Beranda » Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual Secara Digital dalam ICT

Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual Secara Digital dalam ICT

Dibuat Oleh: Muhammad Rizky Arinugraha Putra (2211600768), Mahasiswa Universitas Budi Luhur, Program Magister Ilmu Komputer

Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual Secara Digital dalam ICT

Internet telah menjadi salah satu bagian dalam kehidupan manusia. Melalui jaringan internet, berbagai kebutuhan dapat dicari dan diperoleh dengan cepat. Teknologi ini mempermudah penyebaran informasi, komunikasi, dan data antar pengguna yang tidak terbatas jarak. Pengiriman data dapat dilakukan lintas negara hanya dalam hitungan detik.

Namun, ini membuka peluang untuk penyalahgunaan ICT, salah satunya adalah pelanggaran hak kekayaan intelektual (HAKI), seperti musik, video, dan foto. Berbagai konten tersebut dapat diakses untuk disebar dan diunduh dengan mudah secara ilegal. Pelanggaran HAKI ini menyebabkan kerugian, terutama bagi pihak pencipta karena tidak memperoleh hasil penjualan dari penyebaran konten secara ilegal tersebut. Negara pun mengalami kerugian karena konten ilegal tersebut tidak melalui prosedur yang tepat dan tidak membayar pajak. Bahkan, tindakan kejahatan tersebut juga mengancam hak masyarakat yang perlu untuk dilindungi pemerintah.

Untuk menghadapi fenomena ini, diperlukan berbagai upaya untuk melindungi HAKI, mulai dari pemerintah dan masyarakat, hingga penggunaan teknologi sebagai perlindungan hak dari pencipta suatu inovasi atau karya.

Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

Berdasarkan penelitian oleh Savale & Savale (2016), HAKI dapat diartikan sebagai ciptaan tidak berwujud yang berasal dari pemikiran manusia. Biasanya, hasil ciptaan tersebut diwujudkan dalam bentuk nyata dengan hak milik tertentu. HAKI adalah hak yang diberikan kepada orang-orang atas ciptaan pikiran mereka. Kekayaan intelektual tersebut dapat dicontohkan ke dalam berbagai hasil, seperti penemuan, karya sastra, seni, simbol, nama, gambar, dan desain.

Gupta (2021) menambahkan bahwa perlindungan terhadap kekayaan intelektual memiliki objek, yaitu paten. Paten itu sendiri merupakan hak eksklusif yang diberikan untuk penemuan sebagai produk atau proses baru. Dengan adanya paten tersebut, maka pencipta dapat memiliki hak secara hukum untuk mengecualikan orang lain untuk membuat, menggunakan, atau menjual penemuannya dalam jangka waktu tertentu.

Etika dalam Penggunaan Hak Kekayaan Intelektual

HAKI melindungi produk asli dari penciptanya. Definisi asli tersebut adalah tidak disalin, namun bukan berarti harus yang baru dan sangat kreatif. Asli atau orisinalitas tidak diartikan sebagai kebaruan, karena sebuah karya bisa berarti baru, walaupun memiliki kemiripan dengan karya lainnya. Sebuah produk dikategorikan sebagai asli apabila diciptakan bukan dari hasil penyalinan. Salah satu etika dalam HAKI adalah seseorang bisa menciptakan karya yang bukan merupakan hasil salinan dari produk orang lainĀ (Murray, 2012).

Hak Kekayaan Intelektual dalam Teknologi Digital

Saat ini, teknologi digital menjadi alat yang digunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk melakukan pelanggaran HAKI. Pembajakan dan plagiarisme sering terjadi hampir di seluruh aspek, mulai dari akademis hingga hiburan. Hal ini bisa membuat para pencipta mengalami kerugian yang cukup signifikan.

