Beranda » Pertunjukan Monolog Perempuan Dangdut oleh Teater Syahid dalam Parade Monolog Perempuan 2020

Pertunjukan Monolog Perempuan Dangdut oleh Teater Syahid dalam Parade Monolog Perempuan 2020

Sumber Foto : Dokumentasi Penulis

Menurut Sumardjo dalam buku Seni Pertunjukan Indonesia (2001:2), seni pertunjukan adalah kegiatan di waktu senggang yang berarti kegiatan di luar jam-jam kerja mencari makan. Selain itu masih dalam buku yang sama, seni pertunjukan pun berbeda dengan cabang-cabang seni yang lain. Sebab, seni pertunjukan bukanlah seni yang membenda. Sebuah seni pertunjukan dimulai dan selesai dalam waktu tertentu dan tempat tertentu pula, sesudah itu tak ada lagi wujud seni pertunjukan.

Sedangkan kritik seni sendiri adalah kegiatan menanggapi karya seni untuk menanggapi kelebihan dan kekurangan suatu karya seni. Salah satu keterangan kelebihan dan kekurangan ini untuk menilai kualitas dari sebuah karya. Fungsi utama dari kritik seni adalah menjembatani persepsi dan apresiasi karya seni antara seniman, karya dan penikmat seni.
Teater Syahid adalah Unit Kegiatan Mahasiswa yang berada di bawah naungan keluarga besar mahasiswa (KBM) UIN Jakarta. Berdiri pada tanggal 17 oktober 1988 atas prakarsa beberapa aktivis mahasiswa yang eksis di lembaga kesenian ekstra kampus. Hingga saat ini sudah banyak sekali karya pementasan yang dilahirkan oleh Teater Syahid UIN Jakarta ini. Pada tahun 2020 lalu, Teater Syahid mengadakan pementasan online dan menamakan acara ini dengan Parade Monolog perempuan, dalam pementasa secara virtual ini Teater Syahid menayangkan tiga pentas monolog sekaligus diantaranya : Perempuan obrak-abrik karya Rian Harahap, Perempuan di titik nol adaptasi dari novel Nawal El Sadawi, dan perempuan dangdut karya Putu Fajar Arcana.

Dalam kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan banyak sekali apresiasi kepada para pekerja seni pertunjukan dalam Teater Syahid ini, pasalnya sebuah kritik bukan hanya untuk menyorot suatu kekurangan, melainkan manfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan khasanah seni, juga dapat memacu kreatifitas seniman dan meningkatkan daya apresiasi khalayak luas. Diantara tiga judul monolog dalam parade monolog perempuan, disini penulis ingin mengkaji satu judul yaitu Perempuan dangdut karya Putu Fajar Arcana, dengan sutradara Rusydi Jamil Fiqri.
Liza Sasya adalah gadis polos dari pantai utara (Pantura) Jawa, yang merantau ke ibukota Jakarta atas bujukan seorang anggota dewan, dia bersedia menjadi simpanan karena dijanjikan akan melakukan rekaman album yang tak kunjung diakukan. Liza bahkan rela tinggal di kos-kosan sempit yang jauh dari ekspektasinya ketika di kampung dulu. Putu Fajar Arcana telah menghadirkan sebuah naskah monolog yang menggambarkan isu korupsi dan perempuan yang memiliki banyak amanat dan pesan moral melalui karakter tokoh liza yang memiliki tujuan hidup membahagiakan orangtuanya serta mengharumkan nama desanya.

Dalam pementasan monolog tersebut Teater Syahid telah menghadirkan Properti yang pas sebagai pendukung berjalannya pentas, yaitu gerobak dorong seorang biduan dangdut dengan sound system dan microphone untuk bernyanyi, mengenai kostum yang digunakan oleh pemeran dapat dikatakan cukup sesuai menggambarkan seorang biduan dangdut, lagu dangdut dan gerak tubuh pemeran juga dapat dikatakan sesuai dan cukup bagus. Alur pementasan telah tersusun dengan cukup baik dan dapat dipahami.

Namun pemeran Liza dalam monolog perempuan dangdut produksi Teater Syahid ini menurut penulis masih sedikit kurang dalam ekspresi dan penyampaian monolognya, penulis mengambil kesimpulan bahwa tokoh Liza merupakan perempuan yang dapat mengatakan apapun tanpa beban, namun pemeran dalam Teater Syahid ini telah menghadirkan kesan terlalu tergesa-gesa saat menyampaikan monolognya, ekspresi yang terlalu dibuat-buat memberikan kesan kurang natural dan terlalu mengingat-ingat naskah.

Pertunjukan Monolog Perempuan dangdut produksi Teater Syahid ini memberikan penampilan seni pertunjukan yang sangat baik, sesuai dengan unsur-unsur seni pertunjukan, serta sebagai ajang menjadikan perempuan harus mendapat hak yang setara, selain itu memberikan banyak sekali pesan positif terhadap penonton dan juga pemeran salah satunya adalah isu korupsi dan kesetaraan gender yang masih kerap kali terjadi di negeri ini.
Semoga apresiasi seni ini menjadi pemicu untuk semangat membuat karya-karya terbaik pada pementasan selanjutnya, yang dapat memajukan dunia seni pertunjukan, khususnya drama di ranah seni Indonesia.

Bagikan Artikel Ini