang sebuah penyakit yang telah berhasil merebut penglihatanku. Namun tekad ku tetap bulat, Aku ingin menjadi seorang pelukis yang terkenal. walaupun aku buta, namun aku selalu berusaha menumpahkan semua perasaanku sehingga aku bisa melukis. Dan kau lihat hasilnya sekarang?”

“Benarkah? Benarkah aku bisa sepertimu?”

“Yakinlah pada kemampuanmu. Keluarkan semua perasaanmu ketika kamu hendak melukis, dan semuanya akan terlihat begitu alami dan nyata.”
Perlahan-lahan aku mulai sadar mengapa hasil lukisan ku selalu tidak memuaskan. Semua itu Karena aku belum ikhlas dalam melukis, aku hanya memikirkan Bagaimana pendapat keluargaku tentang lukisan ku nanti, melukis karena dipaksa. Bukan karena keinginan hati.

“Terima kasih, kau telah membukakan mataku. Aku janji mulai saat ini ini aku akan menumpahkan semua perasaanku ketika melukis. Terima kasih karena sudah menjadi guru bagiku.”

Namun, ketika Aku menoleh sosoknya sudah hilang. Yang terlihat hanya bayang-bayang kursi roda yang menjauh. Sayang sekali, aku belum sempat membalas Budinya

Hujan telah berhenti, menyisakan bias-bias embun pada kaca kaca jendela galeriku, sesuatu membias dengan berbagai warna lalu muncul, bagai sebuah penutupan yang indah bagi sebuah pertunjukan yang hebat. Sekarang, semburat itu telah membias dengan sempurna. Membentuk Pelangi, dengan warna-warna yang indah.

Bagikan Artikel Ini