Beranda » Pemahaman Tindak Tutur dan Ucapan dalam Masyarakat Jawa

Pemahaman Tindak Tutur dan Ucapan dalam Masyarakat Jawa

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat berdasarkan tingkat penuturnya. Dalam Bahasa Jawa terdapat unggah-ungguh yang digunakan oleh masyarakat sebagai pedoman dalam bertutur kata. Secara garis besar, Bahasa Jawa memiliki tingkatan yakni ngoko, madya dan krama. Setiap tingkatan memiliki fungsi yang berbeda berdasarkan situasi dan kondisi yang berlangsung dalam masyarakat.

Metode yang digunakan ialah metode deskriptif. Simpulan dari penelitian ini adalah Penggunaan tingkat tutur ditentukan oleh faktor usia, status sosial, kekerabatan, darah kebangsawanan, pendidikan dan konteks percakapan. Ragam Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yakni Bahasa Jawa ragam ngoko dan Bahasa Jawa ragam krama. Ragam ngoko terbagi lagi menjadi dua yakni ngoko alus dan ngoko lugu sedangkan ragam krama terbagi menjadi krama alus dan krama lugu.

Kata kunci: Bahasa Jawa, unggah-ungguh, tingkat tutur, ragam ngoko, ragam krama.

 

Abstract

This research was conducted to determine the Javanese language used by the community based on the level of speakers. In Javanese there is uploading which is used by the community as a guide in speaking words. Broadly speaking, Javanese has levels, namely ngoko, middle and manners. Each level has a different function based on the situation and conditions that take place in society. The method used is descriptive method. The conclusion of this research is the use of speech level is determined by factors of age, social status, kinship, royal blood, education and conversation context. Variety of Javanese language is divided into two namely Javanese Ngoko variety and Javanese manners. The variety of ngoko is divided into two namely aloko ngoko and naive ngoko while the various types of manners are divided into alus manners and innocent manners.

Keywords : Javanese, really, level of speech, variety of ngoko, various manners.

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki karakteristik masyarakat yang majemuk karena memiliki berbagai suku bangsa dengan berbagai macam ragam dialek dan bahasa yang berdampingan dengan bahasa persatuan yakni baha indonesia. Bahasa merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia (Saddhono dkk., 2010). Setiap masyarakat memilih dan menggunakan kode atau bahasa sebagai sarana berinteraksi. Masyarakat yang dapat menggunakan lebih dari satu kode disebut sebagai masyarakat bilingual. Penggunaan dua bahasa atau lebih dalam alih kode ditandai oleh masing-masing bahasa yang mendukung fungsi tersendiri sesuai dengan konteks (Anis, 2016). Mengacu pada haltersebut masyarakat indonesia merupakan masyarakat diglosia yakni masyarakat yang memiliki dua kode untuk menunjukkan perbedaan, satu kode diterapkan pada satu situasi tertentu sedangkan kode yang lain digunakan pada kondisi yang berbeda. Pilihan bahasa yang digunakan oleh masyarakat multilingual ditentukan oleh berbagai faktor dan memiliki makna sosial tertentu (Saddhono, 2007). Ekspresi dalam wujud tindakan berbahasa/ berbicara (baik dalam bentuk kalimat, klausa, frasa, atau kata) dianggap sebagai suatu tindakan. Tindakan itu dapat disebut tindakan berbicara, tindakan berujar atau tindak bertutur. Istilah yang lazim dipakai untuk mengacu tindakan itu ialah tindak tutur. Tindak tutur adalah tindakan yang diwujudkan dalam bentuk ujaran atau hlturanyang ditujukan kepada mitra tutur (Kurniati, 2010). Di dalam penggunaan bahasa Jawa juga ditemukan adanya pemanfaatan bentuk tindak.

Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu bagi orang jawa yang tinggal di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Bahasa jawa juga digunakan di daerah-daerah transmigrasi karena sebagian masyarakat jawa bermigrasi ke daerah lain dan Bahasa Jawa sebagai bahasa minoritas. Dialek bahasa jawa didasarkan geografis seperti Yogya, Solo, Tegal, Banyumas dan Surabaya yang masing-masing dialek memiliki ciri khas sendiri. Bahasa Jawa dituturkan oleh masyarakat Indonesia terutama di pulau Jawa bagian tengah dan timur. Namun, di pulau-pulau yang lainnya juga terdapat penutur bahasa Jawa (Partana, 2010). Selain dialek, dalam Bahasa Jawa juga terdapat ragam bahasa formal dan informal dengan bentuk fonologi, mrfologi, sintaksis dan leksikon yang berbeda-beda. Ragam bahasa jawa tersebut tercermin dalam tingkat tutur yang kompleks dalam penggunaannya. Tingkat tutur ialah variasi bahasa yang memiliki perbedaan antara penutur satu dengan penutur lain yang ditentukan oleh perbedaan kesopanan penutur terhadap lawan tutur (Soepomo, 1975). Orang Jawa mengutamakan unggah-ungguh dalam perilaku mereka sehari-hari suatu bentuk etika dalam kehidupan sosial Masyarakat Jawa (Laila, 2016).

Secara umum setiap bahasa, termasuk bahasa Jawa, memperlihatkan ciri keuniversalan sekaligus keunikan (Mardikantoro, 2012). Bahasa Jawa, bagi masyarakat Jawa, digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari, baik secara lisan maupun tulis. Selain sebagai alat komunikasi sehari-hari, Bahasa Jawa, seperti bahasa-bahasa yang lain, juga dipergunakan untuk menyampaikan tindakan bertutur. Dengan kata lain, di dalam penggunaan bahasa ]awa juga ditemukan adanya peristiwa tindak tutur (Muhid, 2011).

Di dalam masyarakat mempunyai kultur yang berbeda dengan masyarakat lain, maka masyarakat itu dalam menggunakan bahasa juga mengalami perbedaan cara menggunakan bahasanya. Demikian pula di dalam masyarakat Jawa, pemakaian bahasa Jawa sebagai alat komunikasi diikuti pula pola budaya yang menjadi ciri masyarakat itu. Pola pengungkapan gagasan secara kultural tercermin dalam cara penyusunan wacana dalam komunikasi, dan bagi masyarakat Jawa ada suatu ciri kultural dalam bentuk wacana  tak langsung (band. Sujoko, 1999:40).

Pandangan yang berterima di kalangan pakar pragmatik dan sosiolinguitik saat ini bahwa jika kita berbicara atau mengeluarkan ujaran (apakah ujaran itu berupa kalimat, frasa, atau kata), apa yang keluar dari mulut kita itu dapat dianggap sebagai tindakan. Tindakan itu dapat disebut sebagai tindak berbicara, tindak berujar atau tindak bertutur. Istilah yang lazim dipakai untuk mengacu ke tindakan itu aial tindak tutur, yang merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris speech act (Gunarwan, 2003:1-2). Tindak tutur adalah tindakan bertutur untuk menyampaikan maksud ujaran atau tuturan kepada mitra tutur. Tindak tutur dipergunakan untuk menyampaikan maksud secara tersurat dan tersirat. Tindak tutur yang disampaikan secara tersurat dapat berbentuk wacana lengkap baik tertulis maupun lisan. Dengan demikian tindak tutur ini dalam bentuk wacana langsung dan penyampaian maksud secara langsung (tindak tutur langsung). Maksud yang tersirat (tak terungkap) di dalam tindak tutur pemahamannya perlu mempertimbangkan konteks. Hal semacam inilah yang disebut tindak tutur tak langsung. Tunnen (1996) memberikan istilah metapesan Yang dimaksud konteks adalah suatu yang sarana pemerjelas maksud. Kontek di sini terdiri dua macam, yaitu ekspresi dan situasi. Untuk memahami maksud yang tersirat (di dalam tindak tutur tak langsung) perlu mempertimbangkan situasi tutur, meliputi aspek situasi.

tutur, pihak yang harus berinferensi, sifat keliteralan tuturan, dan struktur wacana yang tidak langsung (band. Wijana, 1996:4) dan Leech, 1983:2). Di dalam tulisan ini merupakan kajian awal pemahaman maksud yang tersirat di dalam tindak tutur tak langsung bahasa Jawa. Bahasa Jawa dipakai sebagai objek kajian dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, bahasa Jawa masih digunakan sebagai alat komunikasi pada masyarakat tutur Jawa di wilayah Surakarta, kedua, bahasa Jawa masih berkait erat dengan budaya Jawa yang selalu mengedepankan prinsip sopan santun berbahasa, ketiga,  bahasa bahasa Jawa termasuk bahasa bentuk pasif atau bentuk ketidaklangsungan (indirectness), karena bentuk itu dipakai untuk menyatakan kesantunan berbahasa. Lain halnya dengan penggunaan bentuk aktif atau bentuk langsung yang dirasakan kurang sopan.

