Beranda » Masa Depan dan Kesinambungan Failed State Afghanistan

Masa Depan dan Kesinambungan Failed State Afghanistan

Intervensi berbagai negara di Afghanistan meninggalkan penderitaan hingga 50% warganya hidup di bawah garis kemiskinan, hal ini disampaikan Peneliti INDEF M.  Zulfikar Rahmat, Ph.D dalam diskusi publik secara virtual “Masa Depan dan Kesinambungan Failed State Afghanistan” Jumat (3/9/2021).

Diskusi yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)  bekerjasama dengan Universitas Paramadina dan Universitas Islam Indonesia (UII) ini juga menghadirkan pembicara Dr. Phil. Shiskha Prabawaningtyas, direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy dan dimoderatori oleh Eisha Maghfiruha Rachbini – Peneliti INDEF.

Zulfikar mengungkap sejarah Afghanistan merupakan negara yang kerap dilanda perang akibat diintervensi oleh berbagai negara seperti Inggris (1839-1919), Uni Soviet (1979-1989), dan Amerika Serikat (AS) pada 2001-2021

Sebanyak 5,5 juta penduduk Afghanistan berada mengalami food insecurity, defisit neraca perdagangan yang mencapai sekitar 30% GDP, dan ketergantungan 80% pada dana bantuan luar negeri. “Wajar kemudian Afghanistan dijuluki sebagai negara gagal.” Katanya.

Rangking Gross domestic product (GDP) nya berada di papan bawah pada urutan 213 dari 228 negara, dan rangking hutang publik di posisi 202 dari 228 negara. “Sementara kredit sektor swasta hanya mencapai 3% dari GDP, namun belanja keamanan mencapai 28 % dari GDP pada 2019.” Ujar Zulfikar.

“Taliban dapat dengan cepat menguasai Afghanistan disebabkan oleh strategi perang Taliban, legitimasi masyarakat yang tinggi, serta korupsi yang parah pada pemerintahan dan mundurnya pasukan AS.” Katanya.

China yang melihat dengan jeli peluang memanfaatkan mundurnya AS, segera “merapat” ke pihak Taliban. Hal itu karena ambisi China yang ingin mewujudkan jalur One Belt One Road (OBOR)-nya melintasi Afghanistan via Asia Tengah, Eropa Timur dan Eropa Barat.

Dosen UII ini juga menyatakan bahwa Afghanistan mempunyai potensi cadangan logam (rare earth) bahan pembuat microchip dan teknologi mutahir lainnya, yang diperkirakan bernilai 1 triliun dolar AS. “Hal lainnya, China juga ingin mengurangi potensi penyebaran jaringan teroris terkait muslim Uighur di Xinjiang.” Katanya.

Menyinggung hubungan ekonomi Zulifkar menyatakan Indonesia mendapat peluang ekonomi terbatas ke Afghanistan”Peringkat ke 127 negara tujuan ekspor Indonesia dengan total nilai ekspor sebesar 21,38 juta dolar AS pada 2020.” Meskipun kontribusi ekspor RI ke Afghanistan hanya 163,19 miliar dolar AS, namun tren pertumbuhan eskpor cukup positif mencapai 2,91% pada 2016 sd 2020.

Masih menurut Zulfikar bahwa di masa pandemi ini ekspor RI mampu tumbuh positif 36,87% secara tahunan. “Tercatat surplus neraca perdagangan RI sebesar 20,89 juta dolar AS dengan Afghanistan. Ekspor produk farmasi RI juga tumbuh 365,69% dari US$ 507,7 ribu (Januari-Juni 2020) menjadi US$ 2,36 juta pada Januari-Juni 2021.” katanya.

Menurut Dr. Phil Shiskha Prabawaningtyas secara kajian geopolitik, Afghanistan sebagai negara “Landlord” yang tak henti bergejolak, juga dikeliingi oleh negara-negara yang juga relatif “bermasalah” seperti Iran di selatan. “Pakistan sebagai tempat transit dan pemupukan ideologi Taliban pada awalnya, Turkmenistan dan tentu saja bertetangga dengan negara besar seperti Rusia dan China.” Katanya.

Ia menyatakan bahwa Afghanistan juga lahan subur bagi cerita-cerita  “proxywar” transmisi ideologi transnasional berkembang. “Ketika Rusia mundur dari Afghanistan menandai berakhirnya perang dingin dan munculnya landasan baru yakni sovereignity atau kedaulatan negara yang sering kali menjadi konsep utama studi-studi Hubungan Internasional.” Kata Shiskha.

Afghanistan juga tak ketinggalan menjadi dasar bagi pemahaman baru konsep makna kedaulatan negara. Begitu pula dengan konsep “failed state” atau negara gagal yang mengambil Afghanistan (selain Somalia dulu) sebagai contoh kasus.

Shikha mengungkapkan bahwa peristiwa 9/11 di Amerika Serikat juga menjadi dasar diskusi kedaulatan negara terkait praktik diplomasi, coersif diplomacy, dan international organization.

“Invasi AS ke Afghanistan untuk menggulingkan pemerintahan Taliban pada 2001 menandai kebijakan coersif diplomacy AS untuk mencari pelaku serangan 9/11 yang dianggap dilindungi oleh pemerintahan Taliban.” Kata Shiskha.

“Coersif diplomacy AS ke Afghanistan kala itu bahkan mendapatkan semacam persetujuan dari badan dunia PBB dan dijadikan landasan bagi perang melawan terorisme di seluruh dunia.” Pungkasnya.

(Red)

Bagikan Artikel Ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>