Beranda » Menilik Kekerasan Dalam Lingkungan Pendidikan

Menilik Kekerasan Dalam Lingkungan Pendidikan

Sumber gambar: Markas Menwa UNS lumpuh setelah Gilang Endi Saputra meninggal dunia. Di sana juga melihat ada yang janggal. Begini kondisinya saat dikunjungi, Rabu (3/11). Foto: Romensy Augustino/JPNN/com

Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan sehat jauh dari tindakan negatif. Namun, pada kenyataannya lingkungan pendidikan Indonesia ini seperti memiliki budaya senioritas, perundungan dan kekerasan yang sangat melekat dan turun temurun. Tiap generasi seakan menjadi penerus budaya negatif ini dalam pendidikan.

Dan kembali terjadi kekerasan yang menimpa seorang mahasiswa pada tanggal 24 Oktober 2021 ketika mengikuti Kegiatan pendidikan dan latihan dasar Pra Gladi Patria XXXVI Korps mahasiswa Siaga Batalyon 905 Jagal Abilawa tahun 2021 di universitas sebelas Maret. Korban diketahui meninggal dunia karena adanya tindak kekerasan yang menimpanya ketika mengikuti kegiatan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan terdapat luka lebam di wajah serta kepala. Kekerasan dalam lingkungan pendidikan kembali hadir. Sebenarnya ada apa dengan lingkungan pendidikan Indonesia ini?

Kronologi

Pada tanggal 23 Oktober 2021

Kegiatan Diklat menawa pada hari pertama tanggal 23 Oktober 2021 dilaksanakan mulai pukul 06.00 wib hingga 23.00 wib. Kegiatan hari pertama di lakukan di markas Menwa, GOR UNS, Musala fakultas teknik dan jembatan danau UNS. “Berdasarkan pengakuan pihak panitia, kegiatan itu dilakukan mulai tanggal 23 Oktober, mulai dari sambutan pukul 06.00 sampai kegiatan berakhir pukul 23.00 WIB” Kata Sutanto dalam jumpa pers di UNS, Selasa (26/10/2021)

Namun, menurut pengakuan panitia pada saat itu korban sudah merasakan kram sehingga korban akan mendapatkan pendamping. Dan pada tanggal 23 Oktober 2021 korban belum ada tanda-tanda kekerasan ataupun kelelahan.

Pada tanggal 24 Oktober 2021

Pada hari ke dua acara Diklat diawali dengan shalat subuh dilanjutkan dengan acara senam bersama dan apel pagi. Lalu pada siang hari dilanjutkan dengan kegiatan rappeling di jembatan Jurug. Pada pukul 14.00 ketika kegiatan korban sudah mengeluhkan sakit punggung dan sempat di kompres di bagian kepala.

Korban lalu mengalami tidak sadarkan diri hingga malam hari pukul 21.00 WIB. Para pihak panitia lalu membawa korban dengan ambulans ke rumah sakit Moewardi pada pukul 22.05 WIB. Pada saat itu juga dalam perjalanan menuju rumah sakit, menurut kesaksian panitia korban sudah tidak bernafas lagi.

Penyidikan kasus

Para polisi dan pihak terkait universitas sebelas Maret pada tanggal 25 Oktober 2021 lalu mengumpulkan semua panitia. Polisi juga melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). “Hari Senin pukul 07.15 WIB semuanya sudah kami kumpulkan keseluruhan panitia. Saat itu bergabung dengan kami, Polsek jebres, lalu bergabung dari Polresta Surakarta. Setelah itu dilanjutkan ke TKP dan pengumpulan barang bukti” kata Sutanto.

Dari hasil otopsi korban meninggal dunia karena lemas akibat mendapatkan kekerasan benda tumpul selama mengikuti diklat. Dari keterangan orang tua korban, terdapat luka lebam di daerah wajah dan di kepala. Hal ini mengindikasikan bahwa korban mendapatkan kekerasan selama kegiatan berlangsung. Sebelumnya korban tidak memiliki penyakit bawaan dan sebelum diklat korban pergi dengan keadaan baik-baik saja.

Adanya fakta bahwa, penyelenggaraan diklat ini tidak memiliki izin baik dari Kapolsek setempat bahkan satgas covid 19. Polisi lalu memeriksa 18 saksi yang terdiri dari panitia, peserta dan dosen penyelenggara diklat Menwa ini dan polisi sudah mengantongi calon tersangka. “Untuk penetapan tersangka akan ditentukan setelah agenda gelar perkara lanjutan, sembari menunggu hasil identifikasi telepon genggam serta otopsi jenazah keluar” hal tersebut disampaikan oleh Komdes Pol Ade Safiri Simanjuntak, Polresta Surakarta.