METODE

Dalam melaksanakan penelitian ini digunakan metoder deskriptif yaitu metode penyajian hasil analisis data yang menggunakan uraian kata-kata yang lengkap yang rinci dan terurai. Metode deskriptif dipilih sebagai metode penelitian ini karena penyajian hasil analisis datanya dirumuskan dengan kata-kata biasa atau dengan narasi, tidak dengan simbol.

Sumber data berasal dari tuturan lisan. Sumber data penelitian ini memperhatikan tiga elemen yaitu setting, participant, dan event (Spradley : 1979). Data diperoleh dengan cara menyimak, merekam, mencatat percakapan. Untuk mengetahui keabsahan data, penulis menggunakan teknik triangulasi. Maksudnya penulis mengecek dan mencocokkan data dengan teori. Untuk mengetahui reliabilitas data, penulis melakukan pengamatan secara mendalam. Selanjutnya, dari data yang terkumpul diharapkan diperoleh gambaran keterkaitan antara objek penelitian, permasalahan penelitian, konteks situasi dan budaya setempat. Data dianalisis dengan analisis struktur.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahasa merupakan alat yang digunakan manusia untuk mengutarakan maksud, keinginan dan perasaan seseorang. Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa yang memiliki sistem tingkat tutur yang penggunaannya disesuaikan dengan mitra tutur (Saddhono, 2013). Bahasa Jawa yang digunakan masyarakat saat bertututr tercermin dalam bentuk kata kerja, kata benda dan kata sifat yang berbeda. Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa yang memiliki tingkat tutur yaitu ngoko, krama dan krama inggil (Saddhono, 2004). Penggunaan kata partikel dan kalimat tidak langsung juga ditentukan dalam bertutur. Penggunaan Bahasa Jawa dalam budaya jawa saat bertutur dipengaruhi oleh keakraban, usia dan kesopanan. Selain itu, status sosial seperti jabatan, keadaan ekonomi, faktor pendidikan dan darah kebangsawanan juga diperhatikan. Dialog masyarakat juga mencerminkan tingkat tutur bahasa jawa yang sesuai dengan unggah-ungguh basa jawa (Saddhono, 2018).

Dalam pengamalannya secara umum sehari-hari, tingkat tutur dalam Bahasa Jawa, dapat diambil kategori (1) Bahasa Jawa Ngoko, mencerminkan makna tidak berjarak atau berjarak antara penutur dengan mitra tutur, (2) Bahasa Jawa Krama,mencerminkan makna penghormatan antara penutur dengan mitra tutur. Bentuk Krama sebagai wujud bentuk kebahasaan yang mencerminkan rasa hormat masih digunakan sebagai alat komunikasi dalam masyarakat tutur Jawa, baik secara lisan maupun tulisan (Pujiyatno, 2007). Ditambahkan oleh Sundari, Bahasa Jawa merupakan warisan nenek monyang yang sangat adiluhung karena di dalamnya terdapat unggah-ungguh bahasa yang berfungsi sebagai pembentukan perilaku kehidupan manusia (Sudaryanto, 1987:3). Masyarakat Jawa juga mengenal idiom ajining dhiri ono ing lathi, yang melambangkan bahwa orang yang pandai bertutur dan menggunakan unggah ungguh dalam bertutur maka dia akan lebih dihargai oleh lawan tuturnya (Rokhman, 2003). Pembicara/orang yang mengajak bicara akan menggunakan tingkat tutur tertentu dengan mempertimbangkan unggah-ungguh, sehingga terjadilah kesantunan berbahasa.

Perbedaan tingkat tutur dapat dilihat dari bentuk bahasa (Poedjasoedarma, 1979 : 67). Penyebutan kata kerja, kata benda, kata sifat dan pronomina yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan rasa hormat dari penutur bahasa. Penggunaan kata diri seperti kula, aku dan dalem menunjukkan adanya perbedaan terhadap rasa hormat dari penutur bahasa yang disesuaikan dengan lawan tuturnya. Penggunaan kata kerja, kata benda dan kata yang menunjukkan keadaan juga mencerminkan adanya perbedaan sistem tingkat tutur. Sebagai contoh benda ialah griya, dalem dan omah; penggunaan kata yang menunjukkan keadaan seperti kata lara, gerah dan sakit. Dalam kata sifat seperti turu, sare dan matur nuwun, tilem.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesopanan suatu ujaran menurut Scollon and Scollon (1995: 42 – 43) yakni 1) kekuasaan, penutur cenderung menikkan tingkat kesopana terhadap lawan tutur yang menurutnya memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada penutur; 2) hubungan sosial, apabila seseorang memiliki hubungan yang dekat maka seseorang jarang memprhatikan tingkat kesopanan namun sebaliknya apabila hubungan seseorang tidak dengan maka mereka akan menggunakan bahasa yang disesuaikan dengan lawan tutur; 3) adanya kepentingan yang mendesak, apabila seseorang memiliki kepentingan yang tinggi maka pemilihan tuturan juga yang tinggi.

