Pilkada Ulang di Kabupaten Serang Menyisakan Catatan Kotor bagi Demokrasi

Linda Agustin
Mahasiswi Administrasi Publik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

 

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan instrumen demokrasi yang fundamental dalam menentukan legitimasi kepemimpinan daerah. Maka dari itu, penyelenggaraan Pilkada seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat untuk menyalurkan hak pilihnya secara bebas dan adil. Namun, Pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Kabupaten Serang pada 19 April 2025 menunjukkan adanya sejumlah persoalan signifikan yang mencerminkan terjadinya kerentanan demokrasi lokal terhadap praktik politik yang tidak sehat.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PHPU.BUP-XXIII/2025 menjadi dasar hukum bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan penyelenggaraan PSU di Kabupaten Serang. Isu politik uang (money politic) dan ketidaknetralan aparatur negara pada Pilkada 2024 menjadi salah satu faktor utama yang melatarbelakangi putusan ini dikeluarkan. Hal ini tentu membuktikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya menjadi fondasi dalam proses politik di tingkat daerah masih lemah. Kondisi tersebut bahkan dianggap mencederai kepercayaan publik terhadap integritas mekanisme elektoral yang seharusnya menjamin keadilan, kebebasan, dan kesetaraan bagi seluruh pemilih.

Awal mula perintah PSU ini berasal dari sengketa hasil Pilkada yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh salah satu pasangan calon (paslon) yakni paslon nomor urut satu, yaitu Andhika Hazrumy dan Nanang Supriatna, yang menggugat hasil pemilihan dengan alasan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Salah satu temuan krusial yang menjadi pertimbangan MK adalah bukti keterlibatan Yandri Susanto, selaku Menteri Desa dan Pembangunan Daerah tertinggal (Mendes PDT), yang hadir dalam forum dan secara terang-terangan mengarahkan kepala desa untuk mendukung pasangan calon nomor urut dua, yaitu Ratu Rachmatuzakiyah, yang diketahui adalah istri dari Mendes PDT tersebut.

MK menilai bahwa tindakan tersebut bukan merupakan tindakan yang hanya bersifat simbolis, tetapi juga merupakan bagian dari strategi pemenangan yang telah  direncanakan secara terstruktur. Agenda konsolidasi tersebut juga bahkan menghadirkan sebanyak 277 kepala desa dari seluruh wilayah di Kabupaten Serang, yang memperkuat dugaan adanya intervensi kekuasaan dalam proses pemilihan umum.

Meski begitu, pihak tergugat, yakni Yandri Susanto membantah tudingan tersebut dengan menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki pengaruh sebesar itu dan kehadirannya hanya bersifat seremonial tanpa unsur pengarahan politik. Namun, Mahkamah Konstitusi tetap menilai bahwa keterlibatan pejabat negara dalam forum yang dapat mempengaruhi netralitas perangkat desa merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip netralitas dalam pemilu. Hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, khususnya terdapat pada pasal 282, yang menegaskan bahwa pejabat negara dilarang membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

Pada akhirnya, berbagai bukti-bukti sengketa serta dugaan adanya mobilisasi pemilih melalui penyalahggunaan bantuan sosial dan fasilitas negara, serta laporan bahwa pendistribusian logistik dan proses perhitungan suara tidak berjalan transparan di sejumlah TPS, turut menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam menggugurkan hasil Pilkada 2024 yang sebelumnya dimenangkan oleh paslon nomor urut dua yaitu Ratu Rachmatuzakiyah dan Najib Hamash menjadi batal.

Kendati demikian, meski telah diberi ruang untuk pemungutan suara ulang, pelaksanaan PSU masih sarat akan pelanggaran. Di mana praktik politik uang lagi-lagi menjadi salah satu pelanggaran yang paling mencolok dalam prosesnya. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Serang menemukan adanya dugaan politik uang di enam kecamatan, yaitu Ciruas, Tunjung Teja, Cikeusal, Cikande, Gunungsari, dan Kopo, pada 18 April 2025. Sebanyak 12 orang diperiksa terkait dugaan ini, dengan barang bukti uang tunai senilai Rp18.275.000 yang diduga akan digunakan untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian, Bawaslu Kabupaten Serang melanjutkan penanganan terhadap 10 dari 12 terduga pelaku politik uang yang berasal dari empat kecamatan, di mana dua dari empat kecamatan yang ditelusuri secara mendalam, yakni Cikande dan Tunjung Teja, dinyatakan memenuhi unsur pelanggaran pidana pemilu dan kasusnya dilimpahkan ke pihak kepolisian untuk diproses secara hukum.

Dampak dari PSU ini tidak sekadar hanya mempengaruhi kepercayaan publik, tetapi juga membebani anggaran daerah. Biaya yang dikeluarkan untuk PSU mencapai Rp49,73 miliar, sementara anggaran yang disediakan hanya Rp8,6 miliar. Akibatnya, Pemkab Serang harus memangkas dana dari program sosial untuk mencukupi kekurangan tersebut. Di sisi lain, pelaksanaan PSU juga tidak sepenuhnya berjalan secara lancar dan efisisen. Tantangan teknis seperti keterlambatan distribusi logistik dan kesalahan teknis lainnya menjadi faktor penghambat terselenggaranya pemungutan suara yang tidak efisien dan tepat waktu.

Secara konseptual, kasus PSU di Kabupaten Serang menjadi contoh kontret bagaimana tantangan demokrasi di tingkat lokal ini harus direspon secara kritis melalui penguatan pendidikan politik, peningkatan kapasitas pengawasan pemilu, serta reformasi birokrasi untuk menjamin netralitas aparat. Komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi tidak boleh berhenti hanya sampai pada aspek prosedural semata, tetapi harus terus diwujudkan dalam praktik yang menjunjung tinggi integritas, transparansi, dan akuntabilitas.

Bagikan Artikel Ini