Beranda » Tradisi Unik dan Konflik dalam Novel Burung Kayu

Tradisi Unik dan Konflik dalam Novel Burung Kayu

Tradisi muturuk adalah tarian adat suku mentawai unik yang membuka jalan cerita pada novel Burung Kayu. Dari tarian ritual arat sabulungan (kepercayaan suku mentawai) itu, penulis langsung mengajak pembaca masuk, dan lekat ke bagian paling intim pada masyarakat pedalaman Pulau Siberut, Mentawai. Yaitu Tradisi pengangkatan Sikerei (seorang dukun) baru.
Tokoh yang diceritakan pun tak sekadar menjadi objek, tapi sekaligus subjek yang bertutur. Setidaknya terlihat dari sikap penulis yang banyak menggunakan bahasa-bahasa lokal Mentawai yang tidak diberi penjelasan, baik lewat catatan kaki atau glosarium.
Penulis cukup berhasil mengajak bertamasya memasuki dunia fiksi yang dibuatnya yaitu uma suku-suku di pedalaman. Muturuk tak sekadar tari-tarian untuk tontonan. Ada kesakralan tradisi dan budaya yang melekat. Kepercayaan yang kompleks, yang setiap unsurnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Novel bergenre fiksi ilmiah dengan pendekatan studi antropologis ini tidak hanya mengulas aspek tradisi. Tuturan yang mengombinasikan naratif imajinatif membuka sepenggal kisah sejarah masa lalu masyarakat Mentawai. Tradisi menjaga kehormatan, silsilah kekerabatan antar suku, perburuan di hutan, hikayat, hingga soal-soal kepercayaan terhadap roh-roh moyang, yang menyatu dengan keharmonisan alam semesta. Juga perseteruan dendam antar suku yang turun temurun.
Dalam cerita cinta tokoh utamanya Saengrekerei, yang bertepuk sebelah tangan, dan berubah menjadi perseteruan Suku Sura-Sabbeu dan Suku Tunggul-Kelapa. Perseteruan kian meruncing karena tak sekadar urusan cinta yang tak bertuan. Lebih jauh, ada kewibawan dan kehormatan yang dipertaruhkan. Puncaknya, saat busur panah orang Suku Tunggul-Kelapa menembus dada Bagaiogok atau Aman Lageumanai, yang tak lain adalah kakak dari Saengrekerei.
Dendam semakin membuncah. Dan, demi mewarisi dendam itu kepada Lageumanai (anak Bagaiogok), Taksilitoni (istri Bagaiogok) pun menikahi Saengrekerei, adik iparnya sendiri.
Cerita dalam novel ini berkembang dengan alur yang melingkar-lingkar. Layaknya kehidupan masyarakat pedalaman yang dipaksa berubah oleh kebijakan negara, berpindah dari uma menuju barasi atau perkampungan buatan pemerintah. Babak baru pembangunan kesejahteraan versi pemerintah, yang kemudian hari membuka jalan atas penguasaan hutan.
Sementara, masyarakat pedalaman terancam dari kepunahan binatang-binatang buruannya, tunas-tunas sagu yang menyempit berganti beras, juga kerusakan ekositem lingkungan. Belum lagi, misionaris agama-agama resmi yang (memaksa) membawa tuhan-tuhan baru, dan mengantikan roh-roh moyang.
Sekali lagi, Burung Kayu mengingatkan ada kesakralan penghidupan yang hilang akibat pembangunan yang tak menempatkan manusia sebagai manusia. Ada ancaman kepunuhan warisan budaya dan tradisi masyarakat adat kita yang berganti budaya baru. Terlebih, nyanyian-nyanyian yang kerap dilantunkan dalam Arat Sabulungan tak lagi berkumandang.
Muturuk dalam akhir Burung Kayu melukiskan dengan terang.
“Sekerei-sikerei belia itu menari dan menari. Kaki-kakinya mengentak-entak lantai panggung diiringi pukulan-pukulan gejeumak dan sebuah lagu pop yang mengalun dari recorder dengan kabel berjuntai. Tato-tato tiruan dari tinta spidol hitam yang diguratkan para guru di sekolah, tak mengilap diterpa matahari”.
Dari muturuk dalam Burung Kayu, kita belajar soal-soal penghayatan atas keyakinan dan penghidupan. Sebagaimana kata Saengrekerei dalam nasehatnya kepada Lageumanai,“. Kita mesti menerima apa-apa yang yang menguntungkan bagi hidup dan kehidupan. Jiwa-jiwa kita mesti dibahagiakan.”
Bagikan Artikel Ini