Kesantunan yang menunjukkan rasa hormat saat berkomunikasi terhadap mitra tutur pasti ada dalam setiap masyarakat penutur bahasa (Suryadi, 2010). Bentuk tingkat tutur secara garis besar dalam bahasa dapat dibagai menjadi dua yaitu bentuk hormat dan bentuk biasa yang penggunaannya disesuaikan dengan relasi penutur dan mitra tutur (Wibawa, 2006). Ragam Bahasa Jawa yang sesuai yang sesuai tingkat tutur Bahasa Jawa atau disebut dengan istilah undha-usuk basa jawa (Saddhono, 2016). Perbedaan penggunaan tuturan yang memiliki maksud sama menunjukkan adanya perbedaan tingkat tutur dalam bahasa Jawa yaitu tingkat tutur halus yang membawakan rasa kesopanan tinggi (tingkat tutur krama), tingkat tutur menengah sebagai cerminan rasa kesopanan sedang (tingkat tutur madya), serta tingkat tutur biasa yang menunjukkan kesopanan yang rendah (tingkat tutur ngoko) (Poedjasoedarma, 1979 : 7-8).

Tingkat tutur halus disebut tingkat tutur krama, tingkat tutur sedang disebut tingkat tutr madya dan tingkat tutur biasa disebut tingkat tutur ngoko. Setiap bentuk tingkat tutur terbagi lagi menjadi tiga yakni 1) krama, terdiri atas muda krama, kramantara dan wreda karma; 2) madya, terdiri atas madya karma madyantara dan ngoko; 3) ngoko, terdiri atas basa antya, antya basa dan ngoko lugu (Wilian, 2006).

Tingkat tutur Bahasa Jawa menurut Soepomo terbagai menjadi dua yakni tingkat ngoko dan tingkat basa. Akan tetapi, tingkat ngoko memiliki beberapa varian seperti ngoko alus dan ngoko biasa. Apabila semakin banyak unsur kata krama seperti krama inggil ataupun krama andhap dalam ujaran ngoko maka semakin haluslah ngoko tersebut. 1) ngoko bentuk renda, ngoko bentuk rendah memiliki lemen yang bersifat netral yakni dengan dua kata yang dianggap rendah (low). Tingkat tutur tersebut digunakan apabila bentuk tersebut digunakan saat berbicara dengan lawan tutur yang secara sosial dianggap lebih rendah, anggota keluarga yang dianggap lebih muda, atau seseorang yang sangat dikenal dan akrab, misalnya bu sastro (netral) wis (rendah) mangan (mangan); 2) ngoko bentuk menengah, ragam ngoko ini lebih sering digunakan apabila hubungan penutur dan mitra tutur tidak terlalu dekat dan memiliki status sosial yang sama, misalnya Bu Sastro (netral) mpun (menengah) dhahar (hormat) atau Bu Sastro (netral) mpun (menengah) nedho (tinggi); 3) ngoko bentuk tinggi, ragam bentuk tinggi ini digunakan untuk menunjukkan jarak dan rasa hormat kepada mitra tutur yang yang dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi, misalnya Bu Sastro (netral) sampun (tinggi) nedho (tinggi).

Prinsip unggah-ungguh Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yaitu unggah-unggung ngko dan unggah-ungguh krama (Sasangka, 2004). Perbedaan unggah-ungguh tersebut terletak pada leksikon yang terangkai pada kalimat yang secara kontras terlihat perbedaannya. Dalam bahasa jawa terdapat dua unggah-ungguh yakni ngoko dan krama apabila terdapat bentuk lain maka itu hanya variasi dari ragam ngoko maupun krama (Indrayanto, 2015).

