Beranda » Dilema Antara Profesionalisme dan Hubungan Persahabatan dalam Cerpen “Seragam” Karya Aris Kurniawan Basuki

Dilema Antara Profesionalisme dan Hubungan Persahabatan dalam Cerpen “Seragam” Karya Aris Kurniawan Basuki

Cerpen “Seragam” Karya Aris Kurniawan Basuki ini dikemas dengan sangat minimalis dengan hanya menampilkan dua tokoh, tokoh dengan hubungan yang digambarkan memiliki kekuatan emosional yang kuat. Kesederhanaan cerita dalam cerpen ini juga menjadi daya tarik karena melibatkan emosional pembaca.

Dengan menggunakan sudut pandang pertama, ia juga secara tidak langsung mengajak pembaca untuk terlibat dalam cerita dan menelusuri ingatan-ingatan yang disajikan dalam narasi-narasi yang sangat mudah didapati dari kehidupan. Memang dirasakan sekali bahwa penulis menangkap realitas yang ada dalam kehidupan. Hal itu senada dengan apa yang dikatakan Abrams dalam Wiyatmi (2006 : 79) bahwa karya sastra sebagai tiruan alam atau kehidupan. Wiyatmi (2006) selanjutnya menyebutkan bahwa hubungan antara karya sastra dan realitas tersebut bersifat searah. Bahwa karya sastra dianggap sebagai tiruan ataupun cermin dari realitas.

Cerita dimulai dengan cerita tokoh “saya” mendatangi rumah seseorang yang merupakan sahabat kecilnya. Narasi berikut adalah ketika si tokoh masuk.

Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap Isnin.

Lalu diceritakan pula bahwa si tokoh kemudian berpisah dengan sahabatnya dalam narasi berikut.

Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu.

Dengan alur mundur cerita kemudian dibangun dengan tahapan-tahapan ingatan si tokoh “saya”.  Hal tersebut semacam bisa dikatakan nostalgia. Misalnya ketika diceritakan saat kedua tokoh masih bersekolah dulu, saat mereka berdua pernah pergi mencari jangkrik pada malam hari. Hal tersebut sungguh lekat dengan realitas kanak-kanak di desa. Sebagaimana digambarkan dalam cerpen

Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.

Kejadian ketika si tokoh “saya” mengalami kecelakaan ketika memegang obor, lalu tiba-tiba angin berhembus kencang dan menjatuhkan sumbu obor tersebut sehingga obor tersebut membakar punggungnya. Sang sahabat dengan sigap melepaskan seragam sekolahnya untuk mematikan api yang telah membakar punggung tokoh “saya”.

Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya!

Singkat cerita kemudian sang sahabat menggendong tokoh “saya” kerumahnya dan yang membekas kemudian adalah perlakuan ayah dari tokoh “saya” yang justru kemudian menampar sahabat yang menolongnya itu. Ketika tokoh “saya” dibawa ke puskesmas, seragam sekolah sang sahabat yang digunakan menutupi punggung tokoh “saya” itu dilepaskan oleh sang mantri dan entah kemana. Sehingga sang sahabat yang merupakan anak dari kalangan tidak mampu terpaksa membolos sekolah pada hari jum’at dan sabtu selama beberapa minggu hingga ayahnya bisa membelikan seragam sahabatnya.

Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka.

Secara emosional hubungan antara realitas dengan karya sastra tersebut dibangun dengan apik.  Setelah mengenang kejadian masa kecil tersebut. Ada sedikit hal yang mengusik saya dalam hal ini, kalau memang tokoh “saya” menganggap tokoh “dia” sebagai sahabat, mengapa ia tidak pernah berinisatif untuk membelikannya pakaian dengan uang sakunya sendiri? Apakah hal ini menunjukkan bahwa si tokoh saya digambarkan sebagai orang yang tidak tahu terima kasih sedari kecil? Atau memang luput dari fokus penulis? Seperti tergambar dalam narasi berikut.

Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.

