Beranda » Demokrasi Hanya Sekadar Formalitas?

Demokrasi Hanya Sekadar Formalitas?

Jika kita telusuri demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, oleh karena itu dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat atau lebih dikenal pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi merupakan bentuk atau makanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya menciptakan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara. Demokratis berasal dari kata demos dan kratos ini artinya pola pemerintahan berasal dari rakyat. Seperti pemerintah (Presiden) dipilih oleh wakil rakyat, oleh karena itu kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.

Namun pelaksanaannya di Indonesia masih sekadar simbolis saja, sebuah manipulasi kedaulatan rakyat yang nyata, yang hanya menjanjikan optimisme belaka, akankah arti demokrasi yang sebenarnya akan terwujud?

Demokrasi dikembangkan untuk menumbuhkan partisipasi rakyat, bukan partisipasi kelompok atau seseorang saja. Peran rakyat lebih penting dan dihargai karena berperan sebagai pengambil keputusan untuk kepentingan publik. Seperti halnya dalam menentukan Kepala Daerah, Bupati, Gubernur, dan Presiden dalam sistem demokrasi harus dipilih oleh rakyat. Kekuasaan dapat diraih bila dinlai oleh rakyat dan publik mempunyai kompetensi serta kejujuran kepemimpinan. Kekuasaan didapat melalui pemilihan dengan suara terbanyak, inilah esensi demokrasi dan publik berperan penting.

Namun faktanya politik uang masih marak terjadi dan terus menerus terjadi seperti tanpa halangan yang berarti, inikah yang dinamakan di dalam demokrasi peran rakyat lebih penting dan dihargai. Apakah pemilihan-pemilihan perwakilan daerah hingga kepala negara berlangsung jujur dan adil? Seakan menjawab pertanyaan tersebut kasus-kasus kotor tentang pemilihan umum selalu muncul dan membeberkan fakta di balik layar. Siapakah yang harus disalahkan? Sistem demokrasi yang melenceng atau oknum-oknum yang bersembunyi di balik demokrasi, oknum-oknum yang paling keras menyuarakan demokrasi namun malah yang paling depan merusak makna demokrasi itu sendiri.

Salah satu pilar demokrasi yaitu prinsip trias poitica yang membagi tiga kekuasaan politik negara (Eksekutif, Yudikatif, Legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga macam lembaga nagara yang independent dan berada di peringkat yang sejajar antara satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga lembaga negara ini diperlukan agar ketiga Lembaga ini dapat saling mengawasi. Demokrasi memberikan pengertian yakni sumber kekuasaan yaitu rakyat dengan pemahaman rakyat akan menciptakan suatu aturan yang akan menguntukan dan melindungi hak-haknya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu aturan yang mendukung gagasan dan menjadi landasan di dalam kehidupan bernegara untuk menjamin dan melindungi hak rakyat. Demokrasi adalah kata kunci dalam ilmu politik, demokrasi juga disebut sebagai indicator perkembangan kekuasaan suatu negara (dalam konsep trias politica).

Seperti kasus terbaru di tahun 2021 ini bupati non-aktif Probolinggo, Puput Tantriana Sari disetir suaminya Hasan Aminuddin yang juga anggota DPR dalam mengambil keputusan. Puput dan Hasan sendiri sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap jual beli jabatan di lingkungan pemerintah Kabupaten Probolinggo. KPK total menetapkan 22 orang sebagai tersangka kasus dugaan suap jual beli jabatan kepala desa (kades) di lingkungan pemerintah Kabupaten Probolinggo tahun 2021. Sebagai penerima, yakni Bupati Probolinggo periode 2013-2018 dan 2019-2024 Puput Tantriana Sari (PTS) dan suaminya anggota DPR RI periode 2014-2019 dan 2019-2024 dan pernah menjabat sebagai Bupati Probolinggo 2003-2008 dan 2008-2013, Hasan Aminuddin (HA).