Permasalahan dalam penelitian ini dibahas dengan menggunakan teori semantik dan sosiolinguistik yang terkait dengan faktor – faktor ekstralinguistik. Makna mencakup maksud pembicara, pengaruh satuan bahasa dalam memahami persepsi atau perilaku manusia, hubungan dan arti kesepadanan dan ketidaksepadanan antara bahasa dan alam luar bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjuk, serta cara menggunakan lambang-lambang (Kridaklasana, 1983:120). Makna tuturan kadang baru bisa dipahami secara utuh dengan memperhatikan hubungan antarkalimat dalam suatu wacana. Makna suatu tuturan tidak hanya ditentukan oleh sistem gramatika, tetapi juga bergantung pada konteks, seperti faktor penutur, petutur, status sosial, atau tingkat sosial orang yang diajak bicara, tempat waktu dan tujuan tuturan. Faktor – faktor tersebut ikut menentukan pilihan bentuk – bentuk bahasa yang digunakan. Pilihan bentuk – bentuk bahasa yang digunakan tersebut terkait dengan kesantunan dalam masyarakat Jawa yang mengenal adanya tingkat tutur atau unda usuk.

Secara garis besar tingkat tutur dalam bahasa Jawa atau Jawa ngoko dan bahasa Jawa krama. Kedua pemilahan tersebut sebenarnya masih bisa diperinci lagi. Akan tetapi, dalam tulisan ini tidak dipaparkan lebih jauh perincian tersebut karena dalam penelitian ini lebih difokuskan pada pemahaman ekspresi tutur untuk menafsirkan makna tuturan.

Terkait dengan makna tuturan itu, dalam tulisan ini dibahas penggunaan kata matur nuwun dan mangga dalam bahasa Jawa. Kata – kata tersebut diangkat sebagai permasalahan karena dalam ekspresi tutur yang berbeda, kata – kata itu dapat memiliki makna yang berbeda. Kata matur berasal dari bahasa Jawa atur yang memperoleh prefiks ma- menjadi mantur. Kata atur merupakan bentuk nomina. Ketika kata atur memperoleh prefiks ma- menjadi matur, kata tersebut mengalami perubahan kelas kata menjadi verba. Adapun kata nuwun dan mangga merupakan kata dasar.

Penggunaan kata-kata matur nuwun dan mangga disajikan dalam beberapa contoh untuk mengetahui keberadaan makna yang terkandung dalam ekspresi tutur tersebut. Berikut ini penulis sajikan beberapa contoh penggunaan kata-kata matur nuwun dan mangga dalam berbagai situasi.

Penutur : “Mangga”. ‘mari’.

Petutur : “Nggih, mangga-mangga”. ‘ya, mari-mari’.

Tuturan ini terjadi dijalan. Kata mangga dituturkan oleh orang yang melewati kelompok orang yang sedang berkumpul ditepi jalan. Kata mangga dalam konteks tersebut bermakna denotasi. Tuturan itu dimaksudkan untuk menyapa orang yang dilewati agar terjalin hubungan yang baik dalam hidup bermasyarakat. Dalam masyarakat, orang yang melintas di depan orang atau kelompok orang bisa dianggap sombong atau angkuh bila tidak menyapa.

Penutur : “Mangga pinarak”. ‘sila mampir’.

Petutur : “Nggih, matur nuwun. Sanes wedal, Juli keseso”. ‘ya, terimakasih. Lain waktu, saya tergesa’.

Tuturan ini terjadi didepan rumah yang terletak ditepi jalan. Kalimat mangga pinarak ini dituturkan oleh salah satu penghuni rumah ketika berada dihalaman. Kalimat tersebut ditujukan kepada orang yang dikenal dan melintas di jalan tersebut. Tuturan mangga pinarak bisa dimaksudkan, baik untuk basa basi maupun sungguh – sungguh. Biasanya tuturan tersebut hanya ditunjukkan kepada orang yang dikenal dan memiliki hubungan baik. Dalam konteks tersebut penutur hendaknya pandai – pandai menafsirkan makna tuturan, apakah sekedar basa basi atau sungguh – sungguh. Biasanya bila penutur mengucapkan mangga pinarak saat dia tidak dalam keadaan sibuk dan dengan sikap agak memaksa, itu berarti penutur bersungguh-sungguh menyisakan petutur untuk mampir. Apabila penutur mengucapkan mangga pinarak sekdarnya saja, itu berarti penutur hanya berbasa-basi. Dengan memahami ekspresi tuturan, penutur perlu dapat menafsirkan makna nya.

Penutur : “Mangga, kulo rumiyin”. ‘mari, saya mendahului’.

