Beranda » ESAI: Eratnya Budaya Toxic Masculinity di Masyarakat Indonesia

ESAI: Eratnya Budaya Toxic Masculinity di Masyarakat Indonesia

Apa itu toxic masculinity? mungkin sebagian besar masyarakat tidak mengetahui istilah ini. Toxic masculinity merupakan kalimat dari bahasa Inggris yang berarti konsep kemaskulinan beracun, lahir dari adanya sistem sosial dari masyarakat patriarki. Toxic masculinity ini mengacu pada perilaku sebagaimana laki-laki dikenal di masyarakat, apabila laki-laki tersebut memiliki sisi feminin lalu ditekan oleh orang-orang sekitarnya bahwa laki-laki tidak boleh menunjukkan sisi femininnya, maka orang-orang tersebut bisa dikatakan toxic terhadap nilai kejantanan laki-laki (toxic masculinity).
 
Menurut peneliti, toxic masculinity adalah jabaran sempit mengenai sikap dan perilaku gender laki-laki, di mana laki-laki harus bisa mengendalikan emosi pada tekanan, bersikap dominan, berpenampilan macho, memiliki jiwa kepemimpinan, tegas, dan berani.
Menurut artikel factnews.com yang berjudul toxic masculinity sebagai berikut:
1. Seorang laki-laki harus kuat, tidak boleh emosional ketika laki-laki marah.
2. Seorang laki-laki harus bisa mengatur hubungan, jika laki-laki kurang dominan dalam hubungan, berarti laki-laki lemah.
3. Seorang laki-laki dikatakan gagal ketika laki-laki tidak menjadi seseorang yang bisa menghidupi keluarganya.
4. Perundungan yang terjadi pada laki-laki karena sifat atau bentuk atau gerak tubuh yang ‘’agak’’ feminin.
Menurut factnews.com masyarakat yang membentuk hal-hal maskulin pada laki-laki, jika laki-laki tidak mengikuti hal-hal tersebut, maka akan dianggap laki-laki tersebut tidak maskulin, hal ini disebut toxic masculinity.
 
Jika kita telisik bersama, budaya masyarakat di Indonesia mengenai pandangan yang salah tentang maskulinitas masih banyak sekali. Beberapa pandangan Toxic Masculinity yang ada dimasyarakat antara lain: (a) Laki-laki harus menghindari apapun yang bersifat feminin atau yang berhubungan dengan wanita. Contohnya, keengganan untuk melakukan aktivitas rumah yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan, seperti memasak, berkebun, mengasuh anak, dan menyapu. Padahal dalam perkembangan dinamika dimasyarakat, pekerjaan memasak sudah tidak lagi didominasi oleh kaum hawa; bahkan untuk pekerjaan koki (chef), Chef laki-laki lebih banyak dibandingkan chef perempuan. Terbukti dengan banyak chef laki-laki yang terkenal seperti Chef Juna, Chef Arnold, Chef Matthew, Chef Willgoz, dan masih banyak lagi.
 
Laki-laki yang bisa memasak biasanya akan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dalam memperhatikan hal-hal yang detil, memiliki hidup yang berkualitas, dan bahkan mendukung adanya kesetaraan gender di masyarakat. Dibuktikan pada kasus Chef Arnold mengamuk usai anaknya di komentari jahat oleh netizen soal anaknya gendong boneka bayi (15/06/2022).
Netizen nyinyir itu protes bahwa seorang anak laki-laki tidak seharusnya bermain boneka.

“Waduh ini anak laki-laki kan. Masa anak laki-laki mainannya mainan untuk perempuan. Hati-hati nanti sudah besarnya?” tanya netizen nyinyir itu yang mengomentari sebuah video anak Chef Arnold, Arthur.

Melihat komentar itu, Chef Arnold tak tinggal diam. Ia langsung pasang badan dan memberikan balasan menohok.

“Memang kenapa kalau laki-laki main baby-baby’an? Atau sapu-sapuan? Terus kalau masak untuk perempuan juga? Kalau nanti Arthur besar bisa jaga baby dan rajin bersih-bersih.. I would be damn proud. Kasihan sekali jaman sekarang masih ada pemikirannya seperti itu,” tulis Chef Arnold (Instagram/@arnoldpo)

Chef Arnold menekankan bahwa masa depan anak tidak ditentukan oleh mainannya di masa kecil. Chef Arnold pun mempertanyakan maksud dari komentar nyinyir si netizen.

