Beranda » Dari Sudut Pandang Rakyat

Dari Sudut Pandang Rakyat

Ilustrasi - foto Dokumentasi Penulis

Deru mobil terdengar di sepanjang jalanan kota. Tidak heran jika dari kejauhan kita sudah melihat para pejuang jalanan yang sedang berusaha mencari selembaran uang, bukan untuk kesenangan mereka, melainkan hanya untuk membeli sesuap nasi pada hari itu. Keadaan sekarang sulit, siapa yang bisa membantu mereka?, jika yang berpenghasilan saja merasa kesulitan akan pengeluaran di masa pandemi yang tak kunjung selesai. Vitamin, obat-obatan, sampai masker menjadi gaya hidup masa kini.

“Di Kota sebesar ini, tidak adakah yang melihat kearahku. Aku lapar, Aku ingin makan.” Rintih Ali, seorang anak kecil yang hanya tinggal bersama Neneknya di Gubuk usang. Kerjaan Ali sehari-hari hanya berjualan tisu di lampu merah, tak bisa Sekolah karena tidak adanya biaya. Alih-alih bersekolah, bisa makanpun sudah Alhamdulillah.

Ali               : “Nenek, aku lapar sekali.”

Nenek         : “Sabar ya Ali, sebentar lagi pasti ada yang beli dagangan Nenek.”

Ali               : “Kenapa sekarang sepi sekali Nek?”

Nenek         : “Sekarang semuanya dibatasi Ali, keluar rumahpun dibatasi. Restoran atau Cafe yang sering kamu lewati, tidak seramai saat sebelum pandemi. Cafe saja sepi, bagaimana dengan dagangan Nenek yang hanya bermodal kardus ini.”

Ali               : “Kenapa kita tidak demo saja Nek, kita sampaikan kesulitan kita saat ini, agar orang-orang berduit itu dapat membantu kita.”

Nenek         : “Ingat Ali, kita ini bukan siapa-siapa, kita hanya rakyat biasa, mana mungkin suara kita akan langsung didengar.”

Sementara di Warung Bi Ijah, ada Nurul yang sedang asik makan sepotong roti, sambil berbincang-bincang santai. Tak sengaja Nurul melihat sebuah bungkusan yang terdapat di sudut Warung kecil itu.

Nurul          : “Bi, itu bungkusan apa?”

Bi Ijah         : “Itu loh paket bantuan sosial dari pemerintah, isinya makanan gitu, lumayan sedikit membantu.”

Nurul          : “Bantuan sosial?, Sepertinya anak-anak yang ada di lampu merah tidak pernah mendapat bantuan seperti itu.”

Bi Ijah         : “Kalau soal itu Bi Ijah kurang tau, atau memang tidak dapat.”

Nurul          : “Padahal mereka seharusnya bisa dapat bantuan seperti itu, setidaknya berupa makanan. Bibi lihatkan di sepanjang lampu merah, banyak sekali anak jalanan yang menahan lapar Bi.”

Bi Ijah         : “Tapi sebenarnya, Bibi juga sering mendapatkan paket bantuan yang kurang layak.”

Saat perbincangan semakin serius, tiba-tiba televisi Bi Ijah menayangkan sebuah  berita terbarunya. Isinya mengenai kasus korupsi yang terjadi di masa pandemi ini. Ya benar, kasus bantuan sosial yang sedang diperbincangkan oleh Nurul dan Bi Ijah.

Nurul          : “Nah itu Bi, itu pasti penyebab bantuan sosial yang diterima Bibi bisa dibilang kurang layak.”

Bi Ijah         : “Wah.. kok bisa tega sama rakyat yang lagi kesusahan, apa hati nurani nya sudah tertutup ya.”

Nurul          : “Bi Ijah ini seperti tidak tahu saja, kebanyakan orang-orang berduit itu tidak memikirkan rakyat biasa seperti kita. Kita harus bisa bertahan dengan keringat kita sendiri, ya kalau kita hanya mengandalkan mereka, kita bisa mati kelaparan.”

Belum sempat perbincangan Bi Ijah dan Nurul selesai, tiba-tiba saja terdengar kegaduhan dari ujung jalan. Tidak lain dan tidak bukan itu adalah sekumpulan orang yang bersiap untuk demo atas kasus korupsi yang ditayangkan di televisi tadi. Jelas, rakyat pasti sangat marah akan berita itu. Bagaimana tidak, kita sebagai rakyat biasa yang hidup ditengah wabah ini, setiap harinya berusaha untuk tetap hidup dengan kemampuan yang kita bisa. Sedangkan mereka bersenang-senang atas duit yang mereka ambil.

Kemudian diantara kegaduhan tersebut, ada seorang mahasiswa yang mampir ke Warung Bi Ijah untuk membeli sebotol minuman. Anton namanya, ia kali ini ikut serta dalam aksi demo untuk menuntut keadilan.

Anton          : “Permisi ibu, saya mau beli air ini, berapa ya harganya bu?”

Bi Ijah         : “5000 aja mas, mas ini ikut demo yang di ujung jalan itu ya?”

Anton          : “Oh iya benar bu, tujuan kami bukan untuk membuat rusuh jalanan, kami hanya menagih janji para petinggi untuk menghukum mati koruptor tersebut.”

Nurul          : “Keren banget mas, pokonya saya dukung mas ganteng ini untuk menegakkan keadilan.”

Bi Ijah         : “Astaghfirullah Nurul, kamu ini ikutan ngomong aja ya, ini memang sudah menjadi tugas para mahasiswa untuk berani menyuarakan yang benar.”

Kemudian, hari-hari setelah demo pun berlalu. Sempat tenggelam berita akan kasus ini di media. Sampai akhirnya ada berita yang menyatakan bahwa hukuman mati tersebut tak jadi terlaksana, dan sudah pasti berita itu juga sampai di telinga Ali dan Neneknya.

Nenek         : “Kamu sekarang mengerti kan Ali, apa yang Nenek katakan dulu, jika kita belum jadi apa-apa suara kita tidak akan didengar.”

Ali               : “Iya Nek, Ali paham akan hal itu. Kita terus berjuang ya Nek, semoga Ali kalau sudah besar bisa punya jabatan biar suara Ali bisa didengar oleh mereka.”

Nenek         : “Ali boleh punya jabatan atau jadi apa pun, asal jadi orang jujur dan adil ya nak. Tidak ada untungnya jika kita mengambil hak orang lain. Di dunia dibenci, di akhirat disiksa.”

Ali               : “Baik Nenek.”

Sementara itu Bi Ijah masih tetap menjalankan usaha warungnya, dan Nurul memutuskan untuk menjadi guru pancasila. Kasus tersebutlah yang menjadi motivasinya untuk lebih menyebar luaskan makna dari sila ke lima yakni, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

(***)

Bagikan Artikel Ini