Petutur : “Nggih, mangga-mangga”. ‘ya, silahkan’.

Tuturan ini terjadi dijalan saat penutur melewati Petutur yang sedang berjalan. Penutur menyapa Petutur dengan tujuan untuk beramah tamah sehingga terbangun hubungan sosial yang baik. Berdasarkan pilihan kata diketahui bahwa bahasa Jawa krama dipilih oleh penutur untuk menyapa dan dijawab oleh pesapa dengan bahasa Jawa krama juga. Hal tersebut menunjukkan bahwa usia dan status sosial penutur dan Petutur lebih kurang sederajat.

Penutur : “Mangga, ngatur dhahar sakwontenipun”. ‘silahkan, makan seadanya’.

Petutur : “Matur nuwun. Kulo nembe mawon nedhi”. ‘terimakasih. Saya baru saja makan’.

Dialog tersebut terjadi dalam suatu keluarga yang kedatangan tamu. Penutur menyisakan tamunya atau Petutur untuk makan dengan mengatakan, “Mangga, ngatur dhahar sakwontenipuni”. Akan tetapi, Petutur menjawab, “Matur nuwun. Kulo nembe nedhi”. Jawaban tersebut bermakna penolakan secara halus. Kalimat kulo nembe bedhi ‘saya baru saja makan’ dapat diartikan “saya masih kenyang dan tiada ingin makan”. Dengan pilihan kata-kata itu tuan rumah atau penutur tidak merasa tersinggung atas penolakan tersebut.

Kadang-kadang tawaran untuk makan bila hanya dijawab matur nuwun, penutur harus pandai – pandai memahami makna ekspresi tutur petutur. Pemahaman ekspresi tutur ucapan matur nuwun ‘terima kasih’ yang bermakna ‘tidak mau’ dalam situasi tawaran untuk makan hanya bisa dipahami secara jelas melalui pemaknaan ekspresi tutur dan pemahaman hubungan antar konteks kalimat itu.

Penutur: “kowe gelem roti?”. ‘kamu mau roti?’.

Petutur: “Nggih, purun, matur nuwun”. ‘ya, mau, terimakasih’.

Dialog tersebut terjadi pada dua orang dengan perbedaan usia yang cukup banyak, yakni tiga puluhan tahun. Penutur menggunakan bahasa Jawa ngoko kepada Petutur karena perbedaan usia, status sosial, dan mereka sudah saling mengenal. Kalimat kowe gelem roti? Menggunakan bahasa jawa ngoko, sedangkan kalimat “Nggih, purun, matur nuwun” merupakan kalimat bahasa jawa krama. Petutur menggunakan bahasa Jawa krama dengan maksud untuk sopan santun dan menghormati Petutur.

Pemahaman ekspresi tutur ucapan matur nuwun ‘terima kasih’ yang bermakna ‘tidak mau’ dalam situasi sungguhan atau tawaran untuk makan hanya bisa dipahami secara jelas melalui pemaknaan ekspresi tutur dan pemahaman arti hubungan antar kalimat dalam wacana tersebut.

  1. Ragam Ngoko

Ragam ngoko ialah unggah-ungguh Bahasa Jawa yang memiliki inti leksikon ngoko dalam ragam ngoko bukan leksikon yang lain. Dalam ragam ngoko afiks yang muncul hanya berbentuk ngoko seperti di-, -e, dan-ake. Ragam ngoko dapat digunakan apabila seseorang memiliki hubungan yang akrab dengan mitra tutur atau seseorang yang merasa status sosialnya lebih tinggi daripada mitra tuturnya. Ragam ngoko terdapat dua varian yakni ngoko lagu dan ngoko alus. 1) Ngoko lugu ialah unggah-ungguh dalam bahasa jawa yang semua kosakatanya berbentuk ngoko dan netral (leksikon ngoko dan netral) tanpa terselip leksikon krama, krama inggil, atau krama andhap, baik untuk O1, O2, maupun (O3). Contoh: Yen mung kaya ngunu wae, aku mesthi ya iso (Jika cuma seperti itu saja, saya pasti juga bisa); 2) ngoko alus, ngoko alus ialah unggah-ungguh yang didalamnya tidak hanya leksikon ngoko dan netral saja tetapi juga ada leksokon krama inggil dan andhap. Leksikon krama inggil dan andhap yang muncul digunkan untuk menghormati mitra tutur. Leksikon krama inggil yang muncul biasanya terbatas pada kata kerja, benda dan pronomina. Sedangkan leksikon krama andhap yang muncul biasanya berbentuk kata kerja, misalnya Mentri pendhidhikan sing anyar iki asmane sapa? (Menteri pendidikan yang baru ini siapa namanya?).