Menurut Chattopadhyay (2013), teknologi digital memiliki lima cara untuk melindungi HAKI. Pertama adalah Digital Rights Management (DRM), yaitu teknologi yang dibuat untuk memastikan hak cipta dengan melakukan identifikasi dan melindungi konten, mengontrol akses terhadap suatu karya, melindungi integritas karya, dan memastikan pembayaran dalam akses ke karya tersebut. Teknologi ini bermanfaat untuk mencegah penggunaan konten atau karya secara ilegal. Kedua, kriptografi, salah satu mekanisme tertua yang dapat digunakan untuk memastikan keamanan dan privasi informasi melalui jaringan. Dengan kriptografi, informasi dari sebuah karya atau konten dijadikan sebagai bahasa yang hanya dapat diuraikan dan dideskripsikan oleh pengguna yang sah. Ketiga adalah menggunakan digital watermark sebagai sinyal atau pola digital yang dapat dimasukkan ke dalam dokumen digital. Teknologi ini mirip dengan logo elektronik yang biasa digunakan oleh saluran televisi. Keempat, tanda tangan digital yang dapat mencakup identitas pengirim, penerima, tanggal, kode unik, dan lain-lain. Informasi ini ditambahkan ke dalam produk digital sebagai tanda dan mengikat produk perangkat lunak untuk dikirimkan ke orang lain. Terakhir adalah electronic marking, yaitu sistem yang secara otomatis menghasilkan tanda unik sebagai tanda pada setiap salinan dokumen. Ini dapat melindungi hak cipta serta penerbitan elektronik ketika dokumen tersebut dicetak dan disalin.

Upaya Pemerintah dalam Melindungi Hak Kekayaan Intelektual

Pemerintah Indonesia menyadari bahwa kondisi pasar bebas dan keikutsertaan Indonesia sebagai negara anggota World Trade Organization (WTO) dan Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) dapat memperbesar potensi pelanggaran HAKI. Pemerintah telah menerapkan sistem perlindungan merek sejak tahun 1961, kemudian sistem perlindungan hak cipta pada tahun 1982, dan sistem paten pada tahun 1991. Secara lebih rinci, peraturan tersebut terdapat pada Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 7 tahun 1987 (UU Hak Cipta).

Untuk melindungi masyarakat dari pelanggaran HAKI, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual menyelenggarakan administrasi hak cipta, paten, merek, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu. Dengan layanan ini, diharapkan masyarakat dapat mengembangkan inovasi dan penemuan serta dapat terlindungi secara hukum oleh negara.

Peningkatan Pemahaman Masyarakat Tentang Hak Kekayaan Intelektual

Selain penggunaan teknologi dan upaya pemerintah untuk melindungi HAKI, kesadaran masyarakat terkait dengan HAKI juga perlu ditingkatkan. Menurut Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah pada tahun 2007, pemerintah telah mengupayakan sosialisasi tentang peran HAKI dalam berbagai aspek, seperti kegiatan perindustrian dan perdagangan, investasi, kegiatan penelitian dan pengembangan, dan lain-lain. Ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memahami pentingnya pendaftaran karya-karya intelektual untuk menjamin hak cipta. Sementara itu, pemahaman masyarakat juga perlu ditingkatkan terkait dengan pelanggaran HAKI yang sudah tercantum dalam Undang-undang.

Pelanggaran HAKI melalui teknologi digital sering terjadi dan merugikan berbagai macam pihak, terutama pencipta karya atau produk. Ini merupakan fenomena yang perlu dicegah sehingga masyarakat dapat memiliki rasa aman dalam berinovasi dan berkarya. Pemerintah telah mengeluarkan peraturan terkait penyebaran konten secara ilegal, termasuk memblokir berbagai situs internet yang menjadi sumber pembajakan tersebut. Pemerintah juga meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pendaftaran HAKI untuk melindungi hak cipta dari pembajakan dan plagiarisme. Selain itu, teknologi digital dapat digunakan untuk melindungi HAKI terhadap suatu produk atau karya. Lebih lanjut, pemahaman masyarakat terkait dengan HAKI juga perlu ditingkatkan untuk menumbuhkan kesadaran penggunaan produk atau karya secara bertanggung jawab. Dengan demikian, maka HAKI dapat dilindungi dan masyarakat dapat memiliki jaminan keamanan atas ciptaannya.

Referensi

Chattopadhyay, S. (2013). Intellectual Property Rights in Digital Environment. Reprographic Rights and Copyright Act. Kolkata: Indian Statistical Institute.

Ditjen Industri Kecil Menengah Kemenperin. (2007). Kebijakan Pemerintah dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan Liberalisasi Perdagangan Jasa Profesi di BIdang Hukum. Jakarta: Kementerian Perindustrian.

Gupta, S. (2021). Intellectual Property Rights: An Overview. International Journal of Creative Research Thoughts, 9, 696-701.

Murray, M. (2012). The Ethics of Intellectual Property: An Ethical Approach to Copyroght and Right of Publicity Law. National Center for Professional & Research Ethics.

Savale, S. K., & Savale, V. K. (2016). Intellectual Property Rights (IPR). World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 5(6), 2529-2559. doi:10.20959/wjpps20166-7102

Bagikan Artikel Ini