Beranda » Membangun Ketahanan Pangan di Provinsi Banten

Membangun Ketahanan Pangan di Provinsi Banten

PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009 DENGAN PENGUATAN WHOLE OF GOVERNMENT

“Mengoptimalkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi dalam upaya Pengendalian LPPB sesuai UU 41 Tahun 2009 sebagai wujud dukungan Pertahanan Keamanan Bidang Pangan di Provinsi Banten”

Ketahanan pangan terwujud apabila secara umum telah terpenuhi 4 (empat) aspek sekaligus. Pertama adalah tersedianya pangan yang cukup dan merata untuk seluruh penduduk. Kedua, setiap penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi guna menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari. Ketiga, pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi individu. Keempat, Pembangunan ketahanan pangan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat secara adil merata baik jumlah maupun mutu gizinya. Dimensi pembangunan ketahanan pangan sangat luas dan bersifat lintas sektor dengan pendekatan lintas disiplin. Ketahanan pangan merupakan prasyarat dasar yang harus dimiliki oleh suatu daerah termasuk desa yang sekarang kewenangannya sudah diperluas dengan adanya UU Desa.

Pertanyaan awal penulis adalah mengapa ketahanan pangan penting bagi suatu Daerah bahkan suatu Negara ? Mengapa ketahanan pangan merupakan nilai strategis yang paling utama bagi suatu Daerah atau Negara ? Pastinya, pertahanan pangan memang sangat penting, karena mendukung pertahanan keamanan. Jadi, bukan saja sebagai komoditi ekonomi, tapi pangan merupakan komoditi yang memiliki fungsi sosial dan politik, baik nasional maupun global. Untuk itulah, ketahanan pangan mempunyai pengaruh yang penting terhadap keamanan, dan sangat berkorelasi dengan pertahanan keamanan suatu Daerah atau Negara.

Kita semua tahu, bahwa pangan adalah hal pokok bagi kehidupan manusia, apalagi di saat pandemi seperti sekarang ini. Mustofa (2012) sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefenisikan bahwa: “Ketahanan pangan rumah tangga (household food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari”. Mentan RI juga menyampaikan pada Sidang ke-42 Konferensi FAO FAO yang diselenggarakan secara daring pada 14 – 18 Juni 2021 bahwa “transformasi sistem pertanian pangan di Indonesia dilakukan dengan mengedepankan prinsip-prinsip orientasi lokal, kolaboratif, tangguh, dan berkelanjutan”. Bagaimana dengan Provinsi Banten ?

Provinsi Banten masih merupakan lumbung pangan di Indonesia, namun untuk keberlanjutannya perlu ada langkah-langkah strategis dalam upaya dukungan kearah pertahanan keamanan dengan sektor ketahanan pangan. Ada beberapa aspek dalam ketahanan pangan di Provinsi Banten yang sangat penting harus mampu dikendalikan, antara lain :

  • Tersedia panganyang cukup, aman, dan bergizi berasal dari pangan lokal stok masyarakat dan impor.
  • Distribusi stabil. Pangantersedia bagi rumah tangga sepanjang waktu dan di mana saja.
  • Keterjangkauan oleh masyarakat berpenghasilan rendah untuk memperoleh pangan, konsumsi pangan dan kecukupan pangan

Hal ini berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 18 tahun 2012, yang mengadopsi definisi dari FAO, bahwa ada 4 faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan atau 4 (empat) komponen, yaitu: kecukupan ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan, aksesibilitas terhadap pangan serta kualitas/keamanan pangan.

Berikut gambaran keterkaitan komponen ketahanan pangan terhadap dukungan pertahanan keamanan dan kesejahteraan masyarakat untuk tujuan meningkatnya perekonomian banten melalui kecukupan pangan dan energi, serta pengembangan sumber daya alam yang memberikan solusi terhadap pengangguran dan kemiskinan  sesuai dari Misi ke-5 Meningkatkan kualitas pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Upaya pencapaian Banten Yang Maju, Mandiri, Berdaya Saing, Sejahtera dan Berakhlakul Karimah salah satunya termandat dalam Misi ke-5, Meningkatkan kualitas pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Dimana tujuan Misi ke-5 yaitu meningkatnya perekonomian banten melalui kualitas pengelolaan keuangan, kecukupan pangan dan energi, pengembangan sumber daya alam yang memberikan solusi terhadap pengangguran dan kemiskinan.

Untuk pencapaian tersebut sudah tertuang dalam beberapa isu strategis Bappeda Provinsi Banten yaitu diantaranya :

  1. Belum optimalnya koordinasi, sinkronisasi, komunikasi vertikal dan horisontal dalam rangka penyusunan perencanaan;
  2. Belum optimalnya kualitas hasil monitoring dan evaluasi program/kegiatan pembangunan sebagai dasar penyusunan perencanaan yang akan datang;
  3. Belum optimalnya penggunaan hasil penelitian dan pengembangan untuk mendukung pelaksanaan perencanaan pembangunan.

