Beranda » Suara Rakyat Kok Dibeli

Suara Rakyat Kok Dibeli

Ilustrasi - Sumber Foto : Dokumentasi Penulis

Manusia berbondong-bondong menuju TPS untuk berpartisipasi atas hak suaranya. Juga sejoli ini yang baru di akui oleh negara.sekitar 3 bulan mereka berdua bikin KTP, sebut aja namanya Mus dan Monang.
”Ngapa lo senyum-senyum, mau partisipasi aja kaya mau rebut saweran.” ucap monang yang melihat mus meseum-meseum sedari tadi.

”Siapa sih yang gak seneng mau milih pasangan?” dengan bangga monang menjawab.
”Gue tahu lo jomblo tapi plis jangan gila kaya gini sumpah kasian gue.”
“Kaya yang sendirinya punya cewe aja. Eh lu dapet apaan tuh dari pasangan calon gubernur ?”.

Mendengar ucapan mus barusan, mulut monang gatal rasanya ingin menceramahi. Al hasil monang mengeluarkan kalimat yang panjang. Jiwa berfikir krisisnya mulai aktif.
”Gak penting dapet apa-apanya pemberi embel-embel paling banyak belum tentu menjadi pemimpin yang baik kelak.

Berlomba-lomba mendatangi manusia bawahan, untuk menarik hasrat masyarakat memberikan sebuah hak yang seharusnya tidak dengan cara seperti itu. Hak ditukarkan dengan cuan, bagimana bias majunya Negeri ini. Tak apa jika suatu masyarakat itu dapat berfikir dengan pintar, memikirkan kedepannya bukan malah memikirkan dirinya.”

”Jangan jauh-jauh deh, di Sekolah lo aja Gimana tuh cara lo dalam berpartisipasi? Apa lo terhasut dengan sogokan geli itu? Hak suara lo itu harus digunakan dengan yang bener. Jangan sampai lo memilih pemimpin yang lacut hanya karena ia kasih lo sejumlah cuan dengan rupiah yang besar.” Monang melanjutkan perkataannya.

Sembari menyusuri gang kecil menuju tps, mus dan Monang berbincang mengenai pemilihan umum yang akan terselenggara hari ini. Mus bungkam mendengar ocehan Monang yang memang bijak itu. Ngapain juga gue sibuk-sibuknya mikirin siapa calonpasangan yang paling banyak bantu warga saat ini. Yang harus difikirkan bagaimana kelak mereka yang akan menjadi pemimpin dapat mengayomi masyarakat.
Saya mau pilih no.1 karena dia banyak banget kasih saya kebutuhan pokok.

Saya mau golput aja deh, lagian kan belum tentu yang saya pilih bakalan menang.
Mendengar ocehan warga saat mus dan Monang melewatinya tak sengaja mendengarkan, Monang dan Mus segera menghampiri ibu-ibu paruh baya dan pedagang bakso.

”Maaf bu, pak sebelumnya saya hanya saran saja, jika ibu bapak pilih yang paling banyak kasih bahan pokok, apakah dia akan seperti itu seterusnya setelah ini? Dan kenapa pilihannya golput? Dengar baik-baik yah pak, satu suara itu sangat berarti dalam pemilu. Dan satu lagi, harus memilih dengan profesional, jangan termakan sogokan geli itu. Suara rakyat bukan untuk dibeli.”

Monang dengan tegas berbicara. Mus hanya manggut-manggut seakan-akan ia juga paham atas pembicaraan Monang.
TPS yang sangat ramai membuat Monang dan Mus penat dan jengah rasanya. Mereka berdua memutuskan untuk sekadar ngopi di warung. Dan melanjutkan perbincangan tentang partisipasi politik warga ini.

”Ada bermacam-macam lho manusia berpartisipasi seperti apa. Salah satunya yang bikin gue gondok yaitu golput, tahu Lo golput? Nah ini nih manusia yang tidak punya pendirian,eh tapi bisa aja sih goput adalah pendiriannya hehe. ngapain Lo ikut nyumbangin hak suara Lo kalo semua pasangan Lo colok, atau gak ada yang dicolok sama sekali. Golongan ini tuh disebutnya apatis.”

”Ngaku sama gue kalo Lo pernah jadi orang yang apatis dalam berpartisipasi memilih calon pasangan.” tanya Monang mengintimidasi.
”Lah gue kan kaga pernah nyoblos, ktp qja baru jadi.”

”Ya disekolah kan ada nyoblos ketua osis oncom. Golput kan lho? Orang kaya lo kaga ada pendirian.”

”Iya gue golput, dan kata siapa gue gak ada pendirian? Golput itu pendirian gue dong haha.”

”Huh dasar APATIS!”
”Waduh dek, masih kecil kaya udah paham perpolitikan aja.” kata ibu warung saat memberikan kopi pesanan Monang dan Mus.

