Beranda » Campur Kode pada Situasi Formal dalam Pendekatan Sosiolinguistik

Campur Kode pada Situasi Formal dalam Pendekatan Sosiolinguistik

ilustrasi - Foto dokumentasi penulis

Campur kode antara lain merupakan proses di mana penutur mencampur kode-kode bahasa satu dengan bahasa lainnya. Penutur menggunakan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain guna memperjelas gaya bahasa atau ragam bahasanya. Kode-kode ini adalah hasil dari serpihan bahasa asing (seperti bahasa Inggris dan bahasa daerah) yang terdapat di dalam data berbahasa Indonesia dengan maksud tertentu.

Jika seorang penutur menggunakan satu kata atau frasa dari satu bahasa lain, maka penutur tersebut dapat dikatakan telah melakukan campur kode. Karena campur kode terjadi karena penutur menggabungkan kode-kode bahasa satu ke bahasa lain. Dewasa ini, terdapat banyak penutur yang mengguakan campur kode alih-alih untuk mengikuti tren yang ada atau penutur tersebut ingin dianggap gaul atau berpengetahuan luas.

Melakukan campur kode tidak akan menjadi masalah jika dilakukan di situasi yang tepat, seperti saat santai dengan teman atau karena bahasa yang digunakan tidak memiliki ungkapan untuk konsep yang akan dikemukakan oleh penutur ke mitra tutur. Namun bagaimana jadinya jika campur kode dilakukan secara berlebihan di situasi formal seperti saat melamar kerja? Hal tersebut tentunya akan dianggap tidak sopan apalagi kode-kode yang digunakan merupakan kode sehari-hari.

Bagi sebagian perusahan mungkin memang menginkan pegawainya dapat menguasai dua bahasa atau lebih sekaligus, akan tetapi kurang tepat jika diterapkan dengan campur kode. Bayangkan saat berbicara dengan kolega atau mitra bisnis perusahan namun penutur menggunakan campur kode dengan kode sehari-hari. Tentu akan terdengar tidak enak di telinga. Hal tersebut berbeda dan tidak seperti alih kode, yang mana timbul gejala pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.

Campur kode akan tepat digunakan jika memang sebelumnya tidak terdapat bahasa yang ingin diungkapkan oleh penutur, sehingga menggunakan kode bahasa lain. Dari tindakan tersebut muncullah kata serapan. Akan tetapi jika kode yang digunakan sudah ada namun memaksakan menggunakan kode bahasa lain agar terlihat keren, hal tersebut hanya menjadikan suatu kalimat menjadi aneh didengar dan terasa kurang sopan apalagi jika digunakan pada situasi formal.

Berbeda dengan saat menciptakan lirik lagu, campur kode sangat berterima terutama bagi para musisi yang ingin bebas mengekspresikan karyanya. Maraknya campur kode yang digunakan sehari-hari salah satunya terjadi karena budaya yang mulai tercampur. Sebagai contoh jika berada di situasi formal, calon pelamar yang ingin melamar pada suatu perusahan berucap “hi, apakah masih terdapat lowongan? Because I need this job so much. Terima kasih sebelumnya”.

Ungkapan seperti itu tentu kurang tepat disampaikan pelamar kepada pimpinan perusahaan, dan malah memberikan kesan yang kurang baik sehingga pandangan pertama pimpinan perusahan memberikan nilai minus sebelum mengetahui kemampuan kinerja dari calon pelamar tersebut. Tidak hanya di situasi formal antara calon pelamar dan pimpinan perusahaan, namun juga situasi formal lainnya seperti mahasiswa yang berbicara dengan profesornya.

Jadi, campur kode bukan sesuatu yang buruk, namun penutur tetap harus melihat keadaan dan situasi sekitar sebelum melakukan campur kode. Jika dirasa situasi terlalu formal untuk melakukan campur kode secara santai, maka gunakanlah alih kode. Hal tersebut lebih bisa diterima oleh situasi. Tentu saja alih kode yang digunakan juga harus kode-kode bahasa yang baik digunakan. Tidak ada salahnya berlajar menguasai kode bahasa di luar kode bahasa penutur. Selain dapat menambah wawasan, juga bisa memperlancar penutur dalam tuturannya.

Referensi: Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Lady Alif Fardya, Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Bagikan Artikel Ini