Mengapa Produk Pertanian Lokal Sulit Bersaing di Pasar Modern

Pertanian merupakan salah satu sektor vital dalam perekonomian Indonesia. Sebagai negara agraris dengan iklim tropis dan tanah yang subur, Indonesia memiliki potensi pertanian yang besar. Berbagai jenis tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan dapat tumbuh dengan baik di berbagai wilayah. Petani dan pelaku usaha kecil di sektor pertanian berperan penting dalam menyediakan kebutuhan pangan nasional. Namun, meskipun sektor ini kaya akan potensi, produk pertanian lokal masih kesulitan bersaing di pasar modern seperti supermarket, pasar swalayan, hingga pusat perbelanjaan besar. Hal ini menjadi tantangan tersendiri yang perlu dicermati secara menyeluruh.

Salah satu penyebab utamanya adalah keterbatasan dalam kualitas dan kuantitas produksi. Banyak petani lokal yang masih mengandalkan metode pertanian tradisional, yang tidak hanya menghasilkan produk dalam jumlah terbatas, tetapi juga kualitasnya sering kali tidak stabil. Perubahan iklim, serangan hama, serta kurangnya akses terhadap teknologi dan informasi pertanian modern turut memperburuk kondisi ini. Menurut data BPS tahun 2022, lebih dari 90% petani di Indonesia masih menggunakan sistem pertanian konvensional tanpa teknologi otomatisasi. Hal ini berpengaruh pada kualitas panen dan kecepatan produksi, sehingga tidak mampu memenuhi permintaan pasar modern yang membutuhkan suplai secara konsisten.

Selain itu, pasar modern memiliki standar yang tinggi terhadap produk yang akan dipasarkan. Produk pertanian yang masuk ke supermarket biasanya harus memiliki sertifikasi tertentu, seperti sertifikasi organik, standar keamanan pangan (HACCP), hingga izin edar dari Badan POM. Bagi petani kecil di pedesaan, memperoleh sertifikasi tersebut bukanlah hal yang mudah. Biayanya tinggi dan prosesnya rumit. Menurut Kementerian Pertanian, hanya sekitar 2% dari seluruh petani hortikultura di Indonesia yang telah memiliki sertifikasi GAP (Good Agricultural Practices). Banyak di antara mereka bahkan tidak tahu cara mengakses layanan sertifikasi karena kurangnya pendampingan dari lembaga terkait.

Dari segi tampilan dan pemasaran, produk pertanian lokal juga masih tertinggal. Produk hasil petani lokal umumnya dijual dalam bentuk segar tanpa kemasan menarik dan tanpa merek. Hal ini membuatnya kurang bersaing dengan produk impor yang dikemas secara profesional dan menarik perhatian konsumen. Sebagai contoh, hasil studi oleh Lembaga Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 2021 menunjukkan bahwa 76% produk sayuran dan buah yang masuk ke ritel modern di wilayah Jabodetabek merupakan produk impor atau hasil dari perusahaan besar dengan pengemasan dan branding yang sudah matang. Sementara produk lokal tanpa kemasan menarik sering kali tidak dipajang di tempat strategis dan hanya menjadi pelengkap di rak bagian belakang.

Distribusi dan rantai pasok produk pertanian lokal juga menghadapi tantangan besar. Infrastruktur jalan yang belum merata, minimnya akses kendaraan logistik yang memadai, serta kurangnya fasilitas penyimpanan seperti cold storage menyebabkan produk mudah rusak sebelum sampai ke pasar. Laporan dari World Bank tahun 2020 mencatat bahwa lebih dari 30% hasil pertanian Indonesia hilang dalam proses distribusi karena buruknya sistem pasok dan penyimpanan, terutama di wilayah timur Indonesia.

Harga produk lokal juga sering kali lebih tinggi dibandingkan produk impor. Hal ini disebabkan oleh biaya produksi yang tidak efisien, tidak adanya subsidi, serta skala usaha yang masih kecil. Produk impor dari negara seperti Thailand dan Tiongkok mendapatkan subsidi besar dari pemerintahnya, sehingga mereka bisa menekan harga jual. Akibatnya, apel dari Tiongkok atau jeruk dari Thailand bisa dijual dengan harga lebih murah dibanding buah lokal seperti jeruk Pontianak atau apel Malang.

Pemerintah sebenarnya telah mencoba mengatasi persoalan ini melalui berbagai program seperti bantuan alat pertanian, pelatihan keterampilan, dan pemberian akses pembiayaan kepada petani kecil. Namun, banyak dari program tersebut belum berjalan optimal. Laporan evaluasi Kementerian Pertanian tahun 2022, dari 2.000 kelompok tani penerima alat mesin pertanian, hanya 46% yang mampu menggunakannya secara efektif karena kurangnya pelatihan dan bimbingan teknis. Di sisi lain, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2019 yang mengatur mekanisme perdagangan hasil pertanian di pasar modern memang menjadi kabar baik bagi petani lokal. Namun, implementasinya masih lemah di lapangan karena belum adanya pengawasan dan sanksi yang jelas bagi pelaku usaha pasar modern yang tidak memberi ruang bagi produk lokal.

Meski menghadapi banyak kendala, terdapat sejumlah upaya positif yang mulai menunjukkan hasil. Beberapa kelompok petani telah melakukan transformasi dengan menjalin kerja sama bersama koperasi, platform digital, serta startup agritech. Mereka mulai menggunakan sistem pertanian berbasis teknologi, meningkatkan pengemasan, dan memanfaatkan media sosial sebagai saluran promosi. Salah satu contohnya adalah kelompok petani hortikultura di Lembang, Jawa Barat, yang melalui sistem kemitraan dengan supermarket nasional berhasil memasarkan produk sayur dan buah lokal dalam kemasan menarik dan berkualitas tinggi. Produk mereka kini memiliki label merek sendiri dan sudah dipasarkan di lebih dari 20 gerai supermarket.

Selain itu, konsumen juga memiliki peran penting dalam mendukung produk pertanian lokal. Konsumen dapat berperan aktif dengan memilih membeli produk lokal di pasar modern dan menyebarluaskan informasi positif tentang kualitas produk dalam negeri. Kesadaran konsumen terhadap pentingnya kemandirian pangan dan keberpihakan pada petani lokal bisa menjadi daya dorong besar untuk mengubah pola pasar.

Agar produk pertanian lokal bisa benar-benar bersaing, dibutuhkan kolaborasi erat antara petani, pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat. Pemerintah perlu lebih aktif dalam memberikan dukungan berupa subsidi, pelatihan teknis, bantuan kemasan dan promosi, serta mempermudah akses sertifikasi. Supermarket dan pasar modern juga perlu diberi insentif agar mau memberi ruang lebih luas untuk produk lokal. Sementara itu, lembaga pendidikan dan komunitas pertanian dapat membantu dengan pendampingan teknis dan penyuluhan berkelanjutan.

Produk pertanian lokal menyimpan potensi besar, tidak hanya dari segi kualitas dan keanekaragaman, tetapi juga dalam hal pemberdayaan ekonomi masyarakat desa. Dengan dukungan nyata dari semua pihak, pertanian lokal tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga tumbuh menjadi sektor unggulan yang mampu menyuplai kebutuhan pangan dalam negeri dan bersaing di pasar global.

Bagikan Artikel Ini