Opini Publik Ketimpangan Gaji antara Guru Honorer dan Guru PNS (Studi Kasus di SDN Jeruk Tipis 2)

Guru merupakan elemen penting dalam dunia pendidikan, sebagai ujung tombak pembentuk generasi masa depan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya ketimpangan mencolok dalam sistem kesejahteraan, terutama antara guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan guru honorer. Fenomena ini menjadi semakin relevan ketika dikaji secara spesifik, seperti yang terlihat di SDN Jeruk Tipis 2, sebuah sekolah dasar negeri di kawasan semi-perkotaan yang masih mengandalkan tenaga honorer untuk memenuhi kebutuhan pengajaran. Melalui survei opini publik terhadap orang tua murid dan masyarakat sekitar, artikel ini mencoba menggambarkan bagaimana ketimpangan gaji ini dipersepsikan oleh publik, serta apa dampak yang dirasakan di lingkungan sekolah.

Survei dilakukan terhadap 100 responden, terdiri dari orang tua siswa (70%), tokoh masyarakat (20%), dan warga sekitar sekolah (10%). Hasilnya menunjukkan bahwa 82% responden menyadari adanya kesenjangan gaji yang signifikan antara guru honorer dan guru PNS, meskipun beban kerja dan tanggung jawab keduanya relatif setara. Sebanyak 76% responden menilai ketimpangan ini tidak adil, dan bahkan 60% menyebutkan bahwa ketidakadilan tersebut berdampak pada motivasi kerja guru honorer.

Dari data sekolah, guru PNS di SDN Jeruk Tipis 2 menerima gaji tetap, tunjangan sertifikasi, dan berbagai insentif lain yang totalnya bisa mencapai di atas Rp8.000.000 Hinga Rp. 10.000.000 per bulan. Di sisi lain, guru honorer hanya menerima kisaran Rp. 800.000 hingga Rp. 1.200.000 per bulan, tergantung dana BOS dan kebijakan kepala sekolah. Ironisnya, banyak dari mereka yang menjadi tulang punggung keluarga, menanggung kebutuhan rumah tangga dengan penghasilan yang tidak sebanding dengan beban kerja yang diemban. Hal ini membuat sebagian guru honorer harus mencari pekerjaan tambahan, seperti menjadi Tukang Sablon, berdagang, atau memberi les privat, demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Ketika ditanya apakah mereka merasa anak-anak mereka mendapatkan pengajaran yang setara dari guru honorer dan guru PNS, 58% menjawab ya, namun 42% lainnya merasa ada perbedaan dalam kualitas atau konsistensi pengajaran. Hal ini bisa dikaitkan dengan beban psikologis dan finansial yang dialami guru honorer, yang sering kali harus mencari pekerjaan tambahan di luar jam sekolah.

Menariknya, sebagian besar responden (67%) mendukung pengangkatan guru honorer menjadi ASN atau PPPK sebagai solusi jangka panjang untuk mengatasi ketimpangan ini. Mereka menilai bahwa status kepegawaian yang jelas dan gaji yang layak akan meningkatkan loyalitas serta kualitas pendidikan secara menyeluruh.

Ketimpangan gaji antara guru honorer dan guru PNS di SDN Jeruk Tipis 2 bukan hanya persoalan administratif, melainkan telah menjadi isu sosial yang disadari oleh masyarakat sekitar. Survei ini mengungkapkan bahwa publik tidak hanya peduli, tetapi juga mengharapkan adanya perubahan nyata dalam sistem rekrutmen dan pemberian insentif bagi guru honorer. Dalam konteks yang lebih luas, pemerintah daerah maupun pusat perlu mempercepat regulasi yang menjamin kesejahteraan guru honorer demi menciptakan pendidikan yang lebih adil dan berkualitas di seluruh Indonesia.

Penulis:

Saripudin (Mahasiswa)

Angga Rosidin (Dosen Pembimbing)

Zakaria Habib Al-Ra’zie (Kaprodi)

(Program Studi Administrasi Negara Universitas Pamulang Kampus Serang)

Bagikan Artikel Ini