Malah dalam narasi berikutnya ia seakan menyalahkan sahabatnya atas kebaikan hatinya itu.

”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.

”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.”

Waktu ketika kunjungan ke rumah tokoh “dia”, sahabatnya mengajaknya ke halaman belakang bekas kolam gurami. Ketika kemudian sahabatnya itu menunjukkan bahwa kolam itu kini berganti fungsi menjadi sebuah gudang tempat sang sahabat membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari kerajinan tangan itu lah dan pembagian keuntungan sawah garapan yang menghidupan isitri dan anaknya, lalu secara dramatis diceritakan bahwa keadaan sahabatnya saat ini selepas kedua orang tuanya meninggal kakaknya menggadaikan sertifikat rumah dan tanah peninggalan orang tuanya untuk modal usaha kakaknya, namun usaha kakaknya bangkrut dan menginggalkan hutang yang kini membebaninya.

Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.

”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.”

”Ulahnya?” Dia mengangguk.

”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.”

Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.

Narasi ini amat apik digambarkan karena menghadirkan tokoh kakaknya meski tidak secara langsung, namun memang berhubungan dengan realitas. Bahwa berhutang dengan menggadaikan sertifikat rumah, menjadi beban keluarga, itu seringkali banyak dialami oleh orang dalam kehidupan nyata. Pastilah ada seorang anggota keluarga yang semacam ini dalam kehidupan kita. Menurut hemat saya, penulis sudah cukup baik menghadirkan kenyataan semacam ini dalam karya sastranya.

Cerita pendek ini kemudian ditutup dengan kenyataan bahwa si tokoh “saya” adalah seorang jaksa yang hendak mengeksekusi pengosongan rumah dan tanah sang sahabat. Sepanjang perjalanan pulang sang tokoh “saya” mengalami dilema karna dia belum bisa membalas kebaikan dan ketulusan sang sahabat, dia melirik seragam dinasnya yang bersandar di jok belakang kendaraanya dan dia tidak merasa bangga karna nilainya jauh lebih kecil dari nilai persahabatannya yang ia dapatkan dari sebuah seragam coklat pramuka millik sahabatnya.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.

Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.

Rasa bersalah tokoh “saya” karena tidak dapat menolong sahabatnya tersebut sebenarnya menjadi dilema tersendiri. Atau memang barangkali ia tidak pernah berniat untuk menolong sahabatnya tersebut? Paling tidak,  penulis menjelaskan perasaan tokoh “saya” ketika ia membandingkan nilai seragam dinas dan seragam pramuka yang diberi sahabatnya. Barangkali ia terjebak antara ikatan persahabatan dengan kawannya dan merasa hutang budi, meski ternyata pada kenyataannya ia tidak dapat berbuat apa-apa karena secara profesional, ia adalah seorang jaksa yang bertugas mengeksekusi rumah sahabatnya tersebut. Hal-hal semacam ini memang nyata-nyata terjadi dalam kehidupan nyata, dan dalam akhir yang menyentuh ini, cerita pendek yang ditulis membuat sebuah kontemplasi dalam benak pembaca. Penulis sukses membungkus sebuah representasi dari kehidupan nyata menjadi sebuah karya sastra. Karena pada kenyataannya kita memang dihadapkan pada ketidakberdayaan nurani pada akhirnya karena sebuah profesionalisme.Dalam profesionalisme kita tidak akan mengenal kawan, keluarga, atau ikatan-ikatan. Ini juga barangkali menjadi kritik penulis dalam karya sastranya. Bagaimana sebuah ikatan, rasa terimakasih atau balas budi tidak dapat dicampuri oleh profesionalisme. Kontemplasi yang dihadirkan penulis mempertanyakan nurani manusia yang dikalahkan oleh profesionalisme itu sendiri. Bagaimana seringkali dalam dunia profesi kita seringkali melupakan kedekatan atau ikatan emosional. Dalam hal ini, cerpen “Seragam” telah mampu menghadirkan fenomena yang terjadi dalam realitas pada karya sastranya.

Bagikan Artikel Ini