Beranda » Apakah Sistem Politik di Indonesia Sudah Sempurna?

Apakah Sistem Politik di Indonesia Sudah Sempurna?

Ilustrasi - foto istimewa dokumentasi Penulis

Hi, aku Mela mahasiswa baru Ilmu Komunikasi Untirta. Pada kesempatan kali ini aku bakal coba ngebahas tentang sistem politik di negara aku sendiri, yaitu negeri Indonesia tercinta. Sebenarnya bagaimana sih sistem politik di negera yang makmur ini? Apakah sudah benar atau mungkin belum benar? Kalo ingin tau jawabannya, baca sampai habis ya.

Setiap negara memiliki sistem politik tertentu, termasuk Indonesia. Keadaan sistem politik saat ini sangat memprihatinkan, terutama ketika dimanfaatkan oleh sebagian (oknum) pemegang yang menguasai pemerintahan di beberapa lini dan hanya menggunakannya untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. Dilihat dari kenyataan tersebut, terjadi banyak ketimpangan dalam segala aspek dan sector kehidupan. Akhirnya, jika situasi ini dibiarkan berlanjut, degradasi dan kehancuran pasti akan terjadi.

Dewasa ini, akibat politisasi elit politik diberbagai lini, yang tidak lagi menggunakan profesionalisme dalam memegang dan mengendalikan pemerintahan, tetapi lebih mengutamakan “kekuasaan” partai politik, yang tidak menutup kemungkinan untuk berubah setiap saat bergantung pada partai yang berkuasa. Akibatnya, sistem politik pun akan berganti atau berubah sesuai dengan penguasa yang memegang kekuasaan. Padahal, tidak perduli siapa yang berkuasa, partai atau kelompok mana, selama bisa digunakan, sistem politik Indonesia harus tetap sama dan tidak berubah.

Sistem politik Indonesia merupakan seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari keseluruhan perilaku sosial melalui nilai-nilai yang dikomunikasikan kepada bangsa dan negara Indonesia. Dengan pemahaman ini, lingkungan dalam masyarakat akan mempengaruhi sistem politik Indonesia, termasuk landasan spiritual bangsa, filosofi nasional, doktrin politik, ideologi politik, dan sistem nilai. Ada pula faktor-faktor yang mempengaruhi sistem politik di Indonesia, di antaranya yaitu faktor lingkungan, sosial budaya, dan kondisi ekonomi suatu negara. Menurut Almound terdapat pula faktor-faktor yang mempengaruhi sistem politik Indonesia, yaitu elit politik, sumber daya material, organisasi, tingkat dukungan untuk sistem politik. Hal tersebut dapat membentuk sikap perilaku politik pada masyarakat serta negara, baik pemegang kekuasaan maupun yang dikuasai dan dikendalikan oleh kekuasaan yang sudah ada.

Sistem Politik Indonesia juga sudah melalui beberapa tahap perkembangan, yang pertama ada di masa Orde Lama (Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin), ada pada masa Orde Baru dan pada masa Orde Reformasi. Dilihat dari perkembangannya, seharusnya sistem politik di Indonesia sekarang ini sudah pasti sempurna ya, karena telah melalui berbagai proses perkembangan. Akan tetapi jika kita memperhatikan keadaan sistem politik di Indonesia ini sedikit mengenaskan ya hehe.

MENGAPA negara dan bangsa Indonesia jatuh seperti sekarang? Korupsi, kolusi, nepotisme, pemerasan, suap, sogok menyogok, pungli, penjualan murah kekayaan alam dan penguasaan kapitalisme asing, bencana hukum, bencana ekonomi dan berbagai bencana terjadi di Indonesia. Adanya pembiaran anarkisme, anti pancasila, mafia di segala bidang dan berbagai resesi di hampir semua sektor sangat mudah dilihat bersama. Kalau kita jujur, semua ini adalah akibat dari sistem politik Indonesia yang masih kurang benar.

Hal itu antara lain diakibatkan oleh beberapa hal: Pertama, persyaratan pendirian partai politik yang terlalu mudah. Jika tidak memiliki modal pun dapat membentuk partai. Yang penting berbentuk parpol dan ada pengurus, ada logo, ada AD/ART dan persyaratan administrasi ringan lainnya. Ideologi bisa apa saja asalkan tidak berbenturan dengan Pancasila. Karena terlalu mudah, terbentuklah partai politik yang kurang beritikad baik. Mereka bertingkah seperti pro kepada rakyat, menjadi profesional. Padahal faktanya, partai-partai politik di Indonesia berperilaku yang sama, mereka semua ingin menang, mereka ingin berkuasa, mereka ingin mencapai proyek-proyek besar, mereka ingin menjadi kaya dan mereka ingin melanggengkan kekuasaan mereka dengan segala cara, termasuk cara curang. Persyaratan untuk membentuk partai politik harus kompleks atau dipersulit, seperti harus memiliki modal yang cukup, bank garansi, punya kantor di seluruh provinsi, kepengurusan yang bersih (tidak terlibat dalam tindakan pidana atau perdata) dan kondisi sulit lainnya.

 

Kedua, syarat menjadi calon presiden terlalu mudah dan sederhana. Kebanyakan dari mereka hanya fokus pada persyaratan administrasi dan kesehatan. Kemauan dan uang adalah hal paling penting. Ada dukungan dari partai politik, apalagi kalau punya banyak uang bisa mencalonkan diri sebagai presiden. Tidak ada syarat yang mendukung kualitas calon presiden. Semua calon presiden harus melewati berbagai tes kualitas. Berdasarkan tes IQ, EQ, SQ, LQ, AQ, HQ, MQ, pro Pancasila, UUD 1945 Konstitusi, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan memiliki sifat negarawan, pendidikan minimal S1 atau S2 atau S3, tidak sekaligus pengurus partai, dan persyaratan lain yang menekankan kualitas calon presiden.

