Beranda » Permasalahan Pemilu dari Masa ke Masa

Permasalahan Pemilu dari Masa ke Masa

Kerangka  hukum pemilu harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak bermakna lain, dapat dipahami dan terbuka, dan harus dapat menyoroti semua unsur sistem pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang demokratis. Mestinya kriteria tersebutlah yang menjadi panduan bagi pembuat undang-undang di Indonesia dalam membuat aturan yang akan menjadi dasar hukum penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Namun, tampaknya kriteria  soal penyusunan kerangka hukum pemilu tersebut masih jauh dari taraf ideal dalam pelaksanaannya di Indonesia. Hal itu terlihat dari seringnya undang-undang pemilu diganti. Inkonsistensi pengaturan antarsatu undang undang pemilu dengan undang-undang pemilu yang lainnya, sulitnya untuk melakukan penegakkan hukum yang menyangkut ketaatan peserta pemilu atas ketentuan peraturan perundang-undangan, maupun penindakan atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh peserta pemilu.

Bagaimanapun juga, demokrasi memerlukan kesabaran. Apa yang kita lalui saat ini tidak lantas harus membuat kita mundur dari sistem demokrasi yang sudah kita pilih dengan pemilu sebagai instrumen yang dipakai untuk memilih pejabat publik dari jalur politik di legislatif dan eksekutif. Hanya saja, proses demokratisasi dan konsolidasinya di Indonesia bisa berjalan lebih cepat dan lebih baik, sebab sudah banyak contoh dan benchmark dari dunia internasional yang bisa digunakan. Tanpa harus serta-merta terpaku pada hal itu semata-mata, karena tak ada sistem pemilu yang paling ideal bagi suatu negara, melainkan negara itu sendiri yang harus mencari yang cocok untuk diterapkan di negaranya.

Konsep demokrasilah  yang menjadi latar belakang dari dilaksanakan pemilu. Konsep demokrasi sangat berkaitan erat dengan konsep pemilu. Demokrasi sendiri diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang dimana bahwa kekuasaan tertinggi negara tersebut berada di tangan rakyat dan segala tindakan Negara ditentukan oleh rakyat.

Samuel P. Huntington mengatakan bahwasannya sebuah sistem politik sudah dapat dikatakan demokratis apa bila para keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil,jujur, dan berkala.pemilu merupakan salah satu sarana pelaksana kedaulatan rakyat yang berdasarkan pada demokrasi perwakilan.

Pemilu yang menjadi salah satu perwujudan dari demokrasi merupakan jalan yang telah diambil oleh bangsa ini dalam melakukan sirkulasi pemerintahan. Kemerdekaan Indonesia pada 17 agustus 1945 menjadikan Negara ini memulai babak baru dari kehidupan berbangsa dan bernegara.salah satu agenda pada masa  pemerintahanpresiden soekarno kala itu ialah melaksanakan pemilu dalam waktu dekat walaupun pemilu pertamanya baru terlaksana setelah sepuluh tahun dari kemerdekaan.

Pelaksanaan pemilu tidak selamanya berjalan sesuai dengan harapan.kehidupan politik pasca kemerdekaan turut mempengaruhi pelaksanaan pemilu.hingga saat ini pun Indonesia turut melaksanakan pemilu yang benar untuk kondisi yang sanagat plural.berbagai permasalahan pemilu dari masa ke masa merupakan catatan bagi pelaksanaan pemilu untuk kedepannya.

 

Setiap lima tahun sekali kita dihadapkan pada persoalan yang sama. Ada masalah daftar pemilih tetap dan pemilih siluman yang terus terjadi, penyederhanaan partai yang tak kunjung dilakukan, dan ada jual-beli maupun pencurian suara. Kita bahkan bisa masuk lebih dalam lagi, yaitu kualitas anggota DPR dan perilaku anggota DPR yang sangat memprihatinkan. Kita menyadari semua problema itu. Kita juga menyadari bagaimana solusinya. Namun kita membiarkannya berlalu begitu saja.

 

Pada satu sisi ada pihak-pihak yang merasa nyaman dengan situasi ini. Di sisi lain, tak cukup ada energi untuk memecahkannya. Akhirnya, juga tak ada lokomotif yang berani memimpin dan menanggung risiko. Ini bukan berarti tak ada orang baik. Juga bukan berarti tak ada orang yang memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni. Namun semua begitu egois, mereka hanya berjuang dan berputar di lingkungannya masing.

