Oleh: Jalalludin Akmal Abdalah
Mahasiswa Program Studi Agribisnis UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Ketahanan pangan merupakan isu strategis yang akan semakin mendesak di masa depan. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2050, populasi dunia diperkirakan akan mencapai lebih dari 9 miliar jiwa. Pertumbuhan penduduk yang begitu pesat tentu akan meningkatkan kebutuhan pangan secara drastis. Di sisi lain, kita dihadapkan pada tantangan serius seperti perubahan iklim, degradasi lahan pertanian, dan krisis air. Fenomena-fenomena ini mengancam stabilitas produksi pangan global. Dalam konteks ini, ketahanan pangan tidak lagi hanya soal mencukupi jumlah produksi, tetapi juga mencakup aspek distribusi yang merata, akses yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat, serta keberlanjutan dalam proses produksinya. Tanpa transformasi signifikan dalam sistem pertanian, dunia akan menghadapi kesenjangan pangan yang lebih lebar, terutama di negara-negara berkembang.
Salah satu inovasi besar yang diyakini mampu menjadi solusi atas kompleksitas masalah ketahanan pangan adalah pertanian cerdas atau smart farming. Konsep ini mengandalkan penggunaan teknologi modern, termasuk kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), Internet of Things (IoT), drone, dan big data, untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas pertanian. Smart farming memungkinkan petani untuk mengambil keputusan berdasarkan data real-time, mulai dari pengelolaan lahan, pemupukan, hingga distribusi hasil panen. Teknologi ini menciptakan sistem pertanian yang lebih presisi dan adaptif terhadap perubahan lingkungan. Contoh implementasi nyatanya meliputi irigasi otomatis yang disesuaikan dengan kebutuhan air tanaman, pemantauan hama menggunakan kamera berbasis AI, hingga traktor otonom yang dapat beroperasi tanpa pengemudi manusia. Semua ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manual serta untuk memaksimalkan hasil produksi dalam batas sumber daya yang tersedia.
Selain itu, kecerdasan buatan atau AI ini memiliki peran kunci dalam revolusi pertanian modern. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah dalam hal prediksi cuaca dan manajemen risiko. AI mampu menganalisis pola cuaca jangka panjang dan memberikan peringatan dini terhadap potensi bencana alam seperti banjir atau kekeringan yang bisa menyebabkan gagal panen. Dalam skala mikro, AI juga dapat memantau kondisi tanaman dan mendeteksi gejala penyakit atau serangan hama lebih cepat dan akurat dibandingkan mata manusia. Dengan dukungan sensor dan kamera yang terhubung ke sistem AI, petani dapat mengambil tindakan pencegahan lebih dini, sehingga kerugian akibat hama atau penyakit bisa diminimalisasikan. Selain itu, AI juga membantu dalam mengoptimalisasi penggunaan pupuk dan air, dengan menganalisis kondisi tanah dan cuaca untuk menentukan dosis dan waktu yang paling efisien. Hal ini bukan hanya meningkatkan hasil panen, tetapi juga mengurangi pemborosan dan dampak negatif terhadap lingkungan.
Di sektor hilir, AI memainkan peran penting dalam manajemen pasokan dan distribusi pangan. Dengan algoritma prediksi permintaan pasar, petani dan pelaku industri dapat menyesuaikan produksi dan distribusi agar lebih tepat sasaran. Ini sangat penting untuk mengurangi food loss, yakni kehilangan pangan sebelum sampai ke konsumen, yang selama ini menjadi salah satu penyebab utama tidak efisiennya sistem pangan global. Dengan sistem distribusi yang lebih cerdas, hasil pertanian dapat sampai ke tangan konsumen dalam kondisi lebih segar, dengan harga yang lebih stabil, dan tanpa menimbulkan kelebihan stok yang dapat merugikan produsen.