 

Ketiga, syarat menjadi caleg terlalu mudah. Siapapun bisa menjadi calon legislatif, apalagi jika mereka berani mengeluarkan uang banyak, mereka bisa dianggap sebagai calon legislatif. Orang yang tidak mengerti hukum, ekonomi, dan ilmu lainnya baik-baik saja. Perwakilan korup lahir tanpa syarat yang ketat. Jadi maling uang rakyat. Semua calon wajib mengikuti berbagai tes kualitas, seperti tes kualitas Calon Presiden tersebut di atas.

Keempat, sistem pemilu yang tidak profesional. Pengelolaan DPT (Daftar Tetap Pemilih) saja masih amburadul. DPT yang semrawut pastilah membuka peluang pemilu yang kacau dan curang. Sistem pemungutan suara juga mudah disusupi bagi mereka yang mudah disuap dan disogok. Masih dimungkinkan untuk memanipulasi data suara. Sistem voting offline harus diganti dengan sistem voting online, apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini. Bisa menghemat uang hingga ratusan miliar, hasil pemilu juga bisa diverifikasi secara online oleh publik. Meminimalkan kecurangan, karena orang dapat membandingkan hasil pemilu di TPS mereka dengan hasil online.

Kelima, masih banyak produk hukum yang tidak pro terhadap masyarakat karena selama ini terlalu mudah untuk mendapatkan kedudukan, akibatnya adalah masyarakat yang cerdas tetapi tidak bermoral, tidak amanah dan tidak ramah terhadap masyarakat. Sehingga undang-undang yang dibuat juga lebih menguntungkan kepentingan partai politik atau koalisi politik itu sendiri. Dalam unjuk rasa (demo) yang baru-baru ini terjadi yaitu mengenai pengesahan RUU KUHP, terlihat jelas dari kasus ini banyak orang yang tidak setuju dengan undang-undang yang disahkan oleh wakil rakyat itu sendiri. Berbagai pakar hukum dari seluruh Indonesia, akademisi dari semua agama di Indonesia, serta pekerja, karyawan, dan siapa pun yang terlibat dalam RUU harus terlibat dalam penyusunan undang-undang tersebut. Hukum harus lebih bermanfaat bagi bangsa dan negara. Harus lebih pro rakyat, terutama masyarakat miskin.

Keenam, penuntutan yang terlalu ringan bagi para koruptor. UU dan penegakan hukum tampaknya sangat mudah dibeli. Di lembaga pemasyarakatan, para koruptor dapat menikmati kehidupan yang nyaman, tetapi pada malam hari merekajuga dapat tidur di hotel atau di rumah kontrakan dekat penjara. Hukuman bisa dipersingkat, pembebasan bersyarat juga bisa ditukar dengan uang. Seharusnya hukuman koruptor itu lebih berat. Jika perlu hukuman mati seperti di Korea Utara. Untuk itu, perlu adanya peningkatan kualitas hukum terkait korupsi. Harus ada undang-undang untuk memiskinkan para koruptor, hukuman minimum harus ditingkatkan, misalnya, menjadi setidaknya 10 tahun. Koruptor seharusnya tidak bisa meminta remisi atau keringanan hukuman. Meskipun hukuman mati tidak efektif, tapi menurut saya itu harus dilakukan.

Ketujuh, sanksi terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak disiplin dan tegas, di antaranya ruang sidang di DPR selama ini sering kosong. Tidak ada sanksi tegas bagi anggota DPR yang bolos, tidak disiplin, tidur saat sidang, dan lain-lain. Rupanya, anggota DPR yang tidak hadir dalam rapat tiga kali berturut-turut atau tidak hadir dalam rapat tiga kali berturut-turut akan dikenakan sanksi yang berat, misalnya tidak berhak atas subsidi sepanjang tahun.

Dan terakhir yaitu ada sistem demokrasi yang semuanya tentang uang. Semua orang tahu, bahwa sistem politik Indonesia adalah selalu tentang uang. Demokrasi “Wani Piro”, semua serba uang. Jika ingin mendapatkan jabatan, harus memiliki uang. Untuk membentuk partai politik harus punya uang. Dan akibatnya adalah korupsi merajalela.

Mewujudkan sistem politik yang baik dan benar (sempurna) tidaklah mudah, karena membutuhkan proses yang panjang dan harus diajarkan kepada generasi muda sejak dini. Hal ini dikarenakan kita sebagai generasi muda adalah aset bangsa dan kita yang akan mewarisi tonggak kepemimpinan dari generasi tua sebagai estapeta. Tanpa didoktrin dan dibina sejak awal, tidak ada satu generasi pun yang benar-benar memiliki kualitas untuk mengabdi sebagai aset negara dan meneruskan harapan generasi yang lebih tua.

Aku tidak menyalahkan sistem politik Indonesia saat ini, karena aku sendiri juga tidak terlalu mengerti tentang perpolitikan di negara ini. Yang aku inginkan adalah negara ini menjadi negara yang damai dan sejahtera baik itu antara masyarakat level menengah atau bisa dibilang para pejabat maupun masyarakat biasa atau rakyat biasa. Aku hanya tidak ingin melihat negaraku sendiri hancur, terlebih bukan karena dijajah oleh negara lain, akan tetapi oleh rakyatnya sendiri. Sebelumnya mohon maaf jika ada pihak yang tidak suka atau tersinggung dengan tulisan saya, sekali lagi mohon maaf dan terima kasih. Semoga sistem politik di Indonesia bisa lebih baik daripada sebelumnya, aamiin.

(***)

 

Bagikan Artikel Ini