Beranda » Maraknya Maskulinitas Beracun di Tengah Masyarakat

Maraknya Maskulinitas Beracun di Tengah Masyarakat

Man Smoking A Cigar He Also Has A Healthy Growth Of Facial Stubble

Di tengah masyarakat yang memegang teguh nilai partiarki, ternyata maskulinitas beracun masih ada, bahkan marak terjadi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, patriarki adalah perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Konsep nilai partiarki tersebut sepertinya mengesamping dan merugikan perempuan. Namun, apakah benar hanya perempuan yang dirugikan?

Dewasa ini, isu kesetaraan gender mengharuskan kita sadar akan hal yang menyangkut gender. Istilah-istilah seperti partiarki, feminisme, seksisme, misogini yang mulai terdengar di telinga masyarakat, utamanya generasi sekarang yang mungkin tidak mengetahui bahwa budaya patriarki sulit dihapuskan.

Budaya patriarki yang semakin lama menjelma berubah menjadi konsep maskulinitas beracun (toxic masculinity) yang mana konsep tersebut mengincar laki-laki untuk hidup dengan norma laki-laki yang terbentuk di masyarakat. Standar norma laki-laki yang merujuk pada kekuatan, superioritas, dominasi, dan agresi. Maskulinitas beracun adalah konsep secara terminologi yang tidak sehat justru berbahaya karena membatasi laki-laki untuk membatasi potensi maksimal sebagai manusia. Maskulinitas beracun di Indonesia semakin dianggap biasa saja karena sudah mengakar kuat pada budaya kita. Perempuan yang dianggap lebih lemah daripada laki-laki, dan laki-laki yang diharuskan lebih kuat dari perempuan sudah ditanamkan dalam pola pikir kita sejak kecil.

Penanaman nilai yang mengakar kuat tersebut menghasilkan nggapan bahwa laki-laki harus kuat tidak boleh menangis. Budaya patriarki menganggap bahwa menangis adalah salah satu tanda seseorang tersebut lemah. Padahal, menangis adalah cara normal untuk mengekspresikan sebuah emosi. Maskulinitas beracun mengharuskan laki-laki untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh masyarakat.

Nilai maskulinitas beracun yang tertatam di masyarakat bahwa dari usia dini, mulai dari -aturan bahwa anak laki-laki harus main mainan anak laki-laki, tidak boleh main mainan anak perempuan, membatasi intensitas anak laki-laki bermain dengan anak perempuan, tidak mengajari anak laki-laki pekerjaan rumah sedari kecil, dan lain sebagainya. Nilai-nilai tersebut yang akhirnya terbawa hingga anak laki-laki itu dewasa dan tertatam nilai bahwa laki-laki tidak wajar untuk mengerjakan pekerjaan domestik seperti bersih-bersih rumah.

Standar lain yang melekat pada laki-laki adalah laki-laki harus sukses dalam finansial, serta tidak wajar apabila melakukan perawatan diri dengan make up atau skincare karena itu dianggap kegiatan perempuan, dan masih banyak lagi. Dampak dari standardisasi tersebut yakni banyak laki-laki yang tumbuh menjadi manusia dengan ego atau gengsi tinggi.

“Laki-laki yang ada di idol grup itu mereka mempunyai ekspresi atau bagaimana mereka mengekspresikan dirinya. Menurut saya sudah lepas dari idea of masculinity dan apa itu feminisme, jadi mereka nyaman menggunakan make up, pakai skincare, menggunakan baju warna pink, dan lain-lain. Menurut aku sudah mendobrak itu,” ucap Anindya Restuviani, Direktur Program Lintas Feminis Jakarta pada acara Sintesa Diskusi Berat.

Menurut artikel factnews.com yang berjudul maskulinitas beracun berupa tuntutan masyarakat bahwa seorang laki-laki harus kuat, tidak boleh emosional ketika laki-laki marah, seorang laki-laki bisa mengatur hubungan, jika laki-laki kurang dominan dalam hubungan, berarti laki-laki lemah, seorang laki-laki dikatakan gagal ketika laki-laki tidak menjadi seorang yang bisa menghidupkan keluarganya, dan perundungan yang terjadi pada laki-laki karena sifat atau bentuk atau gestur tubuh yang agak feminin.