Manfaat AI dalam sektor pertanian bukan hanya teoritis, melainkan telah terbukti secara praktis di berbagai negara. Penggunaan AI telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas pertanian tanpa harus memperluas lahan, yang saat ini semakin terbatas. Contoh implementasi nyatanya adalah perusahaan F&B di Indonesia yaitu GREENS INDONESIA yang mengembangkan pertanian modern berbasis blockchain, artificial intellegence (AI) dan Internet of Things (IoT), dengan inovasinya yang bernama GREENS pod ini memiliki kemampuan meliputi irigasi otomatis yang disesuaikan dengan kebutuhan air tanaman, mengatur cahaya, suhu, kelembapan udara dan nutrisi melalui Artificial Intellegence yang diatur secara otomatis melalui sistem IoT. Sayuran mereka dapat langsung dipanen dan di konsumsi sehingga mutu dan kesegarannya dapat terjaga sampai ke tangan konsumen. Dengan penerapan sistem pertanian 5.0 ini bisa menjadi salah satu solusi sistem produksi pangan dengan pendekatan hightech yang keren karena tidak perlu lagi bergantung pada iklim dan cuaca yang tidak menentu akhir akhir ini.
Dengan demikian, pertanian dapat berkembang tanpa mengorbankan ekosistem alam yang tersisa. Selain itu, efisiensi biaya juga menjadi keuntungan nyata. AI membantu mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan, serta meminimalisasi kebutuhan tenaga kerja manual yang mahal dan sulit diperoleh. Dampaknya adalah meningkatnya daya saing petani di pasar lokal maupun global, terutama jika teknologi ini dapat diakses oleh petani kecil dan menengah, bukan hanya oleh korporasi besar.
Namun demikian, penerapan AI dalam pertanian masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satu hambatan utama adalah tingginya biaya investasi awal. Teknologi AI, terutama yang bersifat mutakhir, masih tergolong mahal bagi sebagian besar petani, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Selain itu, masih terdapat kesenjangan teknologi dan literasi digital di kalangan petani. Banyak petani tradisional yang belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk mengoperasikan teknologi pertanian modern. Masalah ini semakin diperparah oleh keterbatasan infrastruktur digital di pedesaan, seperti jaringan internet yang belum merata dan pasokan listrik yang tidak stabil. Tak kalah penting, regulasi dan kebijakan pemerintah juga belum sepenuhnya adaptif terhadap perkembangan teknologi ini. Banyak kebijakan pertanian yang masih konvensional dan belum memberi ruang bagi inovasi berbasis AI.
Untuk menjawab berbagai tantangan tersebut, diperlukan strategi yang terkoordinasi dan kolaboratif. Pemerintah harus mengambil peran sebagai fasilitator dalam membangun ekosistem pertanian berbasis teknologi. Salah satu langkah konkret adalah dengan menyediakan subsidi atau insentif bagi petani yang ingin mengadopsi teknologi AI, terutama bagi petani kecil yang memiliki keterbatasan modal. Selain itu, pelatihan dan pendampingan secara berkelanjutan perlu diberikan agar petani tidak hanya mengenal teknologi, tetapi juga memahami cara menggunakannya secara efektif dan mandiri. Peran lembaga pendidikan dan riset juga sangat penting dalam mengembangkan teknologi AI yang sesuai dengan konteks lokal—baik dari segi harga, kondisi alam, maupun kebiasaan bertani masyarakat. Di sisi lain, kolaborasi antara sektor swasta, startup teknologi, dan institusi akademik harus diperkuat untuk menciptakan solusi-solusi inovatif yang aplikatif di lapangan.
AI bukan sekadar alat bantu teknis dalam pertanian. Ia merupakan elemen transformatif yang mampu merevolusi seluruh sistem pangan, dari hulu hingga hilir. Jika dikelola dengan bijak, inklusif, dan berpihak pada kesejahteraan petani kecil, AI dapat menjadi tulang punggung ketahanan pangan global. Indonesia, sebagai negara agraris dengan populasi besar, tidak boleh tertinggal dalam revolusi pertanian digital ini. Potensi sumber daya alam dan manusia yang kita miliki harus dimaksimalkan melalui pendekatan teknologi yang tepat guna. Masa depan pangan bangsa tidak hanya bergantung pada apa yang kita tanam, tetapi juga pada bagaimana kita menanam dan mengelola hasilnya. AI, dalam hal ini, bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan strategis yang harus segera diadopsi secara luas dan merata.