Tujuan yang akan dicapai oleh Bappeda Provinsi Banten Tahun 2017-2022 berdasarkan rumusan Misi Bappeda Provinsi Banten Tahun 2017-2022  yaitu meningkatkan kualitas kinerja perencanaan, pengendalian, evaluasi pembangunan, data serta penelitian dan Pengembangan yang sesuai dengan perumusan strategi dan arah kebijakan, program prioritas dan kegiatan secara terukur, jelas dan tepat sasaran;

Dinas Ketahanan Pangan memiliki tugas pokok antara lain MERUMUSKAN :

  • Program dan kegiatan, mengorganisasi, melaksanakan, mengendalikan dan mengevaluasi BIDANG KETAHANAN PANGAN
  • Penyelenggaraan kegiatan Dinas Ketahanan Pangan dan mengoordinasikan;
  • Penyelenggaraan koordinasi kegiatan dinas/badan/biro dengan unit kerja terkait;
  • Pelaksanaan pengawasan, evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan Dinas Ketapang;
  • Pelaksanaan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi dalam tusi;

Hal tersebut didukung pula “Pengendalian ketahanan pangan” oleh Dinas Pertanian sebagai salah satu fungsi dari tugas pokoknya, sedangkan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Banten terkait dukungan untuk ketahanan pangan salah satunya menyelenggarakan fungsi Pengembangan dan pengelolaan sisten irigasi primer dan sekunder pada derah irigasi yang luasnya 1000 ha-3000 ha, dan daerah irigasi lintas Daerah Kabupaten/Kota.

Diharapkan keempat OPD tersebut mampu optimal dalam menggerakan seluruh kekuatannya untuk melakukan tugas dan tanggungajwab dalam upaya pencapaian ketahanan pangan. Namun, ada hal yang harus diperhitungkan dan lakukan kebijakan kongkrit yaitu beberapa beberapa faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan, seperti  ketersediaan dan pengendalian lahan, kesiapan infrastruktur pertanian dan kelautan, inovasi dan peningkatan teknologi, tingkat keahlian pertanian dan kelautan, energi, dana, lingkungan fisik atau iklim, relasi kerja, dan ketersediaan input lainnya.

Indonesia pernah menjadi Negara swasembada, ketika kondisi alam Indonesia yang subur dan banyak lahan pertanian produktif belum dimanfaatkan seutuhnya dan belum tersentuh oleh kebijakan-kebijakan yang memudahkan mengkonversi lahan atau menggusur lahan pertanian produktif untuk berbagai pembangunan (permukiman, jalan, gudang-gudang, industry, dll.). 7 (tujuh) tahun sudah upaya pembangunan infrastruktur yang masif telah mengkonversi Lahan Pertanian Produktif Berkelanjutan (LPPB) yang sebenarnya sangat dilindungi oleh UU.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang  Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) yang berlaku mulai tanggal  14 Oktober 2009 menyatakan dalam Pasal 3 UU 41/2009 bahwa UU ini dibuat dengan tujuan antara lain : melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Adanya UU Cipta Kerja makin menguatkan upaya pengendalian LPPB oleh Pemerintah, namun memang masih ada “celah” suatu kelemahan dalam peluang dan kesempatan bagi Bangsa Indonesia untuk kembali meraih swasembada pangan jika pemerintah (antar lembaga/instansi) kurang saling bekerjasama, berkordinasi, berkomitmen, pemerintah dengan rakyat Indonesia untuk saling mendukung dalam mencapai swasembada pangan dalam negeri.

Selain itu. hadirnya produk impor (beras, garam, kedelai, buah-buahan, sayur mayor, dll)  membuat petani kita semakin menjerit, meski jeritannya tidak sekeras yang memperdebatkan beras impor dimedia dan tidak seberat beban petaninya. Petani menjerit karena kalah saing dengan produk impor yang harganya lebih murah jika dibandingkan dengan harga produk dalam negeri, selain karena faktor-faktor produksi seperti benih, pupuk, yang dijual didalam negeri sangat mahal, sehingga petani pun hanya akan mendapat keuntungan apabila menaikkan harga jualnya. Kini, meski Presiden telah mengatakan tidak ada impor sepanjang 2021 (Juni 2021), tetapi kondisi masyarakat petani tetap tidak berubah lebih baik.

