Beranda » Review Film Penyalin Cahaya: Penyintas Pelecehan Seksual yang Mencari Keadilan

Review Film Penyalin Cahaya: Penyintas Pelecehan Seksual yang Mencari Keadilan

Identitas Film

Judul Film: Penyalin Cahaya (Photocopier)

Jenis Film: Drama, thriller, misteri

Sutradara: Wregas Bhanuteja

Produser: Adi Ekatama, Ajish Dibyo

Penulis: Henricus Pria, Wregas Bhanuteja

Pemain: Shenina Cinnamon, Chicco Kurniawan, Lutesha, Jerome Kurnia, Dea Panendra, Giulio Parengkuan, Lukman Sardi, Ruth Marini, Mian Tiara, Landung Simatupang, Rukman Rosadi

Tanggal Rilis: 8 Oktober 2021 (Festival International Film Busan) dan 13 Januari 2022 (Netflix)

Sinopsis

Menceritakan seorang mahasiswi tahun pertama bernama Suryani yang menjadi korban pelecehan seksual. Hal tersebut berawal dari pesta perayaan kemenangan teater Mata Hari yang diikuti oleh Suryani, walaupun ia hanya menjadi sukarelawan untuk membuat web teater. Suryani pun datang ke pesta dengan para seniornya. Keesokan pagi, ia terbangun dengan kondisi tidak ingat apapun dan terpaksa harus kehilangan beasiswa karena foto dirinya mabuk telah tersebar di media sosial sampai pihak kampus dan donatur beasiswa. Suryani merasa ada sesuatu yang aneh setelah pesta tersebut, dan meminta tolong Amin, teman lamanya, untuk membantunya mencari tahu apa yang telah terjadi. Suryani dan Amin pun tinggal di tempat fotokopi dekat kampus, yang mana merupakan tempat Amin bekerja. Mereka berdua pun mencoba untuk menemukan kebenaran tentang swafoto Suryani yang mabuk dan tentang malam di pesta tersebut karena Suryani yakin dirinya merupakan salah satu korban dari perpeloncoan yang ada di dalam grup teater tersebut.

Hasil Review Film

Penyalin Cahaya (Photocopier) merupakan film yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja yang awalnya diriliskan untuk acara Festival International Film Busan pada Oktober 2021. Film ini memiliki keberanian tersendiri karena dirilis saat sedang ramai-ramainya kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.

Film ini menceritakan seorang perempuan bernama Suryani—dipanggil Sur—yang mengikuti sebuah kelompok teater di kampusnya, bernama teater Mata Hari. Pada pembukaan film, adegan yang ditampilkan ialah acara dari teater tersebut, yang melakoni tokoh-tokoh dewa mitologi Yunani. Pentas tersebut dibilang sukses, karena setelahnya mereka akan diberangkatkan ke Jepang untuk menayangkan pementasan tersebut.

Karena kesuksesan teater, mereka pun mengadakan pesta yang diselenggarakan di salah satu rumah anggota dengan dresscode kebaya untuk wanita dan kemeja untuk pria. Dalam pesta, mereka semua meminum alkohol. Awalnya, Sur menolak minuman tersebut, tetapi akhirnya ia luluh juga dan minum sebanyak 4 seloki.

Keesokan harinya, Sur berangkat ke kampus untuk tes beasiswa dengan menggunakan baju kebaya. Akan tetapi, pihak kampus memutus beasiswanya karena tersebar foto Sur yang tengah mabuk di sosial media. Sur yakin kalau ia dijebak. Sur yang merasa menjadi korban pun mencari tahu siapa yang tega menjebaknya sampai-sampai beasiswanya dicabut.

Sur pun meminta bantuan teman lamanya, Amin, untuk mencari siapa pelaku yang sebenarnya. Akan tetapi, pencarian tersebut tidaklah mudah. Pencarian yang sempat membuat gaduh anggota teater karena latihan mereka jadi terhambat karena masalah Sur.

Menurut penulis, film ini meminta kita untuk menerka-nerka mengenai kejadian apa yang sebenarnya metimpa Sur? Terlalu banyak teka-teki yang membuat penonton ikutan mencari tahu. Syukurlah Sur tidak kehabisan cara demi mengungkap pelaku sebenarnya.

Bukti demi bukti ia cari untuk keadilannya. Sur menyadari ada yang aneh dari salah satu bukti yang ia miliki, yaitu pada motif property yang dibuat oleh salah seorang anggota. Sur mengecek tubuh bagian punggungnya dengan cara membaringkan diri di atas mesin fotokopi tempat Amin bekerja. Merasa yakin kalau ia sudah dilecehkan saat pulang pesta, ia pun mengadu ke pihak kampus.

Sayang sekali, bukannya keadilan yang ia dapatkan, tetapi ia justru disudutkan oleh pelaku yang membawa pengacara. Setelah perdebatan yang menegangkan antara pihak korban dan pelaku, akhirnya Sur mengaku kalah. Ia membuat video klarifikasi permohonan maaf, yang bahkan video tersebut direkam oleh ayahnya sendiri.

Dari adegan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang punya kuasa lebih memiliki peluang untuk menang, sedangkan korban yang hanya menuntut keadilan, justru semakin tersudutkan. Bahkan, keluarga sendiri pun tidak selalu memihak korban—padahal seharusnya keluarga lah yang memberi dorongan kepada korban supaya tidak mau kalah dari pelaku dan melindungi korban tersebut.

