Beranda » Manusia dan Ketidakberdayaannya dalam Puisi “Sendiri” dan “Doa” karya Chairil Anwar ‘Sebuah tinjauan Ekspresif’

Manusia dan Ketidakberdayaannya dalam Puisi “Sendiri” dan “Doa” karya Chairil Anwar ‘Sebuah tinjauan Ekspresif’

ilustrasi : freepik.com

Menurut Lewis (1976:46) karya sastra dapat didekati dengan pendekatan ekspresif, yakni pendekatan yang berfokus pada diri penulis (pengarang), imajinasinya, pandanganya, atau kespontanitasannya. Di dalam Puisi Sendiri, Chairil menulis secara gamblang tentang apa yang dirasakannya. Dalam  ‘Hidupnya tambah sepi, tambah hampa Malam apa lagi dalam Ia memekik ngeri Dicekik kesunyian kamarnya’, terasa bahwa ia membawakan perasaannya sendiri sebagai  seseorang merasakan kesepian yang mendalam.  Chairil lewat puisinya telah seolah-olah mengajak pembaca merasakan kegelisahan hidupnya sendiri.

Lalu pada Ia membenci. Dirinya dari segala, Yang minta perempuan untuk kawannya. Terasa sekali beban hidupnya membuatnya membenci dirinya sendiri. Ekspresi dalam larik tersebut dengan baik mengajak pembacanya menyelami apa yang ia rasakan. Juga pada ‘Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga,’ terasa bahwa ia merasakan segala dalam kehidupannya terasa jadi sebuah bahaya yang mendekat padanya, dan pada ‘Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama Terkejut ia terduduk. Siapa yang memanggil itu? Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu! ‘di sanalah kemudian Pembaca dapat menemukan apa yang dapat disimpulkan  dalam puisi ini.

Puisi tersebut secara gamblang adalah ekspresi ketidakberdayaan seorang manusia. Di saat manusia mengalami ketakutan, akan timbul sebuah upaya untuk mencari perlindungan pada sosok yang dianggapnya kuat. Dalam puisi ini, ibu merupakan sosok yang kuat bagi seorang Chairil. Saya pernah membaca dalam buku Chairil yang ditulis oleh Hasan Aspahani, bagaimana kerasnya sosok ibunya yaitu saleha yang dapat menghadapi kelakuan ayahnya, Toeloes yang menikah lagi dengan istri barunya. Sebelum kemudian ibunya dan Chairil pindah ke Batavia pada tahun 40-an.

Di lain puisi, dengan nilai dan gagasan yang sama, kita bisa mendapati puisi semacam ini, yaitu puisi Doa. Dalam puisi Doa, dapat juga kita dapati dalam penggalan puisi beriku ‘Tuhanku Aku hilang bentuk  remuk  Tuhanku Aku mengembara di negeri asing, Tuhanku Di pintu Mu aku bisa mengetuk Aku tidak bisa berpaling’

Dalam penggalan puisi doa tersebut, sebagai pembaca kita mudah sekali merasakan kesamaan  dalam apa yang dirasakan Chairil. Pada ekspresi yang sama, dikatakan pada Aku hilang bentuk  remuk. Aku mengembara di negeri asing, kita dapat merasakan kegelisahan yang sama seperti yang ditulis pada puisi ibu. Ia telah sukses melakukan penyampaian pesan apa yang dirasakannya, dan pembaca mengerti bahwa kedua puisi di atas adalah bentuk pencarian sandaran ketika manusia dihadapkan dengan ketidakberdayaanya. Manusia membutuhkan sosok untuk menyandarkan diri bila didera masalah dan beban hidupnya. Pada puisi Sendiri kita sebagai pembaca akan  mendapati sosok ibu sebagai sosok yang kuat, di puisi Doa, kita akan mendapati Tuhan sosok yang sama dibutuhkan oleh manusia untuk menghadapi ketidakberdayaannya.

 

Bagikan Artikel Ini