Beranda » Mengenal Sejarah Banten di Museum Situs Kepurbakalaan di Kawasan Kesultanan Banten

Mengenal Sejarah Banten di Museum Situs Kepurbakalaan di Kawasan Kesultanan Banten

MUSEUM

Bangunan Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama berdiri di atas tanah seluas 778 m2 dari keseluruhan luas yang dimiliki museum yaitu 10.000 m2. Peresmian museum dilakukan pada tanggal 15 Juli 1985 oleh Direktur Jenderal Kebudayaan yang kala itu dijabat Prof.DR. Haryati Soepadio.

SEJARAH DAN CIRI2 MERIAM KI AMUK

Sultan Hasanuddin dari Kesultanan Banten oleh Sultan Trenggono yang pada awalnya bernama Ki Jimat. Meriam Si Jagur yang di halaman Museum Fatahillah Jakarta adalah “kembaran” dari Meriam Ki Amuk. Meriam Ki Amuk konon dulu dipergunakan untuk menjaga Pelabuhan Karanghantu yang berada di Teluk Banten.

CIRI-CIRI MERIAM KI AMUK

Meriam Ki Amuk terbuat dari Perunggu dengan berat 7 ton, panjang 3 meter diameter luar terbesar 0,70 m, diameter dalam mulut 0,34 m. Ia menembakkan peluru meriam seberat 180 pon (81,6 kg).[2]
Lambang Surya Majapahit dapat dilihat di mulutnya. Ada dua prasasti berhuruf Arab di meriam ini. Yang pertama berbunyi “Aqibah al-Khairi Salamah al-Imani” yang berarti “Buah dari segala kebaikan adalah kesempurnaan iman”. Prasasti kedua berbunyi “La fata illa Ali la saifa illa Zu al-faqar, isbir ala ahwaliha la mauta” yang berarti “Tiada pemuda kecuali Ali, tiada pedang selain Zulfiqar, hendaklah engkau bertakwa sepanjang masa kecuali mati”

NISAN CINA DARI PAMARICAN

Nisan ini ditemukan di daerah Pamarican. Daerah tersebut banyak pedagang Tingkok yang sedang berdagang atau melakukan kegiatan ekspor sumber daya alam seperti gula dan lada. Dalam kegiatan tersebut pasti banyak orang Tiongkok yang meninggal, maka dari itu ada batu nisan cina.

ALAT PEMERAS TEBU

Gula merupakan salah satu hasil produksi dari tanaman tebu di masa Kesultanan Banten pada abad ke-17 sampai abad ke-18. Produksi gula masa itu dikelola oleh orang-orang Cina di daerah Pecinan, Kelapadua, hasilnya dijual ke Batavia untuk selanjutnya diekspor ke Cina dan Jepang. Alat produksi gula pada masa itu menggunakan batu penggilingan. Masyarakat Banten tempo dulu menyebutnya kilang yang digerakkan oleh hewan sapi.
Pada tahun 1635 terjadi perdagangan antara Inggris dan orang Tionghoa di Kelapadua. Pada tahun itu juga Sultan Abulmafakir tinggal disekitar Kelapadua untuk beberapa waktu. Tercatat juga bahwa para pedagang dari loji Inggris di Banten pergi ke Kelapadua untuk membeli sebanyak mungkin gula yang dapat dimuat di kapal mereka.

Semenjak itu, gula menjadi komoditas perdagangan penting selain lada di Banten, tertera dalam sketsa pasar Banten sekitar abad ke-17 yang memperlihatkan ragam penjual, diantaranya berjualan hasil pembudidayaan pertanian gula. Sebagaimana disebutkan  oleh Untoro, bahwa saat harga lada menurun dan sewaktu kesultanan diblokade Belanda maka Sultan memerintahkan para petani untuk menanam tebu. Tebu yang selanjutnya diolah menjadi gula banyak dibutuhkan oleh orang-orang Inggris yang tinggal di Banten.

Pengolahan tebu banyak diusahakan pula oleh orang Cina yang bertempat tinggal di Banten, bahkan ketika hasil lada berkurang, gula tebu ini dijual sebagai barang ekspor ke Cina. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Aliuddin, VOC pun mengembangkan pembudidayaan tebu di Banten sebagai komoditas perdagangan baru yang dianggap memiliki prospek cerah bagi perekonomian Belanda. Dari pembudidayaan tebu ini, VOC mendapatkan gula yang sangat laku di pasar perdagangan Eropa. Rata-rata pekerja wajib yang mengolah pembudidayaan tebu mencapai jumlah 70-80 orang yang diawasi oleh sekitar 5-6 orang Cina.

WATU GILANG

Watu Gilang adalah sebuah batu andesit berbentuk segi empat berukuran panjang 190 cm, lebar 121 cm dan tebal 16,5 cm dengan permukaan datar. Batu tersebut berada di depan pintu gerbang utara Keraton Surosowan dekat alun-alun. Menurut Babad Banten batu ini disebut watu gigilang dipergunakan sebagai tempat pentahbisan atau penobatan raja-raja di Kesultanan Banten. Sebuah cerita menarik disampaikan dalam Babad Banten pupuh XVIII yang menyebutkan bahwa Maulana Hasanuddin, raja pertama di Kesultanan Banten mempunyai sebuah batu yang besar dan rata, yang diduduki Batara Guru Jampang ketika melakukan tapa, ia tidak bergerak dalam jangka waktu yang sangat lama, begitu lamanya tidak bergerak sampai ketunya, ikat kepalanya dijadikan sarang oleh burung-burung emprit (pipit)

Bagikan Artikel Ini