Ada satu adegan yang memberikan suatu kesan bahwa korban pelecehan seksual bukan karena pakaiannya. Ayah Sur telah memperingati Sur untuk tidak berpakaian terlalu terbuka dalam pesta, sehingga Sur memakai kebaya dengan dalaman lengan panjang. Walaupun sudah berpakaian tertutup, Sur tetap dilecehkan oleh pelaku.

Jika menonton dengan seksama, semua yang tidak memihak korban mayoritas adalah pria. Mereka menganggap laporan yang dibuat Sur hanya mengada-ada dan efek sehabis mabuk, lalu pelaku yang sembunyi dibawah kekuasaan, ayah yang membungkam sang anak yang telah menjadi korban, bahkan supir taksi daring yang ternyata bekerja sama dengan pelaku.

Akan tetapi, yang harus membuat kita sadar adalah bahwa korban pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada wanita saja. Film ini membuktikan bahwa ada juga pria yang menjadi korban pelecehan seksual itu sendiri. Ia juga tidak berani untuk mengungkap perlakuan keji dari pelaku, karena ia sangat menyayangi teater Mata Hari yang telah menjadi pelariannya selama ini.

Ibu Sur mendukung perbuatan Sur setelah mengetahui anaknya ini difitnah setelah mendapat perlakuan tidak terhormat oleh pelaku dan pihak kampus. Sur dibawa ke rumah teman ibunya dan menginap di sana. Saat itu, dua korban mendatangi Sur dan mengajaknya untuk mencari bukti lain yang mungkin masih tertinggal. Ketika bukti sudah terkumpul dan Sur hendak melaporkan ke pihak berwajib, lagi-lagi suara korban pelecehan seksual harus terbungkam.

Sepanjang film, entah apa yang dipikirkan oleh penulis naskah, karena terlalu banyak adegan fogging demam berdarah pada sepanjang film. Sangat membuat tidak nyaman, karena adegan itu cukup menyesakkan. Peringatan “menguras, mengubur, menutup” yang dikumandangkan sepanjang fogging berlangsung ternyata memiliki makna tersendiri. Peringatan tersebut ialah bukti bahwa korban yang sudah menguras seluruh tenaga dan berupaya untuk mengumpulkan bukti, terpaksa harus mengubur bukti-bukti tersebut dan menutupnya. Korban dibuat tidak berdaya karena bukti-bukti tersebut telah hilang.

Akan tetapi, dibalik film yang terbilang sukses karena mendapatkan penghargaan sebanyak 12 piala citra FFI 2021 itu justru memiliki masalah pada salah satu penulisnya, yang ternyata adalah pelaku kekerasan seksual. Kasus ini terungkap beberapa hari sebelum film resmi tayang pada FIIB. Hal ini seharusnya bisa menjadi pembelajaran apabila ingin melangsungkan proyek film dengan tema kekerasan seksual, harus dijabarkan juga apakah kru yang berpartisipasi pernah melakukan hal tersebut atau tidak.

Kesimpulan

Penyalin Cahaya (Photocopier) merupakan film yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja yang awalnya diriliskan untuk acara Festival International Film Busan pada Oktober 2021. Film ini memiliki keberanian tersendiri karena dirilis saat sedang ramai-ramainya kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.

Isu yang diangkat memang sedang ramai diperbincangkan, yaitu maraknya kekerasan seksual yang terjadi di tanah air. Ada beberapa korban yang memang ingin mendapatkan keadilan, tetapi harus terkalahkan oleh kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku. Sehingga suara yang dibuat oleh penyintas pelecehan seksual menjadi terkubur dan hilang begitu saja.

Padahal, jika ditelusuri dengan serius, bisa saja hal tersebut akan membuat korban berani dan pelaku akan jera, sehingga meminimalisir kejadian serupa. Harus diadakan pengawasan yang ketat, terlebih jika korban masih menjadi pelajar atau mahasiswa yang dibawah sistem akademi.

Pelecehan seksual tidak memandang jenis kelamin, entah perempuan atau laki-laki pun bisa saja menjadi korban. Target pelecehan seksual itu sendiri juga bukanlah berasal dari pakaian yang dikenakan oleh korban, jadi stigma menyalahkan korban atas pakaian yang dikenakan ini seharusnya tidak ada.

Korban pelecehan seksual harus mendapatkan pendampingan, entah dari keluarga ataupun pihak-pihak yang secara khusus menangani hal ini. Akan tetapi, jelas yang menjadi baris terdepan dalam perlindungan ialah keluarga. Jika keluarga tidak memberikan perlindungan, apa nasib korban?

Film Penyalin Cahaya (Photocopier) ini sebenarnya memberikan kesimpulan yang dapat diambil sesuai dengan persepsi masing-masing penonton. Film yang menyuarakan korban yang kelimpungan mencari bukti-bukti supaya dapat keadilan ini adalah bentuk representasi dari kejadian yang tengah marak saat ini. Karena genrenya cukup berat, film ini harus ditonton dengan seksama supaya mengerti apa makna dari film ini.

Film Penyalin Cahaya (Photocopier) sendiri sudah resmi rilis pada tanggal 13 Januari 2022 dan sudah bisa ditonton oleh seluruh masyarakat pada aplikasi Netflix.

Sumber Referensi:

  • https://id.wikipedia.org/wiki/Penyalin_Cahaya
Bagikan Artikel Ini