Perawat, Teknologi, dan Urgensi Menekan Beban Out of Pocket Pasien BPJS

Perawat, Teknologi, dan Urgensi Menekan Beban Out of Pocket Pasien BPJS

Oleh: Tri Murti Sanjayani
Mahasiswa Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Maju

Di tengah derasnya wacana tentang keberlanjutan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), satu faktor krusial sering luput dari sorotan: peran strategis perawat. Kita berbicara tentang iuran BPJS, defisit anggaran, atau mahalnya layanan kesehatan, tetapi jarang menempatkan perawat sebagai aktor kunci dalam menekan beban out of pocket (OOP) pasien—pengeluaran pribadi yang sering menjadi beban tersembunyi keluarga Indonesia.

Padahal, perawat adalah tenaga kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat. Mereka mendampingi pasien sejak awal menderita keluhan, memantau dari hari ke hari, dan memahami pola kesehatan pasien lebih mendalam dibanding profesi kesehatan lainnya. Karena itu, perawat justru memiliki “ruang intervensi” terbesar dalam mencegah penyakit memburuk, mengurangi kunjungan yang tidak perlu, dan menghindarkan pasien dari biaya yang harus dibayar dari kantong sendiri.

OOP bukan sekadar istilah teknis. Ia adalah pukulan nyata yang dialami pasien ketika obat yang diresepkan ternyata tidak masuk formularium, ketika harus membayar selisih biaya naik kelas perawatan, ketika klaim ditolak akibat rujukan tidak prosedural, atau ketika keluarga harus bolak-balik ke rumah sakit dengan biaya transportasi yang tidak sedikit. Banyak peserta BPJS yang merasa sudah terlindungi, namun tetap menanggung biaya yang besar. Kondisi ini bukan sekadar masalah medis; ini masalah ekonomi keluarga.

Justru di sinilah peran perawat menjadi sangat strategis. Ketika perawat melakukan edukasi preventif yang baik, penyakit bisa dicegah sejak dini. Ketika perawat memastikan rujukan sesuai prosedur, klaim tidak akan ditolak. Ketika perawat membimbing pasien menggunakan obat yang sesuai formularium, maka tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan. Semua intervensi ini tampak sederhana, namun dampaknya nyata pada pengurangan OOP.

Namun, untuk memperkuat peran ini, perawat membutuhkan alat. Salah satu inovasi yang hadir menjawab kebutuhan tersebut adalah SiPekaNers (Sistem Informasi Pelayanan Keperawatan Akses Cepat). Teknologi ini bukan sekadar digitalisasi pencatatan keperawatan, tetapi sebuah sistem yang memungkinkan perawat melakukan deteksi dini, edukasi terstruktur, pemantauan pasien, hingga navigasi rujukan secara cepat.

Dengan SiPekaNers, peran perawat meluas dari sekadar pemberi perawatan menjadi konsultan kesehatan yang mengarahkan pasien agar tidak tersandung birokrasi BPJS atau salah mengikuti alur rujukan. Sistem ini juga membantu perawat memastikan penggunaan obat yang ditanggung BPJS, menghindari pembelian obat non-formularium yang memberatkan pasien. Inovasi seperti ini mengubah paradigma pelayanan kesehatan: dari reaktif menjadi preventif, dari manual menjadi digital, dari kuratif menjadi promotif.

Dampaknya tidak hanya dirasakan pasien, tetapi juga negara. Semakin sedikit kasus komplikasi dan kunjungan berulang, semakin rendah beban pembiayaan BPJS. Dalam jangka panjang, inovasi perawat dapat memperkuat ketahanan fiskal JKN. Sayangnya, peran ini belum cukup mendapat ruang dalam strategi nasional. Perawat masih sering diposisikan sebagai pelaksana teknis, bukan inovator yang mampu mengubah wajah layanan kesehatan.

Indonesia membutuhkan perubahan perspektif. Investasi pada inovasi keperawatan bukan sekadar peningkatan kualitas layanan, melainkan strategi ekonomi kesehatan. Perawat yang dibekali teknologi mampu menghemat biaya negara, mencegah pengeluaran pribadi pasien, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara luas.

Dalam konteks transformasi sistem kesehatan nasional, perawat harus diberi panggung lebih besar. Sistem seperti SiPekaNers perlu dikembangkan secara nasional, bukan hanya sebagai inisiatif lokal atau proyek internal. Pemerintah, BPJS Kesehatan, dan fasilitas layanan kesehatan harus melihat inovasi ini sebagai bagian integral dari strategi menekan OOP dan memastikan keberlanjutan JKN.

Sudah saatnya kita mengakui bahwa solusi untuk mahalnya biaya kesehatan tidak hanya ada pada regulasi, infrastruktur, atau alat medis mahal. Salah satu solusinya justru berada pada profesi yang selama ini bekerja senyap: perawat. Mereka adalah garda terdepan yang, dengan dukungan teknologi, bisa menjadi penentu masa depan sistem kesehatan yang lebih adil, terjangkau, dan berkelanjutan.

Bagikan Artikel Ini