Kemudian, Doddy Kurniawan (DK), aparatur sipil negara (ASN)/Camat Krejengan, Kabupaten Probolinggo, dan Muhammad Ridwan selaku ASN/Camat Paiton, Kabupaten Probolinggo. Sementara 18 orang sebagai pemberi merupakan ASN Pemkab Probolinggo, yaitu Sumarto (SO), Ali Wafa (AW), Mawardi (MW), Mashudi (MU), Maliha (MI), Mohammad Bambang (MB), Masruhen (MH), Abdul Wafi (AW), Kho’im (KO). Selanjutnya, Akhmad Saifullah (AS), Jaelani (JL), Uhar (UR), Nurul Hadi (NH), Nuruh Huda (NUH), Hasan (HS), Sahir (SR), Sugito (SO), dan Samsudin (SD). Adapun tarif untuk menjadi penjabat kepala desa di Kabupaten Probolinggo sebesar Rp 20 juta per orang, ditambah dalam bentuk upeti penyewaan tanah kas desa dengan tarif Rp 5 juta per hektare.

Kasus tersebut sudah cukup menggambarkan buruknya pelaksanaan demokrasi dan kepemimpinan di Indonesia. Dan jika dibeberkan masih banyak kasus politik uang yang terjadi seakan tidak ada perubahan hal ini dari tahun ke tahun tidak pernah habis dan berkurang. Bahkan disaat keadaan pandemi sekarang ini masih banyak oknum-oknum yang melakukan korupsi, suap, dan lainnuya. Inikah arti demokrasi sebagai dasar negara? Inikah nilai dari sila-sila Pancasila yang luhur? Persoalan demokrasi terbesar kita saat ini ada pada lemahnya partai politik. Bukti persoalan partai politik bermula dari rekrutmen kader sebagian besar tidak serius dan asal-asalan. Tokoh masyarakat yang berkualitas, dosen, peneliti semakin sedikit yang terlibat di eksekutif maupun legislatif. Dua dekade setelah Reformasi, partai belum mulai menunjukkan ikhtiar yang serius dalam melakukan rekrutmen dan kaderisasi partai politik hanya dilakukan pada masa menjelang pemilu.

Di sisi lain, pemilu dalam sistem proporsional terbuka tidak memperkuat pelembagaan partai politik karena kader yang loyal terhadap partai bisa dikalahkan oleh kader pendatang baru yang memenangkan kompetisi karena mampu mempraktikkan politik uang dengan lebih masif. Akhirnya sistem politik nasional diisi oleh kader-kader instan. Pemilu biaya tinggi karena masifnya praktik politik uang merupakan catatan lainnya. Ed Aspinall dan Ward Berenchot (2019) mencatat bahwa dari masa ke masa, pemilu di era Reformasi semakin mahal dari mulai level lokal sampai nasional dengan Pemilu 2019 sebagai pemilu termahal. Biaya pemilu yang tinggi ini berdampak pada maraknya praktik korupsi di berbagai level lembaga negara karena para calon terpilih baik di legislatif berkepentingan mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan.

Masalah lainnya adalah Dinasti Politik. Dinasti politik berpotensi besar menimbulkan perilaku korupsi. Dinasti politik cenderung melahirkan korupsi dari pada politisi lain yang berkembang tanpa melibatkan keluarga. Pemerintah telah mengatur pencegahan berdirinya dinasti politik melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang. Dalam aturan tersebut, orang yang memiliki ikatan perkawinan dan darah lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan inkumben tidak boleh menjabat kecuali jeda satu periode.

Selama ini, para calon kepala daerah petahana itu sudah seperti membangun sebuah kerajaan sendiri. Dia memiliki kekuasaan besar sebagai Kuasa Pengguna Anggaran yang jumlahnya ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Dan mereka juga punya otoritas mengangkat, memutasikan, dan juga menentukann program. Faktanya, daerahnya tidak maju, masyarakatnya tidak sejahtera, tapi keluarga si petahana semakin kaya, kroni dan kerabat makin makmur, masyarakat makin miskin.

Maka dapat disimpulkan dan dikatakan pelaksanaan demokrasi di Indonesia belum berjalan seperti halnya arti demokrasi itu sendiri, dapat dikatakan juga demokrasi masih sebatas formalitas dan label dasar negara Indonesia. Hal ini tentu memprihatinkan bahwa negara kita belum bisa dikatakan negara yang berpegang teguh pada dasarnya, negara yang pemerintahan maupun sistemnya masih sangat jauh dari kata ideal dan sempurna. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat demokrasi akan selalu mengalir di setiap langkah perjalanan bangsa Indonesia dan kita sebagai rakyat Indonesia harus optimis bahwa masalah-masalah demokrasi yang terjadi pada saatnya akan berakhir dan demokrasi di Indonesia bukan lagi sekedar formalitas saja, namun dimaknai dengan sungguh-sungguh.

(***)

Bagikan Artikel Ini