Beranda » Problematika Buku Cetak Versus Buku Bajakan

Problematika Buku Cetak Versus Buku Bajakan

Dengan membaca buku, setiap orang dapat melatih pola pikir kritis - foto istimewa

Buku merupakan jendela dunia dan pepatah ini sering dilontarkan oleh sebagian orang, di jaman sekarang yang canggih seperti ini buku memiliki citra tersendiri yang menjadi kebutuhan konsumtif bagi manusia. tua, muda, kecil, kaya maupun miskin. Buku sendiri sudah ada sejak Bangsa Mesir kuno pada tahun 1800 SM. Pada jaman ini bangsa mesir kuno membuat buku atau secarik  kertas yang terbuat dari lapisan papyrus atau tumbuhan sejenis alang-alang yang ada di tepi sungai nil, tentu ini sangat lama dari yang kita bayangkan saat ini.

Berbeda dengan zaman sekarang, kertas yang digunakan pada masa sekarang bertekstur ringan dan tidak mudah rusak. Sedikit penjelasan mengenai sejarah lahirnya buku, selanjutnya kita beralih kepada topik problematika kita yaitu buku bajakan lebih diminati oleh orang termasuk kalangan mahasiswa yang tipis kantong, ketimbang buku cetak yang harganya lumayan menguras seisi kantong, hal ini menjadi problematika antara buku cetak dengan buku bajakan.

Faktanya dan diagram representasi di Indonesia saat ini mayoritas orang lebih memilih buku bajakan, mereka lebih tertarik dengan buku harga pangkasan. Memang, membeli buku bajakan bagi sebagian orang atau bagi beberapa orang yang memiiliki tingkat ekonomi yang cukup rendah, hal itu sangat menguntungkan. Dilihat dari manapun buku bajakan memiliki kualitas yang buruk, mulai dari segi kertasnya yang compang-camping dan terkadang ada pula beberapa copy-annya menggantung bagai jemuran tidak diangkat. Meskipun spesifikasi atau kualitasnya buruk tetap saja tidak mengurangi minat sipembeli untuk menikmati hasil karya jiplak ini.

Permasalahan ini cukup pelik hingga sukar dipecahkan, berbagai upaya telah diupayakan oleh pemerintah agar masyarakat sadar bahwa membeli buku bajakan sama saja dengan membeli barang haram, kenapa saya nyatakan haram? Karena para penulis menerbitkan sebuah karya novel itu membutuhkan proses yang cukup lama untuk dipublikasikan sedangkan buku bajakan dengan gampangnya di cetak ulang dengan balutan kertas yang gampang koyak.

Banyak para penulis yang merasa dirugikan akibat peredaran buku bajakan, tentunya pihak yang paling dirugikan adalah pihak penerbit.

Hal itu diakui oleh Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Rosidayati Rozalina menyatakan bahwa. “Maraknya peredaran buku bajakan sangat merugikan penerbit. Hanya saja, sejak berdiri pada 1950 silam, Ikapi belum memiliki data riil tentang nilai kerugian yang dialami oleh indrustri penerbitan. Penyebab utamanya karena aktivitas para oknum pembajakan buku ini sulit dilacak”.

Lantas bagaimana hukum menanggapi oknum-oknum yang terus meraup keuntungan dari hasil jiplakan ini, bagi pengusaha toko atau penjual buku bajakan bisa terkena pidana dan denda sebesar Rp.10 Juta Rupiah dan untuk produsen atau pekau pembajakan buku bisa lebih parah lagi hukumannya. Yaitu denda antara 100 Juta sampai dengan Rp.4 Miliar Rupiah. Angka yang cukup fantastis, terlebih mereka akan dipenjarakan 1 sampai 10 tahun. Pemerintah tidak main-main untuk menanggapi masalah ini, hingga Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) menjalin kerjasama dengan Pemerintah DKI Jakarta membentuk kelompok kerja (Pokja) khusus memberantas buku bajakan. Sayangnya langkah tersebut tidak berjalan efektif sehingga masih saja ada beberapa okunum-oknum nakal yang masih menjalankan bisnis terlarang ini.

 

Bagikan Artikel Ini