Beranda » Remaja, Penguasa, Hingga Peran Mahasiswa

Remaja, Penguasa, Hingga Peran Mahasiswa

Indonesia dengan keanekaragaman budaya, agama, ras, dan adat istiadat menjadikannya masyhur dikalangan penduduk dunia. Indonesia memiliki semburat cahaya yang istimewa mampu membuat negara lain terkagum-kagum akan keindahannya. Semburat cahaya itu tidak hanya terpancar dari beragamnya budaya, agama, ras, dan adat istiadatnya, melainkan juga karena keindahan alamnya yang sangat mempesona.

Namun dibalik citra baik yang terpancar terselubung keburukan yang kian berkembang. Berbagai kasus ikut berperan dalam panggung sandiwara di negri ini.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser Indonesia lewat merek alat kontrasepsi Durex terhadap 500 remaja di kota besar di Indonesia menemukan 33% remaja pernah melakukan seks penetrasi. Dan hasil tersebut 58% melakukan penetrasi diusia 18 sampai 20 tahun. Selain itu, para peserta survei ini adalah mereka yang belum menikah (liputan6.com).

Sedangkan remaja korban narkoba mencapai 1,1 juta atau 3,9%. Data tersebut diambil pada tahun 2008, dengan mengambil sampel di 33 provinsi di Indonesia. Data Pusat Pengendalian Gerakan Sosial DKI Jakarta menyebutkan pelajar SD, SMP, dan SMA yang terlibat tawuran 0,08% atau sekitar 1.318 dari total 1.647.835 di DKI Jakarta, bahkan 26 siswa meninggal dunia (p2kk.umm.ac.id).
Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Sungguh sangat memprihatinkan, kasus-kasus itu kian lama kian menjamur di negri ini. Seusia remaja yang seharusnya menempa dan membentuk diri menjadi lebih baik dan lebih produktif malah merusak diri dengan berbagai kasus pelanggaran.

Tanggung jawab sebagai remaja penerus perjuangan bangsa kian dilupakan begitu saja. Gemerlap dunia telah menghipnotisnya hingga tak sadar telah melakukan pelanggaran. Sifatnya yang masih labil dan rasa penasarannya yang tinggi membuatnya ingin mencoba berbagai hal, tak peduli hal apapun itu.

Tidak berhenti pada kasus para remaja, bahkan sebagian penguasa yang dipercaya memimpin bangsa malah melakukan tindakan-tindakan yang menyeleweng dari aturan. Janji-janji manis yang diucapkan tidak segera direalisasikan, seakan-akan menunda hingga habis masa jabatan. Aturan perundangan-undangan hanya sekedar wacana tertulis untuk menyembunyikan identitas asli yang tersemat dalam diri. Korupsi, kolisi, dan nepotisme terus meregenerasi dan menjadi parasit di dalam negri. Pengakuan mereka sebagai serorang yang pancasilais dan memegang teguh agama hanya sekedar sesumbar belaka.

Nyatanya kehidupan rakyat menderita dan penguasa semakin sejahtera. Bukankah seharusnya tugas mereka mensejahterakan rakyat? Tapi mengapa malah seakan-akan menyengsarakannya. Hak yang seharusnya diberikan kepada rakyat yang membutuhkan malah dicuri untuk kepentingan pribadi. Padahal bagian-bagiannya telah ditentukan mana untuk penguasa mana untuk rakyat.
Hal diatas dapat dibuktikan dengan hasil rilisan lembaga swadaya masyarakat anti korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) yang melaporkan Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester 1 tahun 2021.

Berdasarkan data yang dikumpulkan ICW, jumlah penindakan kasus korupsi selama 6 bulan awal tahun 2021 mencapai 209 kasus. Jumlah itu naik dibandingkan periode yang sama ditahun sebelumnya sebesar 169 kasus (data.tempo.co). Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jumlah ini hanya menurun tipis 0,01 juta orang dibandingkan September 2020. Namun jika dibandingkan pada Maret 2020 jumlah penduduk miskin naik 1,12 juta orang (kompas.com).

Fenomena-fenomena yang terjadi mulai dari kasus remaja hingga penguasa tidak lain disebabkan karena kemunduran moral yang terjadi diberbagai kalangan. Jika kita lihat sekarang berbagai media menayangkan bagaimana krisis moral semakin merajalela baik dari kalangan remaja maupun pejabat. Untuk mengatasinya peranan mahasiswa sangat dibutuhkan. Mahasiswa sebagai maha dari siswa sekaligus agen perubahan dan social cotrol telah terpikul dipundaknya untuk menciptakan perubahan dalam berbagai bidang. Salah satunya yaitu mengatasi degradasi moral. Semua masyarakat tentu tidak ingin melihat moral bangsa ini rusak.

Terlebih para pahlawan yang telah mendahului kita, mereka telah mengerahkan seluruh tenaga, pikiran, dan tenaga untuk berjuang melawan bengisnya penjajahan. Lalu tegakah kita sebagai generasi penerus yang tinggal menikmati kemerdekaan menyia-nyiakan bahkan menghancurkanya? Betapa hinanya jika kita tega merusak kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan.

Mahasiswa sebagai gelar baru yang tidak didapatkan oleh semua orang. Hanya orang-orang tertentulah yang dapat merasakan hiruk pikuknya mahasiswa. Keistimewaan yang telah disandang tentunya bukan hanya sekedar nama besar saja. Tetapi tindakan yang dilakukan juga harus membawa perubahan besar bagi negara ini. Mahasiswa yang konon sebagai harapan masyarakat yang begitu dibanggakan harus memiliki kerja nyata yang tak hanya sekedar wacana.

Mahasiswa dituntut untuk mengontrol keadaan negara bukan hanya sebagai pengkritik tetapi harus berkontribusi nyata untuk melakukan perubahan bagi bangsa kearah yang lebih baik. Sebagai kaum intelektual mahasiswa dituntut untuk berani mendobrak zaman kearah kemajuan dan berfikir kritis terhadap kebijakan para pemegang roda pemerintahan. Upaya kritis tidak melulu malakukan aksi demo yang anarkis bakar ban dan merusak fasilitas umum. Karena hal tersebut malah akan membuat negara rugi besar. Bukankah niat awal kita memperjuangkan kebenaran? bukan menambah kerusakan atau bahkan menciptakan kerugian. Sebagai mahasiswa kita bisa melakukan kritik yang positif dengan cara menulis, bermusyawarah, atau dengan demon yang tidak menimbulkan kerugain dan kerusakan.

Maka dari itu kita sebagai generasi penerus dan harapan bangsa harus terus belajar menambah pengalaman dan pengetahuan untuk memperkokoh pondasi dalam mengoptimalkan peran mahasiswa sebagai agent of change dan sosial control yang baik dan berkualitas.

Bagikan Artikel Ini