Beranda » Kritik Seni Pertunjukan terhadap Musik Tradisional Gambang Kromong karya Puspo Budoyo

Kritik Seni Pertunjukan terhadap Musik Tradisional Gambang Kromong karya Puspo Budoyo

A. Deskripsi

Musik tradisional Gambang Kromong tersebut menyajikan lagu bertajuk Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki. Gambang Kromong yang berasal dari daerah Betawi ini diunggah oleh laman Youtube RBN – Puspo Budoyo pada 18 Juni 2021 dan telah ditotonton sebanyak kurang lebih 1.633 kali. Terdapat sembilan orang pemain alat musik yang memainkan alat musik berbeda dengan mengenakan pakaian senada berwarna oranye dan setangan atau iket.

Indonesia Pusaka merupakan lagu wajib Nasional Indonesia yang dapat membangkitkan rasa kebangsaan dan semangat nasionalisme rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Meski pertunjukan Gambang Kromong ini hanya menyajikan pertunjukan musik, dengan kata lain instrumental, pertunjukan tersebut tetap dapat membuat penonton bergetar hatinya saat mendengarnya.

Dengan demikian, macam-macam alat musik Gambang Kromong yang digunakan dalam melantunkan lagu Indonesia Pusaka antara lain Gambang, Kromong, Su-kong, Bangsing atau Suling, Gong dan Kempul, Kecrek (Pan), dan Gendang serta alat musik tambahan seperti drum dan keyboard.

B. Analisis Formal

Tidak seperti judulnya yaitu Traditional Music: GAMBANG KROMONG – Betawi, Indonesia by Puspo Budoyo, pertunjukan Gambang Kromong ini menambahkan drum dan keyboard sebagai alat musik pendukungnya, yang mana drum dan keyboard merupakan alat musik modern. Namun terlepas dari hal tersebut, penampilan Gambang Kromong yang dibawakan oleh sembilan orang laki-laki tersebut berhasil membuat penonton-setidaknya membuat saya- terkesima karena di zaman seperti sekarang, pertunjukan musik tradisional sudah jarang terlihat dan hanya ada pada acara tertentu saja.

Terlebih lagi lagu yang dibawakan adalah lagu nasional Indonesia Pusaka, sehingga terjadi perpaduan antara kedaerahan dengan jiwa nasionalis yang timbul pada lantunan Gambang Kromong tersebut, sehingga menjadikannya unik dari pertunjukan Gambang Kromong pada umumnya.

Pertunjukan seperti ini harapannya harus lebih sering lagi diadakan baik dalam acara tertentu maupun hanya untuk pertunjukan semata, agar masyarakat tetap dapat menikmati pertunjukan musik daerah dan Gambang Kromong tidak kehilangan eksistensinya dalam budaya. Karena pentingnya bagi masyarakat Indonesia untuk melestarikan budaya yang sudah ada secara turun-temurun.

C. Interpretasi

Nuansa Betawi yang dihadirkan dalam pertunjukan singkat berdurasi 3 menit 52 detik ini cukup kental sebab pemain alat musiknya yang mengenakan setangan atau iket yang merupakan pelindung kepala khas masyarakat Betawi. Lantunan khas yang berbunyi nyaring namun merdu juga sangat menandakan budaya Betawi dalam mengungkapkan ekspresi saat bermusik. Sehingga dapat dikatakan Gambang Kromong merupakan kesenian tradisional Betawi yang pembauran musiknya harmonis.

Umumnya Gambang Kromong menjadi pengiring pertunjukan Lenong dan Tari Cokek atau tari-tari garapan baru. Dalam pergelarannya, pertunjukan Gambang Kromong selalu membawakan lagu dua warna Cina dan Betawi. Hal tersebut dapat dengan jelas diketahui saat mendengarkan lantunan yang dihadirkan oleh pertunjukan Gambang Kromong pada unggahan di Youtube tersebut.

D. Evaluasi

Hasil analisis terlihat bahwa Gambang Kromong adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat-alat musik Tionghoa, seperti sukong, tehyan, dan konghyan (pada pertunjukan ini digunakan Su-Kong). Sebutan Gambang Kromong sendiri diambil dari dua buah alat perkusi yaitu Gambang dan Kromong. Selain itu Gambang Kromong merupakan musik tradisional yang berasal dari daerah Jakarta, tepatnya kesenian masyarakat Betawi.

Meski tidak sepenuhnya menggunakan alat musik tradisional, namun tidak menghilangkan ciri khas pertunjukan musik tradisional pada Gambang Kromong tersebut. Hal ini didukung dengan kemampuan para pemusik dalam memadukan antara alat musik, teknik bermusik, sehingga perorganisasian struktur musik dan isi.

Sumber: https://youtu.be/XONNSG6Nbpk.

Lady Alif Fardya, Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Bagikan Artikel Ini