Olerh karena itu, sangat diperlukan kebijakan pemerintah (Pusat dan Daerah) dalam mengelola hubungan berbagai institusi/ lembaga untuk lebih terkoordinasi dan berkomitmen dalam membangun percepatan ketersediaan lahan pertanian dan ketersediaan air untuk mencapai swasembada pangan, mengingat masalah pangan sampai hari ini yang tidak kunjung tuntas. Suatu negara atau Daerah dikatakan berhasil apabila mampu memebuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri, yaitu pangan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengendalikan konversi lahan pertanian (LPPB) dan penguatan organisasi antar lembaga/instansi baik Pemerintah Pusat maupun Daerah melalui pendekatan Whole of Government untuk mewujudkan kedaulatan pangan dengan kemandirian pangan agar tetap terciptanya ketahanan pangan di Provinsi Banten khususnya dan Indonesia pada umumnya..

Landasan Hukum Perlindungan Lahan Pertanian dalam rangka menjaga produktivitas pangan sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang  Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) yang berlaku mulai tanggal  14 Oktober 2009. Pasal 3 UU 41/2009 menyatakan bahwa UU ini dibuat dengan tujuan:

(a)   melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;

(b)   menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;

(c)   mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan;

(d)   melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani;

(e)   meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat;

(f)   meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani;

(g)   meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak;

(h)   mempertahankan keseimbangan ekologis; dan

(i)    mewujudkan revitalisasi pertanian.

Saat ini, hampir seluruh daerah mengalami konversi lahan pertanian (produktif) dengan kondisi irigasi teknis dan non teknis yang masih baik, dan sudah berubah menjadi bangunan permukiman, perdagangan dan industry, serta gudang-gudang, tanpa ada pertanggungjawaban seluruh pihak (lembaga/instansi) maupun para stakeholder terkait hal-hal yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009. Provinsi Banten yang memiliki lahan produktif pertanian dan potensi kelautan tersebar di Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang masih baik, sehingga perlu dijaga (dikendalikan konversi LPPB) dengan serius.

Apabila tidak dikendalikan mulai dari sekarang, maka beberapa potensi dari dampak Pembangunan Infrastruktur yang tidak berlandaskan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009, berpotensi pada risiko :

  1. dampak negatif lain akibat konversi lahan lahan sawah merupakan akibat lanjutan dari rusaknya ekosistem sawah;
  2. pendapatan petani dan nelayan akan semakin sedikit dan bahkan hilang, dan akan mengalami kesulitan untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya;
  3. terjadi pula perubahan budaya dari masyarakat agraris ke budaya urban;
  4. peningkatan kriminalitas berbanding lurus dengan urban. Potensi kriminalitas pada hakekatnya juga merupakan biaya sosial yang harus ditanggung oleh komunitas yang bersangkutan, maka hal itu berarti net social benefit (perlu suatu penelitian yang secara komprehensif mengkaji persoalan ini);
  5. kebutuhan pangan cenderung terus bertambah, potensi risiko subsidi beras semakin anjlok drastis, potensi kerawanan pangan;
  6. kekurangan produksi pangan dalam negeri bukan isu besar sejauh negara memiliki kemampuan mengimpor pangan dalam jumlah yang memadai. tetapi ini menjadi masalah
  7. dalam konteks ini konsep ketahanan pangan (food security) maupun yang menjadi konsep kedaulatan pangan (food sovereignity) yang menjadi andalan tujuan pembangunan kesejahteraan rakyat hanya bak pungguk merindukan bulan, hanya sebatas mimpi.
  8. aset prasarana dan sarana infrastruktur sumber daya air (irigasi teknis, jaringan op irigasi, dll) diperkirakan sudah ratusan triliun sejak tahun 1980an yang sudah terinvestasi menjadi terbuang percuma (tidak manfaat)

Sangatlah jelas, bahwa ketersediaan lahan dan air akan sangat menentukan ketahanan pangan dan energi di masa depan. Menyelamatkan LPPB dan sumber daya air (konservasi SDA), serta melakukan upaya penyelamatan hutan sebagai sumber-sumber kehidupan sekaligus sebagai sumber mata air serta menjaga keberlanjutan dan ketahanan pangan adalah upaya untuk mewujudkan Banten yang Maju, Mandiri, dan Berdaya Saing sekaligus mampu mensejahterakan masyarakatnya.

Untuk mendorong pencapaian ketahanan pangan dan pengendalian LPPB sebagai keterkaitan beberapa lembaga/instansi di atas, penulis mengutip pendapat Shergold (2004: 11) mendefinisikan “Whole of Government sebagai pelayanan publik oleh pemerintah yang berkerja lintas batas untuk mencapai tujuan bersama dan memberikan tanggapan terpadu terhadap isu-isu tertentu”. Pendekatan yang diambil bisa pendekatan formal maupun pendekatan informal. Whole of Government dapat dapat memberikan layanan pemerintah yang berkualitas bagi masyarakat, Pemerintah (Pusat dan Daerah) atau Negara, serta memastikan bahwa pekerjaan yang diemban oleh aparatur pemerintahan dapat berjalan efektif dan efisien, terutama untuk tujuan ketahanan pangan.

Bagikan Artikel Ini