  1. Ragam Krama

Ragam krama ialah unggah-ungguh bahasa jawa yang memiliki inti leksikon krama dan leksikon lain. Dalam ragam krama afiks yang muncul dipun-, -ipun, dan -aken. Ragam krama digunakan bila seseorang merasa status sosialnya lebih rendah daripada mitra tuturnya. Ragam krama terbagi menjadi dua variasi yaknikrama lugu dan krama alus. 1) krama lugu, leksikon yang terdapat dalam ragam ini berupa ngoko. Kata lugu dalam ragam ini menunjukkan bahwa ragam ini memiliki leksikon krama, madya dan lugu serta tambahan krama inggil dan andhap. Akan tetapi yang menjadi leksikon inti ialah krama, madya dan netral. Leksikon krama inggil dan krama andhap hanya digunakan untuk menghormati mitra tutur. Secara semantik ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun demikian, ragam ini tetap menunjukkan kehalusan dibandingkan ngoko alus. Contoh: Sing dipilih Sigit niku jurusan jurnalistik utawi perhotelan. (Yang dipilih Sigit itu jurusan jurnalistik atau perhotelan); 2) krama alus, krama alus ialah unggah-ungguh bahasa jawa yang memiliki leksikon into krama yang dapat berapa krama inggil ataupun krama andhap. Dalam tingkat tutur ini leksikon ngoko Dan madhya tidak pernah muncul. Dalam ragam ini secara konsisten krama inggil dan andhap sekali digunakan untuk menghormati mitra tutur. Dari segi semantik ragam krama alus ini merupakan ragam krama yang memiliki tingkat kehalusan paling tinggi. Contoh: para miyarso, wonton ing giyaran punika Lula badhe ngaturaken eembag bab kasusastran jawi (para pendengar, Salam kesempatan saran ini saya akanberbicara tentang kesusastraaan jawa).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SIMPULAN

Tingkat tutur digunakan untuk menunjukkan rasa sopan atau rasa hormat terhadap lawan tutur. Penggunaan tingkat tutur ditentukan oleh faktor usia, status sosial, kekerabatan, Sarah kebangsawanan, pendidikan dan konteks percakapan. Ragam bahasa jawa terbagi menjadi dua yakni bahasa jawa ragam ngoko dan bahasa jawa ragam krama. Ragam ngoko terbagi lagi menjadi dua yakni ngoko alus dan ngoko lugu sedangkan ragam krama terbagi menjadi krama alus dan krama lugu. Dalam bertutur perlu memperhatikan tingakt kesopanan berbahasa karena dalam berbahasa terdapat nilai-nilai sosial budaya.

Kata mangga bisa berarti sila, silahkan atau mari (ajakan) dapat digunakan, baik dalam situasi formal maupun non formal. Kata mangga merupakan bentuk bahasa jawa krama yang digunakan untuk menyatakan arti sila/silahkan pada orang yang diajak bicara atau Petutur dengan maksud untuk menghormati karena adanya perbedaan faktor – faktor sosial, seperti usia dan status sosial. Pilihan kata mangga ini biasa ditunjukkan pada orang yang lebih tua atau memiliki status sosial lebih tinggi. Kata mangga bisa bermakna menyilakan dengan sungguh – sungguh dan menyisakan hanya sebagai basa basi. Adapun kata – kata matur nuwun dapat bermakna ungkapan terima kasih secara sesungguhnya dan dapat bermakna penolakan secara halus. Kedua kata – kata tersebut, yakni mangga dan matur nuwun hanya dapat diketahui maknanya secara tepat atau utuh melalui pemahaman ekspresi saat tuturan itu disampaikan.