Dalam benak monang berkata, Bisa-bisanya ibu warung ini berkata seperti itu, saya bukannya sok tahu tapi menurut pandangan dan pemikiran saya ya memang seperti itu dan nyatanya gitu kan.

”Alasan yang paling familiar buat manusia-manusia yg berpartisipasi apatis itu biasanyaua mereka merasa tidak ada calon pasangan yang layak untuk dipilih. Lah terusngapain juga berpartisipasi, mending tidurnyenyak di kasur empuk.”

kini mus yang angkat suara. Monang terkagum dengan ucapan mus ini, ada angin dari mana dia. Siapapun yang menjadi pemimpin tidak akan mempengaruhi keadaan saya dek, Maksudnya begini, kalo seperti ini seperti pemilihan pasangan presiden. Kurang lebih seperti ini perkataannya, “mau saya pilih siapapun, pemimpin itu gak bakalan lirik saya, merhatiin lirik, segini luasnya Indonesia saya gak bakal ngerasain manis-manisnya.”

”Gini aja bu, kita lihat setahun kedepankan untuk gubernur yang terpilih ini, bagaimana beliau menjadi seorang pemimpin, bagaimana memenuhi janji-janjinya, apakah perkataanya terbukti dan apakah sogokan geli itu yang membuat warga terpikat saat itu akan selalu terpikat sampai selama masa jabatan?” ucap Monang yang membuat ibu warung dan juga mus tak sabar menunggu 1 tahun kedepankan nanti.

Ibu ingat saat kampanye Akbar pak presiden kita di GBK? Pak presiden mengatakan kami bertekad tidak ada lagi rakyat yang tertinggal dari kemiskinan dan berjanji untuk tingkatkan kesejahteraan seluruh lapisan rakyat. Nah gimana tuh sekarang, apakah perkataannya terpenuhi? Tentu saja tidak. Nah menurut saya nih kata seperti itu tuh sogokan lewat ucapan. Yang membuat masyarakat tergiur akan kata-katanya. Apalagi yang rakyat miskin, mereka dengan semangat untuk berpartisipasi pada pasangan yang kampanye tersebut.” monang melanjutkan.

Kalo di fikir-fikir sekarang, masih ada rakyat yang tertinggal dari kemiskina, Apalagi saat masa pandemi, rakyat banyak sekali yang kehilangan pekerjaannya ya walaupun itu demi menyelamatkan masyarakat dari covid-19.” mus menimpali.

”Bener sekali dek mus, dek Monang. Yasudah cepet nyoblos sana udah lumayan sepi. Ibu mau lanjut kerja.
Monang dan Mus berlalu menuju KPS melangkahkan kakinya untuk berpartisipasi, memberikan hak suaranya.

Satu tahun setelah masa pemilu itu, Kini mus dan Monang telah menjadi mahasiswa. Membuktikan bagaimana jiwa pemimpin yang telah terpilih setahun silam. Perkataan yang bullshit, sogokan yang geli hak suara rakyat yang saat itu dibeli, dan ini hasilnya? Melalui satu organisasi, Monang dan Mus mengikutin suatu aksi demo. Orasi-orasi, puisi-puisi juga slogan dan poster di bawakan.

Korupsi yang menjiwai seorang pejabat, anak-anak kecil tak sekolah, isu korupsi, pendidikan, kemiskinan, penyakit masyarakat, dan masih banyak lagi. Rakyat sudah seperti tak terurus saja. Monang jadi ingat pada Ibu warung waktu itu.
Setelah Aksi itu selsai, Monang dan Mus pergi ke warung yang setahun lalu menjadi tempat perbincangan politik dan sekarang juga akan membicarakan hal politik dengan wibawa yang berbeda.

”Keren dek monang dan mus sudah jadi mahasiswa yah sekarang.” sambut ibu warung.

”Iya dong bu, mari bu kita kupas pasal yang dulu ingin kita lihat bagaimana pejabat yang terpilih menjadi pemimpin.” ucap mus antusias.

”Seperti yang kita rasakan saat ini, korupsi masih dimana-mana, apalagi masa pandemi seperti ini. Bantuan dana sosial terkuras, lahan pekerjaan sedikit dan tidak seperti yang selalu si mus bicarakan. Masalah yang paling banyak memberi sembako, real itu sogokan yang geli sekali menurut saya bu.” jelas Monang.

”Yasudah kalo begitu kita tunggu dek Monang jadi pemimpinnya saja.” ucap ibu yang membuat Monang tercengang.
”Saya aja bu, sudah siap.” kata mus.
Mendengar perkataan Mus, ibu warung dan Monang tertawa. Mau jadi pejabat kaya mau jadi apa aja. Setelah itu obrolan mereka bertiga beralih pada topik lain.

Bagikan Artikel Ini