Beranda » Upaya Memutus Ketergantungan Impor Gandum

Upaya Memutus Ketergantungan Impor Gandum

Oleh Raffif Arrazi

Kegiatan impor merupakan hal yang umum bagi negara-negara di dunia. Jarang sekali ada negara yang mampu mencukupi kebutuhan dalam negerinya tanpa impor dari negara lain. Impor dilakukan untuk menutupi kekurangan produksi lokal. Tanpa adanya impor, keamanan pangan suatu negara akan tidak terjamin.

Pengertian pangan sendiri memiliki dimensi yang luas. Mulai dari pangan yang diperlukan untuk kehidupan manusia yang sehat dan produktif (keseimbangan karbohidrat, kalori, lemak, protein, vitamin, serat dan zat penting lainnya); dan makanan yang dimakan untuk tujuan sosial dan budaya, seperti kesenangan, kesehatan, kecantikan, dll. Jadi, pangan tidak hanya berarti makanan pokok, dan jelas bukan hanya nasi, tetapi makanan dalam kaitannya dengan banyak hal lainnya. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).

Sementara menurut Badan POM, pangan adalah makanan untuk dikonsumsi yang tidak hanya berupa beras, tapi juga sayur-mayur, buahbuahan, daging baik unggas maupun lembu, ikan, telur, juga air. Ketahanan pangan menurut UU NO 7 tahun 1996 Tentang Pangan Pasal 1 ayat 17 adalah kondisi terpenuhinya pangan yang cukup, baik secara jumlah maupun mutu, serta aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan dapat pula didefinisikan sebagai situasi dimana dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif. Secara umum, ketahanan pangan adalah adanya jaminan bahwa kebutuhan pangan dan gizi setiap penduduk adalah sebagai syarat utama dalam mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan yang tercukupi (Sitanggang dan Marbun, 2007).

Gandum adalah tanaman purba yang telah dibudidayakan selama ribuan tahun sebelum masehi. Biji gandum mengandung 60-80% karbohidrat, 10-20% protein, 2-2,5% lemak, ,5% mineral dan beberapa vitamin. Kandungan gluten gandum memungkinkan makanan dalam produk ini menjadi kenyal dan mengembang saat dipanaskan. Selain itu, gandum olahan juga memiliki kemampuan pengawetan yang lebih baik daripada makanan berbahan dasar beras.

Gandum umumnya tumbuh baik di daerah subtropis dengan suhu berkisar 10-25 °C dan curah hujan 350-1.250 mm. Lantas, apakah tanaman serealia ini bisa tumbuh di Indonesia yang beriklim tropis?

Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Karlina Syahruddin, M.Si mengatakan gandum bisa ditanam di Indonesia bahkan sudah menghasilkan beberapa varietas gandum Tropis.

“Gandum dapat tumbuh di wilayah tropis seperti Indonesia, namun hanya jenis gandum spring yang dapat memberikan hasil panen yang cukup baik. Gandum dapat berkembang sangat baik di daerah dengan suhu yang rendah untuk merangsang pembungaan, biasanya kriteria wilayah seperti ini berada di dataran tinggi dengan elevasi ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut,” jelas Karlina Suka dihubungi Senin (25 April 2022).

Gandum pertama kali diperkenalkan ke Indonesia pada awal abad ke-18, tetapi tidak menjadi tanaman penting dalam sistem pertanian. Kemudian pada tahun 1981, Departemen Pertanian melalui Balitbangtan melakukan uji daya adaptasi bibit gandum dari berbagai negara dan beberapa diantaranya menunjukkan daya adaptasi di dataran tinggi.

Plt. Direktur Balitbangtan Prof. Dr Fadjry Djufry juga mengungkapkan bahwa Balitbangtan telah lama meneliti dan membiakkan varietas gandum tropis.

“Balitbangtan juga lakukan penelitian varietas unggul gandum. Hasilnya adalah telah dilepas varietas Nias dan Timor pada tahun 1993, varietas Selayar pada tahun 2003, dan varietas Dewata pada tahun 2004. Keempatnya merupakan varietas gandum dataran tinggi dengan rata-rata hasil masing-masing 2,0 ton/ha, 2,0 ton/ha, 2,95 ton/ha, dan 2,04-2,96 ton/ha,” kata Fadjry.

Tidak hanya itu, Balitbangtan juga membentuk konsorsium penelitian gandum dengan beberapa perguruan tinggi dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Dari konsorsium tersebut dilepasliarkan varietas gandum unggul Guri-1 dan Guri-2 pada tahun 2013, kemudian pada tahun 2014 dilepas varietas Guri-3 Agritan, Guri-4 Agritan, Guri-5 Agritan dan Guri-6 UNAND. Potensi hasil keenam varietas tersebut lebih tinggi yaitu 7,4 ton/ha, 7,2 ton/ha, 7,5 ton/ha, 8,6 ton/ha, 5,1 ton/ha dan 5,3 ton/ha. Selain itu, varietas Guri-5 Agritan dan Guri-6 UNAND juga beradaptasi di dataran sedang.

Gandum secara teknis bisa ditanam di Indonesia, tetapi secara komersial sulit. Gandum dapat ditanam di Indonesia tetapi suilt untuk tumbuh di Indonesia disebabkan kontur tanah di Indonesia yang berbukit-bukit serta iklim tropis yang kurang cocok untuk menanam gandum. Karena keterbatasan tersebut, Indonesia harus mengimpor gandum dari negara lain seperti Australia.

Australia menjadi salah satu negara importir Indonesia dikarenakan kedekatan wilayah antara Indonesia dengan Australia yaitu berjarak 3.455 km. Sedangkan jarak Indonesia dengan negara pengimpor lainnya yaitu Indonesia-Ukraina berjarak 9.533 km, Indonesia-Kanada berjarak 12.878 km dan Indonesia-AS berjarak 14.952 km. Karena faktor tersebut akan memudahkan dalam pendistribusian gandum Australia ke Indonesia.

Konsumsi pangan berbasis tepung terigu semakin berkembang, seperti mie, roti, kue dan lain sebagainya. Dampak dari perubahan pola konsumsi dari masyarakat antara lain adalah meningkatnya permintaan terhadap produk olahan gandum. Selain untuk pangan, gandum dapat juga digunakan sebagai bahan baku obat-obatan, sedangkan jerami gandum untuk pakan. Ini menjadi tolak ukur bagi Indonesia untuk mengimpor gandum dari luar negeri karena mengingat tingginya tingkat konsumsi terigu dalam negeri.

Gandum sebenarnya bukan makanan pokok masyarakat Indonesia, tetapi dalam beberapa tahun terakhir perannya semakin penting. Perubahan kebiasaan konsumsi yang cepat dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah terhadap pangan berbasis gandum, khususnya mie instan dan roti, telah menyebabkan peningkatan impor terigu atau gandum, serta berkurangnya permintaan pangan yang berasal dari sumberdaya dalam negeri seperti ketela dan umbi-umbian lainnya. Perubahan kebiasaan konsumsi terus berlanjut, tetapi produksi gandum Indonesia tidak cukup untuk konsumsi dalam negeri.

Menurut Menteri Bada Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, impor gandum dapat dikurangi dengan memanfaatkan tepung singkong. “Itu bisa menghasilkan sejenis tepung tapioka pengganti gandum. Teknologi itu bisa dimodifikasi oleh BUMN seperti PT Sang Hyang Seri atau perusahaan lainnya di bidang pertanian,” jelasnya. Singkong dapat diolah menjadi modified cassava flour (mocaf) yang dapat menggantikan tepung berbahan gandum. (***)

Bagikan Artikel Ini