Beranda » Budaya Sosial Masyarakat Postkolonial Jawa Masa Orde Baru Dalam Novel “Entrok” Karya Okky Madasari

Budaya Sosial Masyarakat Postkolonial Jawa Masa Orde Baru Dalam Novel “Entrok” Karya Okky Madasari

Kultur Sosial Merupakan Sebuahkebiasaan Yang Dilakukan Masyarakat Dalam Berkehidupan Dengan Masyarakat Lainnya Sehingga Akan Menjalin Hubungan Yang Dapat Saling Menguntungkan Antara Satu Dengan Lainnya. Hubungan Masyarakat Yang Terbentuk Akan Menjadi Kebiasaan Karena Dilakukan Secara Turun-Temurun.Kehidupan Sosial Maysarakat Seringkali Membentuk Sebuah Jalinanyang Menjadi Budaya Dalam Masyarakat, Sehingga Kebudayaan Sosial Yang Tidak Sesuai Dengan Pedoman Kemanusiaan Akan Dapat Merugikan Sebagiannmasyarakat, Seperti Kesenjangan Sosial. Kesenjangan Sosial Dalam Masyarakat Menjadi Suatu Masalah Yang Sulit Untuk Dilepaskan Karena Kebiasaan Masyarakat Yang Melakukannya Secara Terus-Menerus. Bentuk Kebudayaanbsosial Yang Telah Dilakukan Masyarakat Biasanya Karena Terpengaru Dengan Lingkungan Tempatnya Berada.

Pada Kasus Masyarakat Indonesia, Kebudayaan Sosial Lebih Banyak Dipengaruhi Oleh Bangsa Barat Ketika Menjajah Indonesia. Setelah Masa Kemerdekaan Atau Masa Postkolonial, Sebagian Masyarakat Tidak Bisa Terlepas Dari Kebudayaan Yang Diajarkan Oleh Pihak Kolonial Kepada Masyarakat Indonesia. 

Tulisan Ini Akan Membahas Mengenai Bentuk Kultur Sosial Masyarakat Jawa Dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari. Tujuan Dari Pembuatan Artikel Ini Yaitu Agar Pembaca Dapat Memahami, Mengidentifikasi, Serta Dapat Menganalisis Bentuk Kultur-Kultur Peninggalan Bangsa Barat Yang Masih Membudaya Di Negara Indonesia Dengan Contoh Masyarakat Jawa Dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari. Novel Entrok Karya Okky Madasari Memiliki Cerminan Kebudayaan Sosial Masyarakat Jawa Setelah Masa Kemerdekaan Indonesia Bertepatan Pada Masa Orde Baru. Identifikasi Kebusayaan Dalam  Novel Akan Dilakukan Dengan  Menemuka Data Dalam Novel, Kemudian  Akan Dilakukan Analisis Menggunakan Pencocokan Dengan Cerminan  Masyarakat Dan Teori Postkolonial. Postkolonial Menurut Edward  Said, Menyatakan Bahwa Kolonialisme  Merupakan Akibat Dari Suatu Praktik  Dan Dominasi Yang Dilakukan Suatu  Kelompok Dalam Masyarakat Yang Disebut Dengan Imperialism. Teks-Teks Yang Memiliki Gambaran Kolonialisme Dapat Digunakan Sebagai Alat Untuk Menyadadarkan Bangsa-Bangsa Barat Bahwa Oriantalisme Banyak Mengandung Cerminan Kebudayaan Penjajah.

Karl Marx Dalam Jurnal Bahasa Dan Sastra Indonesia Yang Ditulis Fitri Dkk, masyarakat kapitalisme liberal lebih banyak didominasi oleh masyarakat pada kalangan menengah. Perbedaan kekuasaan yang didominasi oleh kalangan menengah ini akan memunculkan tradisi kelas sosial dalam masyarakat karena antar manusia akan saling memandang sebagai pesaing dan sasaran bisnis semata. Masyarakat yang memiliki kekuasaan lebih tinggi akan melakukan semacam hegemoni kekuatan yang diterapkan tanpa disadari masyarakat kalangan bawah.

Kultur sosial masyarakat postkolonial Jawa ketika Orde Baru pada masa postkolonial dalam novel Entrok karya Okky Madasari, memiliki kebudayaan yang mencerminkan masyarakat Indonesia setelah masa penjajahan Indonesia. 

Kelas Sosial Posisi Nyai di dalam novel Entrok jelas terlihat berbeda dengan msyarakat  biasa. Nyai yang secara ekonomis memiliki ekonomi yang lebih baik dari kaum pribumi dapat ditunjukan dari gaya hidup yang dimiliki. Cerita dalam novel menunjukan bahwa rumah yang ia miliki termasuk ke dalam jajaran orang dengan ekonomi yang mumpuni karena memiliki bahan rumah dari bata dengan genteng tanah liat. Masyarakat biasa seperti Simbok yang tidak memiliki derajat apa-apa hanya memiliki rumah sebatas dinding gedek dengan atap daun pohon kelapa, seperti dalam kutipan, ”Duit dari gaplek, Nyai Dimah bisa membangun rumah bata dan bergenting tanah liat. Sesuatu yang luar biasa dibandingkan rumah kami yang berdinding gedek dan beratap daun pohon kelapa 

Ketidaksetaraan Gender Perempuan di lingkungan masyarakat Singget dalam novel dilarang untuk bekerja dengan mengangkat barang karena dianggap ra ilok, yaitu perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh perempuan karena pekerjaan berat hanya pantas dilakukan oleh lelaki yang telah ditakdirkan lebih kuat secara fisik dibandingkan perempuan. Namun, pada kenyataannya hal tersebut hanya dijadikan sebagai filosofi ra ilok yang menjadi ketidakadilan gender karena sering dijadikan sebagai senjata untuk menekan perempuan untuk melakukan sesuatu yang ia inginkan, seperti dalam kutipan novel berikut.“…Di pasar ini, buruh perempuan mengerjakan pekerjaan yang halus dan enteng, seperti megngupas singkong, menumbuk padi, atau menumbuk kopi. Tapi coba lihat, begitu buruh perempuan-perempuan itu sampai di rumah. Mereka harus mengerjakan semua pekerjaan yang ada, mengambil air dari sumber dengan menempuh perjalanan naik-turun. Berat satu jun pun yang berisi penuh air sama saja dengan satu goniberisi singkong. Tidak ada laki-laki yang mengambil air, katanya itu urusan perempuan. Ya jelas lebih enak nguli daripada ngambil air. Nguli diupahi duit, sementara mengambil air tidak pernah mendapat apa-apa.

Bagikan Artikel Ini