Dari beberapa alasan diatas, penulis berpikir bahwa benar adanya konsep maskulinitas beracun sangat membatasi laki-laki dengan nilai tertatam sehingga menciptakan ego terhadap laki-laki. Di dalam rumah tangga misalnya, sering kali suami enggan membantu istri mengerjakan pekerjaan rumah seperti membersihkan rumah, mencuci, memasak, dan mengurus anak. – Padahal hal-hal tersebut adalah hal-hal dasar yang seharusnya terlepas dari unsur gender.

Perundungan terhadap laki-laki karena konsep maskulinitas beracun pernah ditemui penulis di sosial media, Tiktok. Penulis melihat konten video dari @avanthelove, dalam videonya, Avan membalas komentar yang berisi tentang tanggapan negatif dirinya menggunakan skincare. Hal tersebutnya memicu pikiran penulis untuk menulis esai tentang maraknya maskulinitas beracun di masyarakat.

Maskulinitas beracun memiliki dampak buruk yang cukup signifikan bagi laki-laki. Laki-laki yang dianggap tidak memenuhi standar maskulinitas sering kali mendapatkan tekanan dari laki-laki lain atau masyarakat sehingga berdampak negatif terhadap kesehatan mentalnya. Perlakuan ini menyebabkan laki-laki lebih rentan mengalami stress. Dilansir dari laman databoks, walaupun selama 20 tahun terakhir, tren tingkat bunuh diri di Indonesia menurun. Pada 2020, tingkat bunuh diri di tanah air sempat mencapai 3,5 per 100 ribu penduduk dan tercatat tingkat bunuh diri laki-laki di Indonesia pada 2019 lebih tinggi ketimbang perempuan yakni sebesar 3,7 per 100 ribu penduduk.

Nur Hasyim menyampaikan beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menghentikan maskulinitas beracun. Pertama, membuka ruang perbincangan tentang maskulinitas, yakni ruang yang aman dan nyaman tanpa dihantui rasa takut untuk membicarakan tentang diri mereka. Kedua, merefleksikan konsekuensi negatif dari maskulinitas beracun bagi laki-perempuan, dan kelompok-kelompok lain. Ketiga, mempromosikan konsep laki-laki manusiawi yang keluar dari konsep maskulinitas dan feminitas yang merupakan produk patriarki. Keempat, menjadi sekutu gerakan feminisme dalam aksi transformasi sistem sosial yang kini masih patriarkis dan seksis.

Jadi kesimpulan penulis mengenai maskulinitas beracun yang berdasarkan pada fakta-fakta di masyarakat bahwasanya penanaman nilai maskulinitas beracun di masyarakat mengenai stigma bahwa laki-laki harus maskulin, tegas, berani, tidak mengenakan sesuatu yang berkaitan stigma bahwa laki-laki harus maskulin, tegas, berani, tidak mengenakan sesuatu yang berkaitan dengan perempuan. Hal-hal tersebut sudah terbentuk karena penanaman nilai kemaskulinan yang sudah berkembang sejak bayi dilahirkan, perbedaan sikap dan perilaku seorang laki-laki sudah tertanam sejak kecil. Padahal sejak bayi, setiap anak laki-laki terlahir berbeda-beda. Misalkan saja ada yang terlahir memiliki sifat maskulin, tegas, berani, bisa memimpin dan sebagainya. Namun, ada juga laki-laki yang memiliki suara lembut, kurang tegas, kurang pandai berolahraga, lebih menyukai warna yang terang, dan lain sebagainya. Hal tersebut tidaklah salah, karena dalam ilmu biologi, mungkin saja laki-laki yang seperti itu karena jumlah hormonnya yang kurang seimbang. Maka dari itu, mari hentikan tindakan maskullinitas beracun dengan mengharagai orang lain menghargai kita.

Bagikan Artikel Ini