DAFTAR PUSTAKA / REFERENSI :

  1. Anis, M. Y., & Saddhono, K. (2016). Strategi Penerjemahan Arab–Jawa sebagai Sebuah Upaya dalam Menjaga Kearifan Bahasa Lokal (Indigenous Language). Akademika: Jurnal Pemikiran Islam, 21(1), 35-48.
  2. Indrayanto, B., & Yuliastuti, K. (2015). Fenomena Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa Akibat Tingkat Sosial Masyarakat. Magistra, 27(91).
  3. Kurniati, E., & Mardikantoro, H. B. (2010). Pola Variasi Bahasa Jawa (Kajian Sosiodialektologi pada Masyarakat Tutur di Jawa Tengah. Jurnal Humaniora, 22(3), 273-284.
  4. Laila, W. N. (2016). Konsep Diri Remaja Muslim Pengguna Bahasa Jawa Krama. Profetik: Jurnal Komunikasi, 9(2), 61-69. Mardikantoro, H. (2012). Bentuk Pergeseran Bahasa Jawa Masyarakat Samin dalam Ranah Keluarga. Litera, 11(2).
  5. Muhid, A., & AKI, S. U. (2011). Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kabupaten Blora. Majalah Ilmiah Informatika, 2(1).
  6. Partana, P. (2010). Pola Tindak Tutur Komisif Berjanji Bahasa Jawa. Widyaparwa, 38(1), 81-89.
  7. Poedjasoedarma, Soepomo, Th. Kundjana, Gloria Soepomo, dan Alip Soeharso. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  8. Poedjosoedarmo, S. (1979). Tingkat tutur bahasa Jawa (Vol. 8). Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  9. Pujiyatno, A. (2007). Variasi dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen:: Kajian Sosiodialektologi (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
  10. Rokhman, F., & Poedjosoedarmo, P. P. D. H. S. (2003). Pemilihan bahasa dalam masyarakat dwibahasa:: Kajian sosiolinguistik di Banyumas (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
  11. Saddhono, K. (2004). Aspektualitas bahasa Jawa: kajian morfologi dan sintaksis. Pustaka Cakra Surakarta. Saddhono, K. (2007). Bahasa Etnik Pendatang di Ranah Pendidikan Kajian Sosiolinguistik Masyarakat Madura di Kota Surakarta. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 13(66), 469- 487.
  12. Saddhono, K. (2013). Fenomena pemakaian bahasa Jawa sebagai bahasa ibu pada sekolah dasar kelas rendah di kota Surakarta: Sebuah kajian sosiolingustik. Surakarta: Sebelas Maret University.
  13. Saddhono, K. (2016). Dialektika Islam dalam mantra sebagai bentuk kearifan lokal Budaya Jawa. AKADEMIKA: Jurnal Pemikiran Islam, 21(1), 83-98.
  14. Saddhono, K. (2018). Bercerita Dengan Media Wayang Kulit Untuk Meningkatkan Pemahaman Tingkat Tutur Bahasa Jawa Siswa Smp Di Kabupaten Magelang.
  15. Saddhono, K., Wijana, I., & Poedjosoedarmo, S. (2010). Wacana Bahasa Jawa dalam Khotbah Jumat di Kota Surakarta: Perspektif Kajian Linguistik Kultural.
  16. Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2009. UnggahUngguh Bahasa Jawa (Editor: Yeyen Maryani). Jakarta: Yayasan Paramalingua. Suryadi, M. (2010).
  17. Konstruksi Leksikal Tuturan Jawa Pesisir yang Bertautan dengan Nilai Kesantunan. In Jurnal Seminar Nasional Bahasa dan Budaya. Wibawa, S. (2006). Pendekatan Pembelajaran Bahasa Jawa di SMA/SMK/MA. Semarang: Makalah Kongres Bahasa Jawa.
  18. Wilian, S. (2006). Tingkat tutur dalam bahasa Sasak dan bahasa Jawa. Wacana, 8(1), 32-53.
  19. Creswell, J. W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design. California : sage publications, Inc.
  20. Damariswara, Rian. 2016. “Analisis ketidaktepatan penggunaan Bahasa Jawa Krama Alus Mahasiswa PGSD Angkatan 2012 UN PGRI Kediri dalam Mata Kuliah Bahasa Daerah.” Jurnal Pendidikan Dasar Nusantara vol. 2 No. 1 Juli 2016. Https:/ / www.e-jurnal.com/2017/05/analisis-ketidaktepatan-penggunaan.html. Diunduh pada tanggal 20 Februari 2020.
  21. Haryati, Dewi Sri, 2020.” Bentuk Sinonimi dalam Bahasa Jawa (Kajian Semantik), ” Jurnal Bahasa dan Sastra Vol. 5 No. 4 http:/ / jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/BDS/article/viewFile/12742/9846. Diunduh pada tanggal 20 Februari 2020.
  22. Kridaklasana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik Jakarta: Gramedia.

 

 

Bagikan Artikel Ini