Rektor universitas sebelas Maret pada tanggal 27 Oktober 2021 Secara resmi membekukan organisasi kemahasiswaan (Ormawa) korps mahasiswa Siaga Batalyon 905 Jagal Abilawa. Sebagimana tertuang di dalam surat keputusan (SK) Rektor universitas sebelas Maret nomor 2815/UN27/KH/ 2021. Berdasarkan SK tersebut, Koprs mahasiswa Siaga Batalyon 905 Jagal Abilawa melakukan aktivitas apapun. Dengan pembekuan tersebut juga ditindaklanjuti dengan pemantauan dan evaluasi lebih lanjut sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan

Mendikbud Ristek Nadiem Makariem, mendesak agar menwa untuk di bubarkan. Terlebih lagi dengan adanya kejadian seperti ini membuat kekerasan dalam lingkungan pendidikan semakin menjadi hal yang mengkhawatirkan. Pendesakan juga hadir baik dari mahasiswa dan masyarakat yang prihatin dengan kejadian ini untuk membubarkan Koprs Mahasiswa Siaga Batalyon 905 Jagal Abilawa.

Kekerasan di lingkungan pendidikan

Selama 5 tahun terakhir kasus kekerasan dalam lingkungan pendidikan seperti tidak berhenti dan selalu saja ada kasus pada setiap tahun. Dalam kurun waktu 5 tahun sudah terjadi 6 kasus kekerasan di kampus.

1. Akademi Maritim Djadajat, Madura, Jakarta Utara.

25 Februari 2013

– Richard Djumaati (18), siswa tingkat I tewas diduga akibat penganiayaan oleh seniornya

2. Sekolah tinggi ilmu pelayaran (STIP) Marunda, Jakarta Utara

12 Mei 2008

– Bastian Gultom (18 ) tewas dianiaya delapan seniornya

November 2008

– (19) Dianiaya seniornya hingga geger otak

25 April 2014

– Dimas Dikta Handoko (18) tewas dan enam taruna lainnya luka parah setelah dianiaya senior ketika dalam kegiatan pembinaan taruna yunior

10 Januari 2017

– Amitulloh Adityas putra (18) taruna tingkat I jurusan Nautika, tewas setelah dianiaya seniornya dalam pelatihan drum band STIP

3. Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

20- 24 Januari 2017

– mahasiswa, Ilham Nurpadmy Listia Adi (20), Muhammad Fadhil (20), Syaits Asyam (19). Tewas setelah mengikuti kegiatan Mapala UII di Gunung Lawu, Tawangmangu

Perbuatan tersebut sangat tidak dibenarkan untuk dilakukan. Hal ini sudah tercantum pada undang-undang No.82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan dalam lingkungan satuan pendidikan. Dijelaskan bahwa, Tindak kekerasan adalah perilaku yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring), atau melalui buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka/cedera, cacat, dan atau kematian.

Kampus seharusnya menjadi tempat untuk tumbuh dan berkembang sebuah potensi. Kementerian pendidikan dan kebudayaan selalu mendorong agar kampus bisa mewujudkan hal ini. Kampus menjadi tempat yang sehat jauh dari kata kekerasan dan perundungan. Dalam mewujudkan hal tersebut, maka harus dilaksanakannya lingkungan belajar abad 21 yang dicirikan dengan tiga aspek, yaitu kampus sehat, kampus nyaman, dan kampus aman,” ujar Nizam. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Nizam, pada webinar Kampus Merdeka dari Kekerasan Berbasis Gender, pada Sabtu (28/11) yang diadakan oleh Pusat Penguatan Karakter Kemendikbud.

Perundungan, budaya senioritas, kekerasan verbal dan non verbal atau tindakan lain yang seharusnya tidak terjadi dalam lingkungan pendidikan termasuk lingkungan pendidikan tinggi. Tetapi kenyataannya jauh dari yang diharapkan. Hal tersebut justru menjadi budaya yang melekat dengan pendidikan. Poin permasalahan dalam hal ini adalah kekerasan selalu saja ditujukan bahkan dalam dunia pendidikan sekalipun disamping pengaruh keluarga dan lingkungan.

Adanya kekerasan dalam lingkungan pendidikan ini bukanlah hal yang sepele. Munculnya korban atas kekerasan tersebut adalah bukti nyata dari buruknya keadaan lingkungan pendidikan. Kekerasan ini dikatakan sebagai budaya yang akan terus turun temurun dilakukan oleh generasi ke generasi. Karena dalam kasus kekerasan dalam lingkungan pendidikan bukan hanya sekedar oknum yang terlibat, namun juga buruknya sistem.

Kesimpulan

Kekerasan dalam lingkungan pendidikan ini dapat di pungkiri akan selalu ada. Data kasus tiap tahun pasti bertambah adanya. Hal ini menjadi sebuah tugas untuk menghapuskan budaya pendidikan yang kental dengan kekerasan, perundungan ataupun senioritas. Mencari solusi tentang bagaimana upaya untuk mengharmoniskan itu semua demi terciptanya pendidikan yang aman dan sehat.

Kekerasan apapun baik verbal atau non- verbal bukanlah suatu solusi untuk mendisiplinkan atau melatih sebuah mental seseorang. Trauma yang mendalam atau bahkan nyawa yang hilang cukup menjadi bukti yang didapatkan ketika adanya tindak kekerasan. Apabila lingkungan pendidikan selalu ada kekerasan bagimana bisa hal seperti ini bisa di anggap lumrah dan menjadi budaya?

 

Bagikan Artikel Ini