 

Pada titik lain, kebuntuan ini juga akibat terlalu kuatnya parlemen dan partai politik. Karena semua perubahan untuk memecah kebuntuan itu harus dilalui dengan perubahan peraturan perundangan, bahkan konstitusi. Tanpa ada dukungan parlemen dan partai politik maka semua harapan itu menjadi sia-sia. Semua hanya akan berhenti di atas kertas. Walau demikian, jika kita bicara dengan para politisi di parlemen maupun tokoh-tokoh partai kita juga akan mendapati tak homogennya pendapat. Sebagian mereka menyadari dan sependapat tentang keharusan adanya perbaikan dan kebutuhan untuk memecah kebuntuan. Hal ini menunjukkan adanya potensi untuk melakukan perubahan. Yang dibutuhkan adalah adanya tekanan publik agar mereka percaya diri dan yakin untuk melakukan tindakan.

 

Harus diakui, isu-isu kebuntuan yang dikemukakan di atas merupakan isu elitis. Hanya elite dan sebagian kelas menengah yang menyadari bahaya-bahaya tersebut. Isu-isu itu hanya bisa meraih dukungan publik akar rumput manakala bisa ditransformasi ke dalam isu perut dan hal-hal konkret lainnya. Atau manakala ada para pemodal yang memiliki cukup keberanian dan idealisme untuk menaburkan kesadaran publik dan untuk menggerakkan massa. Selain itu, hal itu juga membutuhkan adanya orang-orang yang mau bekerja merajut simpul-simpul kekuatan di masyarakat kita. Orang yang mau merajut jalinan di atas, tengah, dan bawah untuk bersimfoni pada lagu yang sama.

(***)

Sejak pemilu 1955 hingga saat ini, masyarakat Indonesia tersebar ke dalam beberapa simpul. Distribusi kekuatannya relatif menyebar. Tak ada kekuatan dominan. Hal ini terjadi secara sosial maupun secara politik. Sejak pemilu pertama itu, tak ada partai politik yang bisa meraih suara mayoritas mutlak. Yang ada hanyalah mayoritas minor. Yang tertinggi pernah diraih PDIP pada pemilu 1999 yang meraih sekitar 30 persen suara. Suara itu tak mencukupi sehingga tak bisa berbuat banyak. Secara sosial juga memperlihatkan betapa cairnya masyarakat kita. Selain itu, walau mayoritas berpenduduk muslim, tapi tak pernah partai berbasis muslim menang. Gabungan dua ormas Islam terbesar pun hanya mampu mengklaim ‘keanggotaan’ yang kurang dari separo penduduk Indonesia. Selebihnya adalah massa cair dan massa dari kelompok-kelompok yang lebih kecil lagi.

Tak hanya itu. Kecenderungan politik oligarkis juga membuat semuanya ‘mudah dikontrol’. Politik yang dikendalikan segelintir orang itu membuat kehidupan politik Indonesia tidak dinamis dan hanya mendukung kemapanan. Segelintir orang itu terdiri atas keluarga-keluarga politik tertentu, tokoh-tokoh politik tertentu, dan pengusaha-pengusaha maupun sindikasi pengusaha tertentu. Hal ini sangat terkait dengan penguasaan dan distribusi kue ekonomi Indonesia yang hanya dikuasai segelintir orang. Mereka akan sangat hati-hati dalam merespons isu perubahan. Mereka tentu tak ingin isu itu kemudian justru berbalik memukul mereka. Mereka, terutama pengusaha, lebih menginginkan stabilitas politik dan keamanan serta suasana berusaha yang fair dan nyaman. Karena itu isu perubahan, pertama-tama, harus bisa menjamin ‘keamanan’ posisi mereka.

Publik menginginkan demokrasi yang menjamin pelaksanaan etika politik dan subtansinya. Karena demokrasi sesungguhnya hanyalah alat, bukan tujuan. Jika tujuantujuan demokrasi tak bisa dicapai, maka pasti ada masalah dalam praktik demokrasi. Tujuan-tujuan demokrasi adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan keadilan hukum serta keadilan sosial.

Bagikan Artikel Ini