“Masa depan anak bukan ditakdirkan dengan mainan dia di masa dini. Melainkan Tuhan sudah ada rencana dan juga memberikan hikmat kepada kami orang tua untuk mendidik dan mensupport anak kita di masa depan,” ujar Chef Arnold (Instagram/@arnoldpo)

Melihat kasus diatas membuktikan bahwa budaya toxic masculinity masih amat melekat pada masyarakat Indonesia, bahkan anak kecil pun menjadi korban dari nilai maskulinitas tersebut. Anggapan bahwa anak laki-laki tidak boleh main mainan anak perempuan seperti main boneka-bonekaan, masak-masakkan, bekel, lompat karet, dan lain sebagainya seakan-akan menanam nilai maskulinitas dari masa kecil dan mengkhawatirkan kemaskulinitasan anak laki-laki di masa dewasanya nanti.
Pada tayangan video berjudul ‘’COWOK GA BOLEH NANGIS? INI CERITA MEREKA TENTANG TOXIC MASCULINITY | Ternyata Begini S3’’ yang diproduksi oleh channel YouTube Cretivox (8/1/2022). Penulis mendapatkan data sebagai berikut:
1. Kurang lebih 9 dari keseluruhan partisipan/talent belum mengetahui, tidak mengetahui, dan lupa mengenai apa itu toxic masculinity.
2. Sebagian besar talent dari keseluruhan talent pernah atau sering mengalami toxic masculinity.
3. Beberapa dari mereka merasa mengalami toxic masculinity karena didikan dari orang tuanya.
4. Bentuk toxic masculinity yang dialami talent bermacam-macam, seperti laki-laki tidak boleh menangis, laki-laki tidak boleh mengeluh, laki-laki tidak boleh memakai baju warna pink, laki-laki tidak boleh memakai anting, laki-laki tidak boleh berambut gondrong (seperti perempuan), laki-laki tidak boleh menari, laki-laki tidak boleh banyak berteman dengan perempuan, dan masih banyak lagi.
Dari video Creativox tersebut banyak sekali komentar mengenai toxic masculinity oleh mereka laki-laki yang mengalaminya.

‘’Aku dulu pernah jadi korban toxic ini sih, mulai dari aku tidak bisa olahraga, tidak bisa main sepak bola, cengeng, lemah, suara lembut yang memang dari sananya sudah lembut, dll. Aku berharap banyak orang-orang Indonesia itu bisa dapat edukasi tentang hal ini. Pokoknya thanks banget for cretivox yang selalu bikin edukasi yang baik. ’’(YouTube/Indomie Boy)

‘’Salah satu toxic masculinity di keluarga aku yang super kolot dan menghasilkan kebiasaan yang malah lebih buruk adalah ‘LAKI-LAKI KOK MENYAPU/MENGEPEL/MENCUCI PIRING/DAN PEKERJAAN RUMAH LAINNYA’ serius yang seperti ini harus dihentikan. Kakakku yang seharusnya rajin bebersih malah dikatai banci karena begitu. Pada akhirnya laki-laki di keluargaku tidak ada yang tahu semua pekerjaan rumah bahkan hal basic seperti menyapu. Malah merugikan sekali bukan.’’ (YouTube/Chaeyoungs Hairpin)

Jadi kesimpulan dan opini penulis mengenai toxic masculinity yang juga berdasarkan pada fakta-fakta di masyarakat bahwasanya konstruksi makna toxic masculinity di masyarakat mengenai stigma bahwa laki-laki maskulin harus macho, tegas, berani, tidak mengenakan sesuatu yang berkaitan dengan perempuan sudah terbentuk karena internalisasi nilai kemaskulinan yang sudah berkembang sejak bayi laki-laki dilahirkan, pengkotak-kotakkan sikap dan perilaku seorang laki-laki sudah tertanam sejak kecil. Padahal sejak bayi, setiap anak laki-laki terlahir berbeda-beda. Misalkan saja ada yang terlahir memiliki sifat macho, tegas, berani, bisa memimpin dan sebagainya. Namun, ada juga laki-laki yang memiliki suara lembut, kurang tegas, kurang pandai berolahraga, lebih menyukai warna yang terang, dan lain sebagainya. Hal tersebut tidaklah salah, karena dalam ilmu biologisnya mungkin saja laki-laki yang seperti itu karena jumlah hormonnya yang kurang seimbang. Maka dari itu, mari hentikan tindakan toxic masculinity dengan menghargai orang lain sebelum orang lain menghargai kita.
Bagikan Artikel Ini